BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perasaan akan timbulnya nasionalisme
bangsa Indonesia telah tumbuh sejak lama, bukan secara tiba-tiba. Nasionalisme
tersebut masih bersifat kedaerahan, belum bersifat nasional. Nasionalisme yang
bersifat menyeluruh dan meliputi semua wilayah nusantara baru muncul sekitar
awal abad XX. Lahirnya nasionalisme bangsa Indonesia didorong oleh dua faktor,
baik faktor intern maupun faktor ekstern.
Faktor-faktor intern tersebut
diantaranya adalah sejarah masa lalu yang gemilang yakni dimana pada masa
kejayaan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dan faktor ekstern adalah kemenangan
Jepang atas Rusia yakni dengan ini mematahkan pemikiran bahwa bangsa barat
adalah bangsa yang besar dan superior, dan juga partai kongres di India, yang bertujuan
melawan Inggris di India.
Dengan kedua faktor tersebut jelas
menimbulkan kesadaran akan nasionalisme di benak bangsa Indonesia. Dimulai
sejak perjuangan seorang wanita yang bernama R.A Kartini dengan menerbitkan
buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” Di
susul dengan berdirinya organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan yakni
Budi Utomo pada tanggal 25 Mei 1908 adalah bukti nyata bahwa telah muncul
kesadaran akan diinginkannya persatuan di tanah air ini.
Petisi Sutarjo adalah salah satu contoh
nyata juga bahwa kerasnya perjuangan para pendahulu dalam mencapai suatu bangsa
yang merdeka. Dan tidak hanya dengan petisi Sutardjo terobosan langkah baru
dengan menuju jalan parlemen juga dilakukan pada era pra-kemerdekaan. Maka dari
itu hal ini sangat menarik untuk kita telusuri lebih jauh tentang peristiwa
Petisi Sutarjo dan Indonesia Berparlemen ini, yang merupakan bagian dari
Sejarah Pergerakan Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan petisi Sutardjo, siapa yang mengeluarkan petisi Sutardjo itu ?
2.
Apa isi petisi
Sutardjo dan latar belakang dikeluarkannya petisi Sutardjo ?
3.
Bagaimana reaksi
bangsa Indonesia dan Belanda terhadap petisi Sutardjo ?
4.
Apa yang
dimaksud dengam Gabungan Politik Indonesia ( GAPI ) ?
5.
Apa yang menjadi
latar belakang di bentuknya Gabungan Politik Indonesia ?
6.
Apa saja yang
aksi-aksi yang dilakukan GAPI dalam usaha menyatukan gerakan nasional ?
7.
Bagaimana
tanggapan pemerintah Belanda terhadap aksi GAPI hingga Belanda menyerah
terhadap Jepang ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan
apa yang dimaksud dengan petisi Sutardjo dan siapa orang yang mengeluarkan
petisi tersebut.
2.
Untuk
menjelaskan apa isi dari petisi Sutardjo dan apa yang melatarbelakangi
dikeluarkannya petisi Sutardjo.
3.
Untuk
menggambarkan bagaimana reaksi bangsa Indonesia dan bangsa Belanda terhadap petisi
Sutardjo.
4.
Untuk
menjelaskan apa yang dimaksud dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
5.
Untuk
menggambarkan latar belakang GAPI dalam usaha menyatukan gerakan Nasional.
6.
Untuk
menggambarkan aksi-aksi yang telah dilakukan GAPI dalam usahanya menyatukan
gerakan Nasional.
7.
Untuk
menggambarkan tanggapan pemerintah Belanda terhadap tuntutan GAPI hingga pada
fase Belanda menyerah kepada Jepang.
D.
Ruang Lingkup
Ruang
lingkup penyusunan makalah ini difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan Petisi
Sutardjo dan Indonesia Berparlemen.
E.
Metode Pengumpulan Data
Data penyusunan makalah ini diperoleh
dengan studi kepustakaan, yaitu suatu metode dengan membaca secara telaah
tentang Petisi Sutardjo dan Indonesia Berparlemen.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Petisi Sutarjo
a.
