Irak Kekuatan Bari di Timur Tengah
Setahun setelah Saddam Hussein
berkuasa sebagai Presiden Irak, kiranya bermanfaat untuk membuat satu neraca
sementara dari hasil-hasil maupun kegagalan-kegagalan negarawan yang pragmatis,
ambisius, agresif dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan ini yang memimpin
suatu negara yang memiliki potensi ekonomi, militer dan tenaga ahli serta
kedudukan strategis seperti Irak.
Premis dasar kira dalam membahas
kedudukan Irak setahun setelah Saddam Hussein berkuasa ialah bahwa terdapat
kaitan jelas antara kejadian-kejadian dalam negeri dan politik luar negeri
Irak. Bukan saja kenyataan bahwa sumber-sumber daya Irak memungkinkannya
mengembangkan politik luar negeri yang ambisius dan dinamis, tetapi juga
kenyataan bahwa dia harus menghadapi serangkaian masalah politik dan kemanan
yang segi-segi intern dan eksternnya berkaitan satu sama lain.
A.
Keadaan
Dalam Negeri
Perkembangan-perkembangan dalam
negeri Irak mempunyai bermacam-macam cirri yang tidak selalu baru. Di bawah ini
kita akan berusaha menguraikan cirri-ciri yang paling menonjol dalam periode
Saddam Hussein menjabat sebagai Presiden.
a.
Kegiatan
Oposisi
Kegiatan
oposisi berbagai unsu berulang kali meningkat, lebih sering daripada masa
lampau. Unsur-unsur itu dapat dibagi dalam dua kategori: pusat-pusat oposisi
tradisional di luar pemerintahan – umat Shia, suku Kurdi dan kaum Komunis – dan
unsure-unsur oposisi atau semi oposisi dalam kelompok yang berkuasa –
unsur-unsur dalam angkatan bersenjata yang menantang kepemimpinan Presiden yang
untuk pertama kalinya selama 22 tahun tidak berasal dari tentara, dan
unsur-unsur dalam Partai Baath dan dalam sektor sipil dimana tampak tanda-tanda
pembangkangan.
Selama
tahun 1979 pergolakan diantara golongan Shia yang merupakan 50-60% penduduk
Irak sebanyak 13 juta rupanya meningkat. Faktor permanen oposisi Shia Irak
diperkuat oleh suatu faktor lain yang membakar, yaitu Revolusi Khomeini di Iran
yang memberikan segala bantuan yang mungkin kepada kelompok-kelompok bawah
tanah di antara umat Shia Irak. Ini adalah akibat cara-cara represif rezim dan
kurangnya koordinasi di antara kelompok-kelompok Shia. Parta Daawa yang
didukung Iran adalah yang paling menonjol. Pada waktu yang sama, rezim Irak
seperti semua Tiran, memberikan isyarat-isyarat konsiliatori, berjanji akan
memperbaiki taraf hidup golongan Shia, dan berusaha mengambil hati
kepala-kepala suku Shia dengan membagikan hadiah dan lain-lain bujukan.
Menyusul
beberapa tahun ketenangan di Kurdisun Irak, kegiatan kurdi muncul kembali,
biarpun terbatas, akibat dorongan Iran di bawah Khomeini. Secara formal,
orang-orang Kurdi yang merupakan 18% penduduk masih merupakan anggota dalam
Front Nasional Progresif, suatu aliansi dimana Partai Baath mempunyai suatu
mayoritas yang sangat besar. Implementasi otonomi Kurdi berjalan terus dan
pemilihan dewan otonomi Kurdi diharapkan. Akan tetapi dua faksi, yaitu faksi
Barazani ( Partai Demokrasi Kurdi ) dan faksi Tabalani ( Persatuan Nasional )
aktif di daerah perbatasan Iran-Iran. Keduanya beroperasi dari wilayah Iran dan
faksi Tabalani menerima bantuan dari Suriah. Kegiatan kurdi di Eropa Barat,
berlangsung seperti biasa, dengan suatu inovasi, yaitu kerja sama dengan orang
komunis Irak dalam pengasingan. Pendek kata, masalah Kurdi tetap merupakan
suatu faktor ketidakstabilan rezim Irak, dan sepertiga tentara Irak ditempatkan
di Kurdistan atau dekatnya untuk menghadapi setiap perkembangan negative.