Pengertian Petisi Sutarjo
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), petisi adalah permohonan resmi kepada pemerintah, yang
di maksudkan disini adalah Presiden, Raja atau Ratu dan sebagainya. Sebagai
contoh dari sebuah petisi adalah mahasiswa mengajukan petisi menuntut Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari jabatannya. ( www.KamusBahasaIndonesia.org )
Petisi Sutardjo adalah
petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo. Petisi ini diajukan
pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelminaserta serta Staten Generaal (parlemen) Belanda.(Suhartono, Artono, Wartoyo : 2010
: 127)
Soetardjo
Kartohadikoesoemo adalah putra seorang Assistant-Wedono
di onder-distrik Kunduran, Ngawi,
yaitu Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo,
adalah keturunan keluarga pemerintahan dari Banten. Keluarga Soetardjo adalah
keluarga pamong praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri,
sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai negeri. Walaupun berasal dari
keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak
dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk
menulis buku tentang desa. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo:
24 Maret 2014 : Merdeka)
Di akhir masa
sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah ( kleinambtenaarsexamen ) pada 1906.
Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan melanjutkan
pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi
pergerakan. Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih
sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan sekolah dan
“magang” kerja pada kantor Assisten
Resident di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A.
Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo
Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Tidak sampai 1 tahun
magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis ( hulpschrijver ) pada kantor Residen
Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru
tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten.
Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono. Jabatan-jabatan
tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan
pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan
jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda. Walaupun dibesarkan dalam keluarga
birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme,
terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda. (Saminta
Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Saat menjabat sebagai
Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang
menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di
atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi
bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk
di atas kursi. Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di
daerah Blora. Saat menjabat sebagai Assistent
Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas
dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa yang terpuruk karena praktik tengkulak. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo
Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Karena kerja kerasnya
karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PPBB, ia ditunjuk sebagai
wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad. Selama
menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuur academi. Soetardjo melontarkan
gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong
praja yang feodal menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan Soetardjo
Bank melalui kongres PPBB. Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong
praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale
Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan
Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling
Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas. (Saminta Somya : Biografi
Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Selama menjadi anggota
Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di awal bagian
tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi
kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1.
Mosi kepada
pemerintah Belanda untuk memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki
kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk
pembangunan waduk di Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2.
Mosi untuk
memajukan ekonomi rakyat dengan membentuk welvaartsfonds
dan welvaartscommissie dengan tugas
merancang upaya memberantas kemiskinan.
3.
Mosi berupa
tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4.
Mosi membuat
peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih
besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5.
Mosi berupa
permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah
kejuruan menengah (middelbare vakschool),
menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale
leerplicht) mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar
nasional (leerplicht).
Selain itu, Soetardjo
juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah
pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan Petisi
Soetardjo. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 :
Merdeka)
Setelah penjajahan
Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan
pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin
Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu).
Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi.
Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang.
Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan
didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo
Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Pada rapat PPKI 18
Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian
kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU
No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom
provinsi.Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di
Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). (Saminta Somya : Biografi Soetardjo
Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
b.