Hubungan
golongan komunis dengan rezim Baath di Bagdad adalah suatu krisis permanen yang
manifestasi-manifestasinya berubah-ubah sesuai denga keadaan. Menyusul
tindakan-tindakan yang keras ( digantungnya 21 orang aktivis ) pada musim semi
tahun 1978 dan meningkatnya pengawasan atas kegiatan pemimpin-pemimpin partai,
mereka ini menyadari kedudukan mereka yang lebih lemah dalam pertarungan dan
memutuskan ke luar dari kerja sama resmi dengan Partai Baath dan bergerak di
bawah tanah ( Mei 1979 ). Kegiatan partai resmi dibekukan sama sekali.
Pemimpin-pemimpin dan para aktivis di tamping di Eropa timur dan Yaman Selatan
dengan bantuan Uni Soviet. Karena partai bergerak di bawah tanah, maka sulit
untuk pemerintah mengawasinya dan rupanya itu hal mendorong rezim untuk megajak
para aktivis partai membuka kembali dialog dan muncul dari bawah tanah.
Sepanjang
tahun dalam pembahasan ini ada laporan-laporan mengenai adanya ketidakpuasan di
kalangan para perwira professional. Perwira-perwira senior, atau sementara di
antaramereka, sudah kurang puas dengan Saddam Hussein ketika dia Wakil Presiden
Bakr, tetapi pada waktu itu rasa hormat mereka untuk presiden melunakkan sikap
mereka. Pengunduran diri atau penyingkirannya pada bulan juli 1979 rupanya
membangkitkan kembali permusuhan yang laten terhadap presiden yang baru. Pada
bulan-bulan pertama perwira pemerintahannya, presiden baru itu memindahkan
hamper 2.000 perwira dan bintara, rupanya sebagai tindakan pengamanan. Dia juga
memerintahkan agar setian orang yang dicurigai tidak loyal terhadap Partai
Baath dipensiunkan, dan lebih banyak lagi ditempatkan dibawah pengawasan yang
terus menerus. Dengan demikian tidaklah mengherankan bahwa perwira-perwira Irak
meninggalkan Irak ( misalnya ke Iran pada bulan September 1979 ).
Ada
alasan untuk berpendapat bahwa kepemimpinan politik yang tampaknya kohesif
tidak mengungkapkan keadaan dalam negeri. Dalam tahun pertamanya sebagai
Presiden, Saddam Hussein mengambil serangkaian langkah yang menunjukkan adanya
persaingan dan bahkan mungkin perebutan kekuasaan dalam tubuh pimpinan.
Misalnya pengangkatan Izzat Ibrahim Al-Douri, pemuji presiden dan seorang tanpa
warna, sebagai wakil presiden untuk memblokir orang-orang yang berkuasa seperti
Taha Yassin Ramadhan, Wakil Perdana Menteri I, dan Saadam Ghaidan, seorang
bekas jenderal dan sekarang Menteri Perhubungan. Ramadhan kini dilukiskan
sebagai orang kuat di Irak setelah Saddam Hussein. Dia mempunyai basis kekuatan
dan pengaruhnya sendiri dan kedudukannya di dalam partai adalah kuat.
Penangkapan
beberapa orang partai tak lama setelah Saddah Hussein menjadi presiden mungkin
merupakan suatu petunjuk besarnya ketidakstabilan dalam tubuh partai selama
1979. Diantara mereka yang ditangkap adalah Dr. Munif Al-Razaz, seorang Sunni
keturunan Yordania yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komando Nasional.
Pada musim dingin tahun 1979/1980 diketahui bahwa pejabat-pejabat tinggi
pemerintahan dipenjarakan dan dijatuhi hukuman mati. Selama tahun 1979 juga ada
laporan-laporan mengenai penangkapan aktivis-aktivis menyusul kegiatan-kegiatan
seperti penyebaran selebaran atas nama “kaum independen dari Partai Baath”.
b.
Gaya
Operasi Rezim
Khususnya
dapat dicatat sentralisasi dan sifat kekerasan rezim presidensial, yang
menganut politik suatu negara polisi. Biarpun media massa memuat sedikit
informasi mengenai hal-hal tahun pertama Saddam Hussein sebagai presiden
rupanya tahun pencekikkan politik di Irak. Tahun itu merupakan tahun keresahan
dimana tangan bersi presiden lebih brutal daripada waktu sebelumnya dan sudah
mulai terasa pada hari-hari pertama Presiden Saddam Hussein ketika
pejabat-pejabat partai dan pemerintah dijatuhi hukuman mati. Kekerasan Brutal
adalah bagian politik Saddam Hussein. Di bandingkan dengan pendahulunya
Presiden Bakr, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan Saddam Hussein tidak
mempunyai akibat pemantapan kehidupan politik karena kepribadian, gaya operasi,
motif-motif, impuls-impuls dan ambisi-ambisinya. Kenyataaannya ada kesan bahwa
dia gagal memperluas basis kekuatannya.
c.
Usaha
Memperbaiki Citra Saddam Hussein
Selama
enam bulan kedua kepresidenannya, setelah berhasil memperkuat kedudukannya dan
mengatasi ancaman-ancaman terhadapnya, Saddam Hussein memalingkan perhatiannya
untuk mengakan kontak langsung dengan rakyat untuk memperkuat kepercayaan umum
akan rezimnya dan memperbaiki citranya yang bernoda. Maka disamping menunjukkan
suatu tangan besi dia mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki nasib
orang-orang dan masyarakat sebagai keseluruhan dengan meningkatkan gaji pegawai
negeri sipil dan militer, memperbaiki keadaan pangan di kota-kota, menggalakkan
perdagangan swasta, menindak kaum birokrat yang membuat rakyat menderita,
secara pribadi mendengarkan keluhan-keluhan orang-orang, dan menunjukkan
toleransi dan secara positif menyebutkan Islam dan tradisi, dan seterusnya.
Media massa Irak secara luar meberitakan kegiatan Saddam Hussein dan
usaha-usaha yang dilakukan pemerintah seperti pemberantasan buta huruf, membuka
peluang-peluang ekonomi, sosial dan politik bagi kaum wanita Irak. Mengakan
pemilihan parlemen ( Majelis Nasional ) yang didak diadakan selama satu
generasi, dan lain sebagainya.
d.
Build-Up
Militer
Di
bawah Saddam Hussein Build-up Militer berlangsung terus, antara lain sebagai
sarana untuk mencapai sasaran-sasaran politik di kawasan, di Dunia Arab dan di
Dunia Ketiga. Unsur-unsur yang menonjol dari build-up militer adalah
berlanjutnya pembelian perlengkapan militer secara besar-besaran di Timur dan
Barat, dan pembentukan kerangka-kerangka yang disertai usaha-usaha untuk
mengatasi masalah-masalah tenaga ahli dan memperbaiki kemampuan tentara untuk
beroperasi dekan maupun jauh dari Irak ( tentara Ekspedisi ke “Front Timur”
melawan Israel, peningkatan Angkatan Laut).
Yang
menyolok dari build-up militer tahun 1979 adalah tambahan 100 pesawat pemburu (
Sehingga seluruhnya berjumlah 550 ), tambahan 500 tank (menjadi 3.000),
diperkuatnya satuan-satuan anti tank yang mobil ( udara dan darat ),
peningkatan mobilitas Angkatan Darat. Transaksi Mirage F-1 belum termasuk
karena implementasinya baru saja mulai.Pembentukan suatu SAM tingkat brigade
pada H-3 telah selesai. Satuan ini meliputi 7 batterij SA-2/3 dan satu brigade
SA-6 yang mobil. Dilapangan terbang H-3 ditempatkan suatu skuadron Mig-23 dan 8
Mig-21.