Latar belakang Petisi Sutarjo dan isi Petisi Sutajo
Langkah-langkah baru dalam pergerakan nasional perlu
dilakukan karena terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif
jelas tidak mendapat jalan, sedang gerakan koperatif pun harus dibawah
persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda. Karena itu rupanya
masih ada jalan untuk meneruskan perjuangan lewat Dewan Rakyat. Partai-partai
politik masih ada kesempatan untuk melakukan aksi bersama sehingga muncullah
dengan apa yang disebutkan Petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936. (Suhartono,
Artono, Wartoyo:2010:127)
Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah
Hindia-Belanda agar diadakan konferensi Kerajaan Belanda yang membahas status
politik yang berupa otonomi meskipun masih ada dalam batas pasal 1
Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan agar tercapai
kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang
mantap dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa
petisi ini bersifat moderat dan koperatif melalui cara-cara yang sah dalam
Dewan Rakyat. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127)
Landasan usul adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar
kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah
Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao, yang menurut pendapat Sutardjo
keempat wilayah itu didalam kerajaan Nederland mempunyai derajat sama. Usul
tersebut didukung oleh Ratu Langie, Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan
Ko Kwat Tiong. Dukungan ini menurut Sutardjo mencerminkan keinginannya bahwa
usul petisi didukung oleh berbagai golongan suku bangsa dan agama yang ada di
Indonesia. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127)
Adapun isi petisi itu ialah permohonan supaya
diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri
Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama. Tujuannya adalah
untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia
suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar
Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam
waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang
permusyawaratan itu. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127)
Usul yang menyangkut perubahan susunan
ketatanegaraan ini timbul karena makin meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan
rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan
Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal menurut Sutardjo, hubungan baik antara
Indonesia dengan negeri Belanda perlu ditingkatkan untuk kepentingan kedua
belah pihak lebih-lebih adanya bayangan bahaya pecahnya perang di Pasifik.
Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk
dan susunan pemerintahan Hindia Belanda. Adapun perubahan-perubahan itu dalam
garis besarnya adalah sebagai berikut:
1.
Pulau Jawa dijadikan
satu propinsi, sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan
kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
2.
Sifat dualisme
dalam pemerintahan daerah dihapus
3.
Gubernur Jendral
diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4.
Direktur
Departemen mempunyai tanggung jawab
5.
Volksraad
dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6.
Raad Van Indie (
Dewan Hindia ) adalah anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat
oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota
mempunyai hak suara
7.
Dibentuknya
dewan kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan
Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan
satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur
atau salah seorang dari ketua parlemen
8.
Penduduk
Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya
adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini
diadakan seleksi yang ketat.
(Hasan
Group:2011:Petisi Sutarjo).
c.
Reaksi-reaksi terhadap Petisi Sutarjo
Usul yang dianggap
menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi, baik
dari pihak Indonesia maupun bukan dari pihak Indonesia. Pers Belanda menuduh
petisi sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner belum waktunya, dan
tidak sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar
Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota
Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak
mempunyai kekuatan. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirya tanpa pemilihan
suara dalam sidang Volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam
sidang khusus yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari perdebatan yang
dilakukan didalam sidang Volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri,
terdapat tiga kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bahkan dalam
tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. (Hasan Group:2011:Petisi
Sutarjo).
1.
Kelompok Van
Helsdingen, Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil : Christelijke Staatspartij,
Vaderlandsche Club, Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partij dan beberapa
anggota organisasi lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia
belum mampu untuk berdiri sendiri.
2.
Kelompok
Sukardjo Wirjopranoto yang terdiri dari beberapa anggota fraksi nasional, yang
dengan tegas menolak usul petisi karena tidak ada gunanya. Soekardjo
berpendapat petisi ini dapat melemahkan bahkan mematikan cita-cita Indonesia
merdeka.
3.
Kelompok Suroso,
yang terdiri dari wakil-wakil fraksi Nasional PEB, IEV dan beberapa nasionalis
lainnya. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah
sepantasnya pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada
Indonesia.
Pada tanggal 29
September 1936 selesai sidang perdebatan diadakanlah pemungutan suara dimana
petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan
20 suara menolak. Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi
petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu,Staten-Generaal dan Menteri Koloni di
negeri Belanda.(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Sementara
menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk
memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937
Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia
berdiri sendiri". Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing
untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam
sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah
perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka
penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Petisi ini
kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat
seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi),
Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI),
Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya. Masing-masing organisasi tersebut ada yang
menyetujui usul tersebut dan adapula yang tidak. Pada persidangan Volksraad
bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan
bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan
(berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken. Directeur van Onderwijs en Eredientst),
telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang terang. Juga
mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini,
maka tidak dapat disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun
rencana bagi masa yang akan datang.(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirnya ia
menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus di tolak sehingga perubahan
prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu
diadakan. Akhirnya dengan keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November
1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda.
Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum
matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri". Surat
keputusan itu disampaikan pada sidang Volksraad tanggal 29 November 1938. (Hasan
Group:2011:Petisi Sutarjo).
Penolakan yang diambil
tanpa keputusan sidang Staten General
itu sangat mengecewakan para pemimpin pergerakan rakyat Indonesia. Sutardjo
sebagai pencetus ide petisi menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan terhadap
petisi telah memperlihatkan sikap sombong dan ceroboh pemerintah Belanda,
disamping mendemontrasikan sampai seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad
dalam pemerintahan. Ia memperlihatkan pemerintah Belanda, bahwa sikap yang
diambil terhadap petisi adalah keliru. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Central Comite
Petisi Soetadjo kemudian mengeluarkan suatu surat terbuka yang ditujukan kepada
pengurus besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa
Indonesia, isinya disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi, juga
mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan petisi
tersebut, dengan mengadakan suatu konferensi di Jakarta tanggal 27-29 Mei 1939.
Maksud CCPS untuk mengadakan suatu konferensi akhirnya tidak dapat dilaksanakan
karena pada waktu itu beberapa partai politik bermaksud akan mengadakan Nationale Concentatie yang kemudian
setelah terbentuk bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Sehingga Soetardjo
kemudian memutuskan bahwa tugas untuk memperjuangkan petisi selesai sudah. (Hasan
Group:2011:Petisi Sutarjo).
B.
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Indonesia
Berparlemen
a.
Pengertian GAPI
Gabungan Politik Indonesia disingkat GAPI, merupakan
federasi perkumpulan politik Indonesia untuk menyatukan seluruh kekuatan
nasional. Terbentuk di Jakarta pada tanggal 21 Mei 1939 atas inisiatif Parindra
untuk melahirkan sebuah Nationale Concentratie
dalam rapat pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam anggaran dasarnya, GAPI
secara umum menjunjung persatuan nasional namun tidak akan ikut campur dalam
partai anggotanya.(Ensiklopedia:2011).
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu
sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris umum, sekretaris pembantu dan
bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali diduduki oleh Abikusno
Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, Amir Sjarifudin dari Gerindo
sebagai sekretaris pembantu, dan Ahmad Husni Thamrin dari Parindra sebagai
bendahara. Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai Indonesia Raya), Gerindo
(Gerakan Rakyat Indonesia), Partai Islam Indonesia, PPKI (Persatuan Partai
Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia), Persatuan
Minahasa dan Pasundan. Dasar-dasar federasi meliputi hak menentukan nasib
sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi,
sosial serta kesatuan aksi. Sedangkan tujuannya mengadakan kerjasama dan
mempersatukan semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres
rakyat Indonesia.(Ensiklopedia:2011).
b.
Latar Belakang berdirinya Gapi
Kemunduran PPPKI (Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia) serta gagalnya
perjuangan Petisi Soetardjo menjadi salah satu cambuk bagi kaum pergerakan
nasional untuk menuntut dan menyusun barisan kembali dalam wadah organisasi
persatuan, yakni Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang menuntut
"Indonesia Berparlemen" . Terutama ketika para tokohnya ditangkap dan
di asingkan, PPPKI pun mengalami kemunduran, sebagai organisasi yang menyatukan
kaum perjuangan, PPPKI dinilai gagal.(Rismiyadi:2012).
Kegagalan dari Petisi Sutardjo, dan kemunduran dari
PPPKI menjadi alasan langsung untuk membentuk sebuah organisasi yang menyatukan
semua organasisasi nasional ini dalam sebuah wadah. Sebelum di bentuk GAPI, ada
sebuah badan yang dikenal dengan BAPEPI (Badan Perantara Partai-Partai Politik
Indonesia) yang bertujuan untuk memberi wadah bagi kerja sama partai-partai
politik Indonesia memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia
yang mempunyai cita-cita memajukan Indonesia. Namun, nasib badan ini kurang
beruntung, berdasarkan pendiriannya saja sudah mengalami kontroversi, dan banyak alasan untuk organisasi lainnya untuk
tidak masuk. (Rismiyadi:2012).