Buid-up
militer itu juga meliputi Tentara Rakyat yang sering disebut Tentara Partai
yang tugas pokoknya ialah melindungi rezim. Tentara rakyat ini meliputi dinas
pra-militer dan berjumlah sekitar 150.000 orang.
e.
Pembangunan
Ekonomi
Salah
satu kebijakan Saddam Hussein selama tahun 1979 adalah memperkuat perekonomian
Irak. Kebijaksanaan ekonomi dalam negeri Irak bercirikan usaha untuk
mempernbaiki taraf hidup kelas-kelas rendah, termasuk golongan Shia. Produksi
minyaknya meningkat, pada tahun 1979 rata-rata adalah 3,7 juta barrel per hari.
Dengan demikian Irak adalah penghasil minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi.
Pendapatan
minyak pada tahun 1979 sebesar US$ 20 milyar digunakan untuk mengembangkan
industry minyak pabrik-pabrik kilang, pabrik-pabrik petrokimia dan pupuk.
Banyak diantaranya menggunakan gas alam, hasil sampingan minyak. Proyek-proyek
ini dan proyek-proyek lain dibangun dengan kerja sama perusahaan-perusahaan
Barat yang meningkat, terutama perusahan-perusahan Jepang, Perancis, dan
Italia.
Perdagangan dengan Barat berkembang
lebih cepat daripada perdangan dengan Uni Soviet dan Eropa Timur. Irak juga
menandatangani banyak kontrak dengan negara-negara Dunia ketiga.
Persetujuan-persetujuan ini meliputi pinjaman-pinjaman yang disubsidi yang
tidak sepenuhnya mengganti kerugian akibat meningkatnya harga minyak.
B.
Politik
Luar Negeri
Saddam
Hussein merupakan suatu penganut politik luar negeri pragmatis yang memperjuangkan
sasaran-sasaran Nasional sesuai dengan urut-urutan prioritas yang ditentukannya
sendiri. Bagdad dibawah Saddam Hussein bukan lagi ibukota suatu negara yang
terpencil. Bagdad mendapat kedudukan kunci di Dunia Ketiga.
a.
Antar
Arab
Konfrontasi
Irak dengan Iran dilukiskan sebagai usaha untuk mencegah revolusi Iran meluas
ke Dunia Arab. Biarpun kebanyakan alasan bagi konfrontasi ini menyangkut
hubungan antara kedua negara itu, Bagdad berhasil mendapat dukungan politik
sekelompok negara konservatif, termasuk Arab Saudi, Yordania dan Emirat-Emirat
Teluk.
Usaha
untuk mencapai suatu hegemoni di kawasan Teluk dengan alasan-alasan militer,
ekonomi dan politik menyusul jatuhnya rezim Shah Iran jelas terungkap dalam
gerak-gerak Irak sepanjang 1979. Irak berusaha membangun suatu kehadiran
disemua forum Teluk dan apabila dilakukan usaha untuk mengabaikan ambisi ini
misalnya pada Konferensi Menteri Luar Negeri Teluk di Taif pada musim gugur
1979, Irak mengambil langkah-langkah untuk menjamin hal itu tidak terulang
lagi.
Pengembangan
hubungannya dengan negara-negara Arab konservatif bagi Irak merupakan semacam
suatu pendalaman politik yang semakin jelas terungkat dalam munculnya koalisi
segitiga Irak-Yordania-Arab Saudi. Masing-masing dari ketiga negara itu
memiliki perbatasan bersama dengan kedua negara lainnya.
Mengingat
apa yang dikemukana di atas, tidaklah mengherankan bahwa Irak relative mudah
berhasil menduduki tempat sentral di Dunia Arab setelah Mesir dipencilkan.
Pertemuan Puncak Tunis ( Musim Gugur 1979 ) dan Pertemuan Menteri-menteri Luar
Negeri dan Ekonomi di Amman ( Juli 1980 ) mengukuhkan keberhasilan Irak menarik
garis politik dan ekonomi bagi kebanyakan negara Arab. Hasil-hasilnya bahkan
lebih menyolok kalau dibandingkan dengan hasil-hasil “Front Keteguhan” yang
bertemu di Tripoli pada musim semi 1980, menyusul keretakan yang terjadi pada
waktu Konferensi Para Menteri Luar Negeri Islam di Islamabad (Januari 1980)
keretakan yang untuk sebagian adalah akibat keputusan Irak untuk ikut serta
dalam konferensi ini yang mempunyai watak anti Uni Soviet ketika direncanakan.
Perasaan Bagdad memiliki kekuatan yang semakin besar membawa ke usul untuk
menerima Piagam Nasional ( 8 Desember 1979 ), yang dalam kenyataan merupakan
usaha pribadi Saddam Hussein untuk memaksakan suatu Doktrin Non-Blok Arab dan
memperlemah hubungan negara-negara Arab dengan blok-blok global. Bagaimanapun
tahun 1979 menunjukkan bahwa adalah koalisi pimpinan Bagdad yang memberikan
kepemimpinan politik di Dunia Arabm dan bukan “ front keteguhan “ pimpinan
Suriah tidak dapat mengandalkan dukungan penuh Aljazair, PLO atau bahkan Yaman
Selatan.
b.
Internasional
Semakin
kuatnya kedudukan antar Arabnya, potensi ekonominya dan kedudukannya dalam OPEC
meningkatkan arti penting Irak di mata Barat, Timur, dan Dunia Ketiga.
Hubungannya
dengan Barat, terutama Eropa Barat, dilihat oleh Irak sebagai pengumpil ( lever
) ekonomi maupun politik. Sepanjang tahun 1979 Irak berhasil meningkatkan
hubungannya dengan Italia, Jerman, Jepang, Spanyol, Skandinavia dan khususnya
dengan Perancis. Lebih dari 75% impor Irak berasal dari Eropa Barat dan Jepang
( perlengkapan militer, teknologi industry, knowhow nuklir dan seterusnya ).
Sepanjang
tahun 1979 hubungan Irak-Uni Soviet yang mulai memburuk pada pertengahan tahun
1978, tetap dingin, biarpun menjelang akhir tahun pertama Saddam Hussein
sebagai Presiden ada sedikit perbaikan.
Alasan-alasam
Nasional yang berkaitan dengan perkembangan antar Arab dan regional membuat
Irak menjauhkan diri dari Uni Soviet. Berbagai unsur Barat,
jurubicara-jurubicara kementrian luar negeri dan media massa di belakang mereka
membuat pernyataan-pernyataan jangkauan jauh mengenai usaha Irak untuk
melepaskan diri dari Moskow.
Irak
kelihatan ingin membatasi perselisihannya dengan Uni Soviet untuk menghindari
resiko-resiko yang tak perlu, mendapatkan sebanyak mungkin dari Uni Soviet dan
pada waktu yang sama mempertahankan kebebasan bertindak.
Tahun
pertama Saddam Hussein sebagai presiden Irak adalah tahun kegiatan intensif
dalam gerakan Non-Blok. Irak adalah aktif pada Pertemuan Puncak di Kuba (1979)
dan berkat meningkatnya kedudukannya diberi privilesi untuk menjadi tuan rumah
Pertemuan Puncak tahun 1982. Kegiatan Irak di antara negara-negara Non-Blok
mempunyai dua tujuan : kemanan nasional, yaitu mencegah kawasan geostrategisnya
diubah menjadi kawasan konfrontasi superpower, dan tujuan politik yaitu
memperkuat kedudukannya di Asia, Afrika dan Amerika Latin lewat bantuan,
pinjaman yang di subsidi dan berbagai hibah.
Sepanjang
1979 terjadi peningkatan besar dalam bantuan keuangan, militer dan teknis yang
diberikan Irak kepada banyak Negara Afrika. Sebagian bantuan ini dikombinasikan
dengan transaksi-transaksi senjata dengan Uni Soviet. Antara lain diketahui
pada bulan Februari 1980 bahwa perlengkapan militer Uni Soviet lama dikrimkan
lewat udara dari Irak ke Zambia via Zaire. Sebagai imbalan perlengkapan lama
ini, Irak mendapat perlengkapan baru dari Uni Soviet.