Lalu, datang inisiatif dari Thamrin, tokoh Parindra
untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Hal ini didukung oleh keadaan
dunia ketika itu yang semakin genting, serta kemungkinan Indonesia terlibat
langsung dalam perang. 19 Maret 1939 usul Thamrin ini disetujui dan secara umum mendapatkan persetujuan dari
organisasi lainnya. Dua bulan kemudian pada 21 Mei 1939, panitia persiapan menyelenggarakan
rapat umum di Gedung Permufakatan. Di sini Thamrin menerangkan bahwa, tujuannya
adalah membentuk suatu badan persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan
kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaan tiap-tiap organisasi tetap bebas untuk melakukan
programnya sendiri. (Rismiyadi:2012).
Pada hari itu, pendirian GAPI disetujui dan
diresmikan. Dalam anggaran dasarnya, tujuan pendirian GAPI ialah mengusahakan
kerja sama antara partai-partai politik Indonesia serta menjalankan aksi
bersama. Asas yang digunakan ialah penentuan nasib sendiri, kesatuan, dan
persatuan nasional serta demokrasi dalam segi politik, sosial dan ekonomi. Di
sini juga disetujui untuk mengadakan Kongres Rakyat di kemudian waktu. Dalam
pengurusan sehari-hari dibentuklah kesekretariatan bersama yang diketuai oleh
Abikusno (PSII) dan di bantu M.H Thamrin (Parindra) dan Amir Syarifudin
(Gerindo). (Rismiyadi:2012).
Di dalam anggaran dasarnya GAPI berdasarkan pada:
1.
Hak untuk
menentukan nasib diri sendiri.
2.
Persatuan
nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham
politik, ekonomi, dan sosial.
3.
Persatuan aksi
seluruh pergerakan Indonesia.
c.
Aksi-Aksi GAPI “ Indonesia Berparlemen “
Program konkret yang dilakukan GAPI terwujud pada
rapat 4 Juli 1939, di sini GAPI memutuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat
Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib bangsa Indonesia sendiri
serta kesatuan dan persatuan Indonesia. Dalam aksi GAPI ini memiliki semboyan
“Indonesia berparlemen.”. Saat Jerman melakukan penyerbuan ke Polandia pada 20
September 1939, GAPI mengeluarkan suatu pernyataan yang dikenal dengan Manifest
GAPI. Isinya mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama
menghadapi bahaya fasisme di mana kerja sama itu akan lebih berhasil apabila
kepada rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan.(Engkongyudo:2012)
Dalam usaha mencapai tujuannya tersebut, GAPI
disokong oleh pers Indonesia yang memberitakan dengan panjang dan lebar dan
sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme. GAPI juga
mengadakan rapat umum yang mencapai puncak pada 12 Desember 1939 dimana tidak
kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan propoganda tujuan GAPI. Jadi,saat itu
Indonesia seakan bergemuruh dengan seruan Indonesia berparlemen. (Engkongyudo:2012)
Kongres Rakyat Indonesia (KRI) pertama, 25 Desember
1939 di Jakarta. Tujuannya yaitu Indonesia Raya, bertemakan untuk kesejahteraan
rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya dan sasaran pertama yang ingin
dicapai adalah Indonesia Berparlemen penuh. KRI
ditetapkan sebagai sebuah badan tetap dengan GAPI sebagai badan
eksekutifnya. Keputusan lainnya dari kongres ialah penetapan bendara Merah
Putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia
serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.
(Engkongyudo:2012)
Pada awal Januari datang jawaban dari menteri jajahan
Welter selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi “Indonesia Berparlemen”. Jawabannya
berupa “Tidak dapat dipenuhi keinginan rakyat Indonesia akan Indonesia
Berparlemen, karena rakyat Indonesia umumnya tidak mempunyai kekuatan ekonomi
yang cukup dan perkumpulan-perkumpulan politik hanya mewakili sebagian kecil
dari rakyat Indonesia”. (Engkongyudo:2012)
23 Februari 1940 GAPI menganjurkan untuk mendirikan
pendirian Panitia Perlemen Indonesia untuk meneruskan aksi “Indonesia
Berparlemen.” Kesempatan bergerak bagi GAPI ternyata tidak ada lagi, sebab
Belanda diduduki Jerman pada perang dunia II. Sebab dengan alasan keadaan
sedang perang, maka perubahan ketatanegaraan harus ditunda sampai perang
selesai. Namun sebuah tuntutan GAPI pada bulan Agustus 1940, “Meminta
pemerintah Belanda mempergunakan hukum tatanegara dalam masa genting untuk
melangsungkan perubahan-perubahan ketatanegaraan dan diadakan perlemen penuh
menggantikan Volkstraad yang ada”. Tuntutan ini dijawab oleh Dr. H.J. Levetl
pada 23 Agustus 1940, “Bahwa belum waktunya mengadakan suatu rancangan
perubahan ketatanegaraan Indonesia, namun pemerintah akan membentuk suatu komisi
untuk peninjauan dan pengumpulan alasan-alasan yang terdiri dari cerdik pandai
bangsa Indonesia”. (Engkongyudo:2012)
d.
Tanggapan pemerintah Belanda terhadap aksi GAPI
hingga Belanda menyerah terhadap Jepang
Dibentuknya Komisi
Visman
14 September 1940 dibentuk komisi Visman. Tugas
panitia adalah mengungkapkan keinginan, cita-cita, serta harapan-harapan
politik yang hidup di berbagai golongan dan lapisan masyarakat mengenai
perubahan ketatanegaraan yang menyangkut posisi mereka. Pada umumnya partai
politik di Dewan Rakyat, tidak menyetujui pendirian komisi ini. Laporan panitia
baru diumumkan lebih dari satu tahun kemudian (Desember 1941) serta kesimpulan
yang pokok ialah rakyat ada umumnya puas dengan pemerintahan Belanda.
(Engkongyudo:2012)
Keadaan yang semakin genting menuntut kaum
pergerakan menginginkan perubahan ketatanegaraan yang cepat dan jelas,
pembentukan komisi Visman ini tentunya akan memperlambat sebab akan membutuhkan
pembahasan dan perdebatan. Belum banyak yang dilakukan oleh komisi Visman,
keluar pernyataan dari Ratu Wilhelmina pada 10 Mei 1941 dan diperjelas lagi
dengan pidato Gubernur Jendral dalam pembukaan sidang Volkstraad, yang intinya
mengadakan larangan dan pembatasan tentang rapat-rapat dan konsultasi
komite-komite parlemen. 14 Juni 1941 dikeluarkan peraturan pelarangan untuk
kegiatan politik dan rapat tertutup, rapat lebih 25 orang dilarang. Pada bulan
Juni dan Juli pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan milisi
orang-orang bumi putera (inhemse militie)
walau tak mendapatkan sambutan oleh kaum pergerakan. (Engkongyudo:2012)
Ini dimanfaatkan oleh R.P. Suroso untuk menyatukan
semua kalangan yang ada di dalam dan di luar Volkstraad, dalam rangka menuju
Indonesia Merdeka. Untuk itu perlu dibentuk badan baru yang merupakan tandingan
dari Volkstraad. Usaha itu menuai hasil ketika terjadi Kongres Rakyat Indonesia
pada 13-14 September 1941. badan baru itu dikenal dengan nama Majelis Rakyat
Indonesia (MARI), yang menggantikan KRI. 16 November 1941 berhasil memilih
pemimpin yaitu Ketua (Mr. Sartono), Sekretaris (Sukardjo Wirjopranoto), dan
Bendahara (Atik Suardi). (Engkongyudo:2012)
Tidak lama setelah terbentuknya badan baru tersebut,
tanggal 7 Desember 1941 Jepang menyerang pakalan militer Amerika Serikat di
Pearl Harbour. Mengetahui kejadian ini Mr. Sartono dan Sukardjo Wirjopranoto
mengeluarkan anjuran agar rakyat Indonesia berdiri di belakang Belanda untuk
mempertahankan Hindia Belanda. Anjuran ini menimbulkan perselisihan, yang
menyebabkan Abikusno keluar dari MARI dan GAPI, sebab anjuran itu dikeluarkan
tanpa persetujuan dari anggota-anggotanya. Perselisihan ini kemudian tertutup
dengan keberhasilan Jepang dalam mengalahkan pasukan sekutu. Kekalahan pasukan
A-B-C-D (Amerika, British, China Deutch), hanya menunggu waktu bagi Jepang
masuk ke Hindia Belanda. Jepang mampu menghancurkan pertahanan Belanda di
Indonesia, lalu pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah kalah. (Engkongyudo:2012)
Penyerahan
tanpa syarat itu dilakukan oleh Jendral Ter Poorten (Belanda) kepada Jendral
Hitoshi Imamura (Jepang) di lapangan terbang dekat Bandung. Sejak saat itu,
pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Di mulailah babak baru,
pemerintahan Jepang di nusantara. (Engkongyudo:2012)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Petisi Sutarjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh
Soetardjo Karthohadikoesoemo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada
Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal ( parlemen ) Belanda.
Langkah-langkah baru dalam pergerakan Nasional perlu
dilakukan karena terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif
jelas tidak mendapat jalan, sedang gerakan koperatif pun harus dibawah
persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda. Adapun isi petisi
itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil
Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama.
Keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14
November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu
Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia
Belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".
Sementara
itu, Gabungan Politik Indonesia disingkat GAPI, merupakan federasi perkumpulan
politik Indonesia untuk menyatukan seluruh kekuatan nasional. Terbentuk di Jakarta
pada tanggal 21 Mei 1939 atas inisiatif Parindra untuk melahirkan sebuah
nationale concentratie dalam rapat pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam
anggaran dasarnya, GAPI secara umum menjunjung persatuan nasional namun tidak
akan ikut campur dalam partai anggotanya.
Dalam aksinya yang dikenal dengan “ Indonesia
Berparlemen “, GAPI telah melakukan beberapa aksi diantaranya membentuk Kongres
Rakyat Indonesia ( 4 Juli 1939 ), mengeluarkan Manifest GAPI ( 20 September
1939 ). Intinya terjadi Penolakan dari pihak Pemerintah Belanda dan Hindia
Belanda terhadap aksi GAPI sehingga di akhir pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia, GAPI membentuk MARI ( Majelis Rakyat Indonesia ) pada 16 November
1941 yang tujuannya untuk melanjutkan aksi GAPI.
Hingga akhir pemerintahan Hindia-Belanda Petisi
Sutarjo dan Indonesia Berparlemen tidak mendapat reaksi positif dari pihak
Pemerintah Belanda maupun Hindia Belanda, alasan yang mendasar adalah Indonesia
dinilai belum mampu untuk mengurusi urusan ketatanegaraan sendiri yakni
terutama dari segi ekonomi.
Daftar Pustaka
Suhartono,
Artono, Wartoyo. (2010). Sejarah
Pergerakan Nasional, Surakarta : Yuma Pustaka
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. http://kamusbahasaindonesia.org/Petisi
Somya
Saminta. (2011) . http://profil.merdeka.com/indonesia/s/soetardjo
kartohadikusumo/
Group
Hasan. (2011). http://masfu35.blogspot.nl/2011/11/petisi-soetardjo.html.
Ensiklopedia.
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/616/Gabungan-Politik-indonesia
Engkongyudo.
(2011). http://engkongyudo.wordpress.com/2012/02/16/gapi-gabungan-politik-indonesia/
Rismiyadi.
(2011). http://kuninghijau.wordpress.com/2011/02/22/aksi-aksi-perjuangan-gapi-gabungan-politik-indonesia/