Puluhan
pejabat tinggi dari seluruh dunia, termasuk presiden, perdana menteri, menteri
dan kepala staf, telah mengunjungi Irak untuk mendapatkan bagian kekayaannya.
Sebaliknya pemimpin-pemimpin Irak jarang meninggalkan Irak dan hamper selalu
hanya untuk mengunjungi Arab Saudi. Satu-satunya kesempatan Saddam Hussein
mengunjungi suatu ibukota du luar Dunia Arab sebagai presiden adalah ketia dia
menghadiri upacara pemakaman pendiri terakhir negara Non-Blok, Marsekal Tito
dari Yugoslavia.
c.
Sengketa
Arab-Israel
Sengketa
Arab-Israel tidak menempati prioritas tinggi dalam tahun pertama Saddam Hussein
sebagai presiden. Pada tahap ini Israel tidak merupakan suatu medan tempur bagi
Irak. Paling banyak Israel adalah sebuah alat untuk memperkuat kepemimpinan
Irak di Dunia Arab. Dalam konsep Irak seperti diutarakan oleh seorang
jurubicara Israel yang berwibawa, tiada ruang untuk membicarakan suatu
alternatif politik bagi persetujuan Camp David selama Israel memiliki
keunggulan militer terhadap negara-negara Arab berkat bantuan Amerika Serikat.
Maksud Irak adalah secara simultan bergerak ke dua arah, pertama, membangun
kekuatan militer dan teknologi termasuk kekuatan nuklir, dan kedua, melancarkan
sautu ofensif politik untuk merongrong ikatan-ikatan Israel dengan Eropa dan
mengendorkan komitmen Amerika terhadap Israel lewat suatu Eropa yang tunduk
pada tekanan-tekanan Arab.
Sesuai
dengan itu Irak menyambut baik pernyataan kesembilan negara di Venesia sebagai
suatu langkah kea rah yang tepat biarpun tidak cukup. Irak mengakui bahwa
dewasa ini negara-negara Arab tidak mampu mengalahkan Israel dan oleh sebab itu
mengakui kenyataan-kenyataan dan menyetujui dibentuknya suatu Negara Palestina
di “bagian Palestina manapun yang dibebaskan dari kependudukan Israel”, sambil
melakukan persiapan-persiapan untuk tahap dimana negara-negara Arab akan
memiliki keunggulan militer tehadap Israel. Sikap ini yang untuk pertama
kalinya dinyatakan bulan juni 1980, merupakan suatu pergeseran dalam politik
Irak yang menentang didirikannya suatu Negara Palestina di samping Israel,
bahkan dengan alasan-alasan taktispun.
Selaras
dengan garis itu, Irak secara konsisten tidak mau terlibat dalam segala gerak
yang bisa membawanya berhadapan dengan Israel sebelum siap. Ketika ketegangan
antara Suriah dan Israel meningkat tahun 1980, menyusul perpindahan
pasukan-pasukan di Libanon, Irak tidak menyatakan mendukung Suriah, jangankan
bersedia membantu Suriah apabila terjadi konfrontasi dengan Israel.
Irak
tetap menolak eksistensi Israel yang disebutkan sebagai “ Eksistensi Zionis “
oleh Saddam Hussein dalam pidatonya tanggal 8 Fenruari 1980 ketia dia mengajukan
usul Piagam Nasional. Irak menolak Resolusi Dewan Keamanan 242, mendukung
aksi-aksi teroris melawan Israel dan bahkan terlibat ( misalnya dalam serangan
terhadap Misgav Am bulan April 1980 ), dan mengenakan tekanan-tekanan ekonomi
atas negara-negara Barat dan Dunia Ketiga agar menerima asas-asas padangan Arab
dan merugikan Israel, misalnya sehubungan dengan soal pemulihan hubungan
diplomasi antara negara-negara Afrika dan Israel. Irak adalah ujung tombak
perang politik pada lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar