Senin, 15 September 2014

Sejarah Lokal Kalimantan Barat “ KERAJAAN SANGGAU, KERAJAAN MEMPAWAH, KERAJAAN PONTIANAK, PERISTIWA MANDOR dan PGRS-PARAKU “

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kalimantan Barat merupakan sebuah wilayah yang sebetulnya sejarahnya belum terlalu banyak terkuak ke bagian-bagian pembahasan sejarah Nasional. Hal inilah yang melatarbelakangi saya mengulang kembali pembahasan materi tentang beberapa kerajaan dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Kalimantan Barat yang merupakan bagian dari pembelajaran pada mata kuliah Sejarah Lokal.
Tujuannya adalah untuk mengulang kembali pembasan materi tentang kerajaan Sanggau, kerajaan Mempawah, kerajaan Pontianak, peristiwa Mandor, dan PGRS-PARAKU pada mata kuliah Sejarah Lokal agar mahasiswa-mahasiwa teman seperjuangan sekalian lebih memahami tentang materi-tersebut.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran umum tentang kerajaan Sanggau ?
2.      Bagaimana gambaran umum tentang kerajaan Mempawah ?
3.      Bagaimana gambaran umum tentang kerajaan Pontianak ?
4.      Bagaimana gambaran umum tentang peristiwa Mandor ?
5.      Bagaimana gambaran umum tentang peristiwa PGRS-PARAKU ?
C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui secara ringkas tentang gambaran umum kerajaan Sanggau !
2.      Untuk mengetahui secara ringkas gambaran umum tentang kerajaan Mempawah !
3.      Untuk mengetahui secara ringkas gambaran umum tentang kerajaan Pontianak !
4.      Untuk mengetahui secara ringkas tentang peristiwa Mandor !
5.      Untuk mengetahui secara ringkas tentang gambaran umum peristiwa PGRS-PARAKU !
D.      Ruang Lingkup
      Ruang lingkup penyusunan makalah ini difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan keadaan Kerajaan Sanggau, Kerajaan Mempawah, Kerajaan Pontianak, Peristiwa Mandor dan Peristiwa PGRS-PARAKU.
E.     Metode Pengumpulan Data
     Data penyusunan makalah ini diperoleh dengan studi kepustakaan, yaitu suatu metode dengan membaca secara telaah tentang Kerajaan Sintang.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kerajaan Sanggau
     Sanggau adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu jauh dari kota pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri satu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Penyebutan "Sanggau" sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh ditepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni sungai sekayam. Berdasarkan cerita rakyat, Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakinini bahwa nama "Sanggau" diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Babai Cinga.
     Melahirkan seorang putra yang diberi nama Aria Jamban. Aria Jamban kemudian menurunkan Aria Batang dan selanjutnya Aria Batang beranak Aria Likar. Pada masa itu, Dara Nante yang menjadi pemimpin otonom lokal di Mengkiang mengangkat orang kepercayaannya, Aria Dakudak untuk menjadi seorang patih di daerah Semboja atau Segarong yang letaknya di antara Sungai Mawang dan Bunut sekarang. Dalam perkembangan kemudian, Patih Dakudak digantikan oleh Dayang Mas.
     Pada masanya ini, pusat pemerintahan dialihkan ke Mengkiang dari Semboja. Dayang Mas merupakan kerabat dekat dari Dara Nante. Dalam memimpin Negeri Mengkiang, ia didampingi suaminya Patih Nurul Kamal putra dari Patih Kiyai Kerang yang berasal dari Banten. Selanjutnya keturunan dari Dayang Mas dan Patih Nurul Kamal menggunakan nama Kiyai seperti Kiyai Patih Gemuk, Kiyai Mas Senapati, Kiyai Mas Demang, Kiyai Mas Jaya, Kiyai Mas Jaya Ngebil dan Kiyai Mas Temenggung.
     Setelah Dayang Mas wafat, ia digantikan oleh Dayang Puasa. Mulanya Dayang Puasa menikah dengan Kiyai Patih Gemuk, yang merupakan saudara dekat Patih Nurul Kamal. Perjodohannya itu dikaruniai seorang anak yang bernama Pangeran Agung Renggang. Setelah Kiyai Patih Gemuk mangkat, Dayang Puasa yang bergelar Ratu Nyai Sura menikah lagi dengan Abang Awal yang berasal dari Kerajaan Embau Hulu Kapuas. Perkawinan yang kedua ini dikaruniai empat orang anak. Keempatnya, masing-masing bernama Abang Djamal yang merintis dan bertahta di Negeri Belitang sebagai cikal bakal Kerajaan Belitang. Anak kedua, Abang Djalal bertahta di Balai Lindi Melawi. Kemudian Abang Nurul kamal yang bertahta dan menjadi Panembahan di Sanggau Lama. Dan anak keempat Abang Jaw lahir atau Abang Djauhir yang memerintah di daerah Sintang.
     Pangeran Agung Renggang setelah dewasa kemudian menduduki tahta. Namun ia hanya beberapa bulan memerintah, kemudian mengundurkan diri dan selanjutnya digantikan oleh saudara seibunya, Nurul Kamal yang dikenal juga dengan sebutan Abang Gani yang bergelar Kiyai Patih Busu Kusuma. Setelah mangkat, Abang Gani atau Nurul Kamal digantikan putranya yang bernama Abang Basun Pangeran Mangkubumi. Dalam memerintah ia didampingi dua orang saudaranya, Abang Abun Pangeran Sumabaya dan Abang Guning. Wafatnya Abang Basun maka naik tahtalah Abang Ahmad atau Abang Daruja atau Uju yang belakangan kemudian bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin. Abang Ahmad atau Abang Daruja atau Uju, di atas tahta Kerajaan Mengkiang bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin. Ia kemudian mengalihkan pusat pemerintahan kerajaan di tengah Kota Sanggau kapuas sekarang. Pusat kerajaan dibangun di tepi aliran Sungai Kapuas. Ia merupakan peletak dasar berdirinya Kerajaan Sanggau dengan pusat kekuasaan di Kota Sanggau Kapuas. la menikah dengan Putri Ratu Ayu yang berasal dari Kerajaan Landak. Pasangan Sultan Ahmad Jamaluddin dan Putri Ratu Ayu inilah yang merupakan penurun para raja dan wakil raja serta kaum kerabat bekas Kerajaan Sanggau seterusnya.
     Setelah wafat ia digantikan Abang Saka yang bergelar Sultan Muhammad Kamaruddin. Dalam memerintah, ia didampingi saudaranya yang bernama Abang Sebilanghari, yang kemudian bergeiar Panembahan Ratu Surya Kusuma. Semasa hidupnya, sultan terdahulu, Ahmad Jamaluddin telah membagi kekuasaan kerajaan, di mana Abang Saka memerintah di Keraton Darat, dan Abang Sebilanghari di Keraton Laut. Gelar yang dipakai untuk menjadi raja diberi tambahan Gusti untuk penguasa di sebelah darat. Sedangkan untuk penguasa yang membantu raja memerintah diberi gelar Ade atau penguasa di sebelah laut. Dengan demikian, sepeninggal Abang Uju, kekuasaan menjadi terpisah dalam dua wilayah kekuasaan. Setelah Abang Saka atau Sultan Muhammad Kamaruddin wafat, maka tampuk kekuasaan diambilalih oleh Abang Sebilanghari yang kemudian bergelar Panembahan Ratu Surya Kusuma. la menikah dengan Utin Parwa dari Kerajaan Tayan.
     Setelah wafat, digantikan oleh putranya Gusti Thabrani Pangeran Ratu Surya Negara didampingi Abang Togok yang bergelar Pangeran Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir yang menikah dengan Ratu Srikandi.
     Dengan pecahnya keturunan raja-raja Sanggau dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan, di mana adanya pusat kekuasaan di sebelah darat dan di sebelah laut, maka dalam masa pemerintahan Gusti Thabrani diambil suatu kesepakatan antara kedua turunan penguasa di darat dan laut untuk memerintah secara bergantian menduduki tahta. Apabila raja sebelah darat yang menjadi raja atau panembahan, maka raja sebelah laut menduduki jabatan selaku mangkubumi. Begitu pula seterusnya, apabila di sebelah laut menduduki tahta sebagai panembahan, maka keturunan sebelah darat menjabat sebagai mangkubumi. Perkembangan ini terus berlangsung sampai kedatangan kolonial Belanda ke ibukota kerajaan Sanggau Kapuas.
     Setelah Abang Thabrani wafat, naik tahtalah Abang Togok bergelar Gusti Muhammad Thahir I yang mernerintah Kerajaan Sanggau dalam tahun 1798-1812. Panembahan Thahir I memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Osman Paku Negara. Wafatnya Panembahan Thahir I, maka naik tahtalah Pangeran Osman Paku Negara sebagai panembahan yang berkuasa dalam tahun 1812-1814. Ia memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Muhammad Ali Mangku Negara I yang kemudian menggantikan Panembahan Osman sebagai panembahan Sanggau tahun 1814-1825. Ketika memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Ayub Paku Negara. Pada akhirnya setelah menjabat selama sembilan tahun sebagai Mangkubumi Sanggau,  Pangeran Ayub Paku Negara kemudian menduduki tahta kerajaan bergelar Sultan Ayub dan memerintah dalam tahun I825-1830. Dia kemudian mengalihkan pusat pemerintahan ke Kampung Kantuk sekarang. Tahun 1826 Sultan Ayub membangun Masiid Jami Syuhada dan mulai saat itu Kerajaan sanggau mengalami penataan dan perkembangan pesat serta modern. Sebelumnya, Kerajaan sanggau telah diserahkan oleh Kesultanan Banten (melalui Kesultanan Pontianak) ke tangan Belanda, karena Sanggau merupakan kerajaan vazalnya, bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Pontianak. Wafatnya Sultan Ayub, maka naik tahtalah saudaranya yang bernama Ade Ahmad yang bergelar Panembahan Muhammad Kusuma Negara yang memerintah tahun 1830-1860.
     Sebagai Pangeran Mangkubumi diangkatlah Gusti Muhammad Thahir II yang bergelar Pangeran Ratu Sri Paduka Maharaja. Dalam perkembangan selanjutnya, menyusun penyerahan Kerajaan Sanggau ke tangan Belanda oleh Pontianak dan Banten, dilangsungkan penandatanganan Korte Verklaring atau Perjanjian Pendek yang mengikat kerajaan ini dengan kolonial Belanda pada tanggal 8 Mei dan 20 Mei 1877. Perjanjian ini ditanda tangani antara kerabat Kerajaan Sanggau dengan Residen Westerafdeeling van Borneo dan Asisten Residen Westerafdeeling van Borneo Sintang yang secara khusus berkunjung ke Sanggau Kapuas. Pihak Kerajaan sanggau ditanda tangani oleh Panembahan Muhammad Kusuma negara, Mangkubumi Muhammad Saleh, Pangeran Ratu Mangku Negara penguasa Semerangkai, Pangeran Mas Paduka Putra Raja penguasa Balai Karangan dan Pangeran Adi Ningrat Menteri Kerajaan Sanggau.
     Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam sebagai daerah yang diserahkan kepada militer Belanda. Seterusnya, upaya kolonial Belanda tidak hanya sampai di situ atau bukan sebatas melakukan perjanjian atau korte verklaring. Namun telah melangkah lebih jauh. Hal itu dengan dilakukannya politik devide et impera atau politik pecah-belah, di mana Belanda telah mencampuri urusan pengaturan pemerintahan Kerajaan Sanggau. Kolonial Belanda melalui Residen Borneo Barat telah mengangkat raja yang baru yaitu Gusti Muhammad Thahir II menjadi raja menggantikan Panembahan Muhammad Kusuma Negara. Selanjutnya pula, setelah menduduki tahta, Gusti Muhammad Thahir II diharuskan terikat dengan Korte Verklaring terdahulu. Dalam memerintah ia didampingi Mangkubumi Pangeran Haji Sulaiman Paku Negara. Sebelum diangkat sebagai raja, Thahir II telah berkunjung ke Brunei Darussalam dan diangkat sebagai kerabat oleh Sultan Brunei Darussalam Syarif Syahbuddin dengan diberi gelar Pangeran Paduka Srimaharaja sejak 8 Jumadil Awal 1296 H, ditandai pula dengan pengaturan tapal batas kerajaan antara Sanggau dan Brunei mulai dari Hulu Sekayam sampai Hilir Kembayan dan dihadiahi satu meriam bermotif naga dari Brunei. Semasa hidupnya Gusti Thahir II dikaruniai dua orang putra, yang tertua Gusti Ahmad Putra Negara dikenal sangat anti kolonial Belanda. Karenanya dalam tahun 1876-1890 ia diasingkan Belanda ke Purwakarta dan wafat di sana. Gusti Thahir II wafat, digantikan Haji Ade Sulaiman Paku Negara yang memerintah tahun 1876-1908. Di masa Panembahan Sulaiman, pada tanggal 14 April 1882, kembali ditandatangani Korte Verklaring antara Sanggau dengan Belanda. Selaku Mangkubumi semasa pemerintahan Panembahan Sulaiman adalah Haji Pangeran Muhammad Ali Surya Negara. Korte verklaring tersebut berisi antara lain menunjuk dua orang raja di Sanggau masing-masing di darat Haji Pangeran Muhammad Ali Mangku Negara dan di laut Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara. Mengatur pembagian kerja untuk raja dan kerabatnya. Bagi orang Dayak dianggap sebagai rakyat kerajaan. Mengatur perbatasan pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan kerajaan lain serta mengatur pembayaran upeti oleh rakyat kepada kerajaan yang dinamakan blasting dan natura. Semula para penguasa kerajaan menjadi tuan di negerinya. Namun sejak ditanda tanganinnya korte verklaring tersebut, mereka seumpama peminjam tanah dan hak mereka dari kolonial Belanda.
     Segala sesuatu yang semula sebagai otonom dari kerajaan, telah dibatasi dan harus dengan pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Panembahan Haji Ade Sulaiman mangkat, tahta dilanjutkan Pangeran Haji Gusti Muhammad Ali II Surya Negara. Ia adalah putra dari Haji Gusti Ahmad Putra Negara yang diasingkan kolonial Belanda ke Purw akarta hingga wafatnya di sana. Namun sebelum menduduki tahta kerajaan dalam tahun 1908, terjadi perselisihan dengan kerabatnya. Di mana Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati Ibnu putra dari Panembahan Sulaiman raja terdahulu tidak mau menyerahkan tahta. Menurutnya, dirinya lebih berhak menggantikan ayahnya Panembahan Sulaiman untuk melanjutkan kekuasaan kerajaan. Mengatasi masalah tersebut, pihak kolonial Belanda campur tangan dan kemudian menobatkan Gusti Muhammad Ali II sebagai raja Sanggau dalam tahun 1908 dan memerintah hingga 1915.
     Dan Pangeran Adipati diasingkan ke Pulau Jawa. Sebagai Mangkubumi dinobatkan saudara kandung Panembahan Sulaiman yaitu Haji Pangeran Ade Muhammad Said Paku Negara. Setelah Panembahan Ali II wafat, naik tahtalah Haji Ade Muhammad Said Paku Negara (1915-1920) didampingi Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara selaku penguasa Kerajaan Sanggau.Panembahan Gusti Muhammad Ali semasa hidupnya dikaruniai sembilan orang putra dan lima putri. Masing-masing Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara, Gusti Ahmad Pangeran Adipati Surya Negara, Gusti Abdurrahman, Gusti Burhan, Gusti Muhammad Arief, Gusti Zainal Abidin, Gusti Syamsuddin, Gusti Abdul Murad, Gusti Terahib, Utin Isah, utin Hadijah, Utin Mas Uray, Utin Maryam dan Utin Maimun. Setelah Panembahan Ali II mangkat, diangkatlah Haji Muhammad said Paku Negara sebagai raja. Ia menduduki tahta tahun 1915-1920 didampingi Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara putra dari Haji Pangeran Muhammad Ali II. Selanjutnya Gusti Thahir III putra Pangeran Haji Gusti Muhammad Ali II Surya Negara, menduduki tahta sejak 1920 hingga wafat tahun 1941.Pembaharuan atau reformasi di dalam tubuh kerajaan mulai dilakukan Panembahan Thahir III.
     Berbagai fasilitas pendidikan dan sarana fisik lainnya yang membuka hubunga Sanggau dengan daerah lain dilakukan secara gencar. Salah satunya, isolasi perhubungan darat mulai terbuka lebar sehingga hubungan dari dan ke Sanggau, Landak Ngabang dan Sintang mudah ditempuh. Sebelumnya, masih menghandalkan sarana transfortasi sungai dengan menempuh Sungai Sekayam dan Sungai Kapuas. Di samping itu, di dalam tata laksana pemerintahan juga dilakukan reformasi di bidang hukum, di mana pada masa itu didirikan Lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama di dalam Kerajaan Sanggau. Lembaga ini dipimpin oleh Pangeran Temenggung Surya Agama Haji Muhammad Yusuf dan Pangeran Penghulu Surya Agama Ade Ahmadin Badawi. Dalam masa itu diatur pula mengenai peribadatan kaum Nasrani berada di bawah wewenang Departemen van Onderw ijs En Eredient, sedangkan urusan Agama Islam diatur oleh kerajaan dan Lembaga Mahkamah Syariah demikian pula menyangkut hukum adat. Dalam tahun 1941 Panembahan Thahir III mangkat. Maka dinobatkanlah Ade Muhammad Arif putra dari Panembahan Haji Muhammad Said Paku Negara sebagai Raja Sanggau. Olehnya, pusat pemerintahan dialihkan ke Sungai Aur Kampung Beringin. Dalam tahun 1944, beserta kerabat keluarganya yang lain, Panembahan Arif menjadi korban kekejaman balatentara pendudukan militer Jepang. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan tahta, maka kemudian diangkatlah Gusti Muhammad Umar (1944) untuk memangku sementara tahta kerajaan. Dalam tahun 1945, ia digantikan Gusti Muhammad Ali Akbar yang menjabat hingga 1946. Seterusnya. Yang menduduki tahta terakhir Kerajaan Sanggau hingga dihapuskannya sistem pemerintahan Swapraja Sanggau dalam tahun 1959 adalah Panembahan Gusti Muhammad Thaufiq putra dari Gusti Thahir III. Gusti Thaufiq yang menjabat antara tahun 1946-1959, terakhir sebagai kepala Swapraja Sanggau hingga dibentuknya Kabupaten Sanggau dalam tahun 1960.

B.       Kerajaan Mempawah
            Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena pemerintahan Opu Daeang Menambon, yaitu sejak tahun 1737. Pertama kali Kerajaan Mempawah berdiri, pusat pemerintahannya bukanlah terletak di Mempawah seperti yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalnnya sekarang. Tetapi pusatnya terletak di Pegunungan Sadiniang (Mempawah Hulu). Kerajaan yang sangat terkenal saat itu adalah Kerajaan Suku Dayak, Dalam pemerintahan Kerajaan Mempawah, terdapat dua zaman yaitu zaman Hindu dan zaman Islam. Pada zaman Hindu Kerajaan di pimpin oleh Suku Dayak. Sedangkan pada zaman Islam di mulai dari kepemimpinan Opu Daeng Menambon.
a.        Zaman Hindu
Pemerintahan Kerajaan Dayak dalam kekuasaan Patih Gumantar. Pada masa Kerajaan yang dipimpin oleh Patih Gumantar, disebut kerajaan Bangkule Rajakng, pusat pemerintahannya di Sadaniang, bahkan Kerajaan dinamakan Kerajan Sadaniang. Pada masa kekuasaan Kerajaan Patih Gumantar, Kerajaan Bangkule Rajakng berada dalam era kejayaan dan sangat terkenal. Sehingga kerajaan banyak kerajaan tetangga ingin merebutnya. Salah satu Kerajaan itu adalah Kerajaan Suku Bijau (Bidayuh) di Sungkung. Karena keinginan yang kuat untuk merebut Kerajaan tersbut, terjadilah Perang Kayau Mengayau (memenggal kepala orang). Meskipun Patih Gumantar terkenal raja yang sangat berani, tetapi dengan adanya serangan yang mendadak dari Kerajaan Biaju, akhirnya Patih Gumantar kalah. Kepalanya terkayau oleh orang-orang Suku Biaju dan dibawa ke kerajaannya. Pada peristiwa itu juga banyak jatuh korban di antara kedua belah pihak. Akibatnya sejak kematian Patih Gumantar menyebabkan Kerajaan Sadaniang ini hancur.
1.             Raja Kudung
            Beberapa abad kemudian sekitar tahun 1610, kerajaan ini bangkit kembali dibawah kekuasaan Raja Kudung dan pusat pemerintannya dipindahkan ke Pekana (sekarang namanya Karangan). Kerajaan ini berdiri tidak ada hubungannya denagn Patih Gumantar Tidak banyak yang dapat diceritakan dari kerajaan ini. Yang jelas, setelah beliau wafat dan dimakamkan di Pekana, hulu sungai Mempawah, berakhir pula pemerintah Raja Kudung. Setelah Raja Kudung wafat, pemerintahn diambil oleh Raja Senggaok.
2.             Raja Senggaok
Pada masa pemerintahan Raja Senggaok, pusat pemerintahan dipindahkan daerah Pekana ke Senggaok (masih di Hulu Sungai Mempawah). Raja Senggaok lebih terkenal dengan nama Penembahan Senggaok. Raja Senggaok mempunyai Istri bernama Putri Cermin, salah satu Putri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri (Sumatera). Dalam perkawinannya, Raja Senggaok dan Putri Cermin dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Utin Indrawati. Pada saat perkawinan Raja Senggaok dan Putri Cermin, diramalkan seorang ahli nujum apabila kelak lahir seorang anak perempuan (Utin Indrawati), maka kerajaan mereka akan diperintah ole seorang raja dari kerajaan lain. Ketika umur Utin Indrawati telah cukup dewasa, ia dikawinkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai seorang Putri berparas cantik yang diberi nama Puteri Kesumba. Ramalan ahli nujum tersebut menjadi kenyataan. Setelah berakhir masa pemerintana Raja Senggaok. Kerajaan tersebut diperintah oleh Opu Daeng Menambon pelaut ulung dari kerajaan Luwu,sulawesi selatan.

b.        Zaman Islam
Sebelum Opu Deang Menambon menjadi seorang raja, banyak hal yang telah beliau alami. Opu Deang Menambon, bukanlah orang asli Kalimantan,. Beliau serta keempat kakak beradiknya berasal dari Kerajaan Luwu (Sulawesi Selatan). Mereka terkenal pelaut ulung dan berani. Mereka meninggalkan daerah kelahirannya merantau mengarungi lautan luas menuju Banjarmasin, Betawi, berkeliling sampai Johor, Riau, semenanjung Melayu, akhirnya sampai pula di Kerajaan Matan (Ketapang). Dalam perantauannya, mereka berlima banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil. Baik yang terlibat perang antar kerajaan maupun perang antar saudara.karena kebiasaan tersebut dan sifatnya yang suka menolong inilah, mereka terkenal sampai dimana-mana. Pada saat kedatangan mereka di kerajaan Matan, disaat itu kerajaan tersebut sedang terjadi perang saudara. Penyebabnya adalah adik kandung Sultan Muhammad Zainuddin (Raja Matan) yang bernama Pangeran Agung menyerang Sultan Muhammad Zainuddin. Tujuan dari penyerangan ini adalah ingin merebut tahta Kerajaan Matan. Tanpa perlawanan, keluarga Raja diungsikan ke Banjarmasin. Dengan bantuan orang-orang Bugis, Sultan Muhammad Zainudin mengadakan penyerangan tetapi selalu kalah.
Sampai akhirnya Beliau sendri ditawan dan dipenjara didalam mesjid Agung Tanjungpura (Matan) . Pada saat Beliau dipenjara, Beliau sempat mengirim surat kepada kelima kakak beradik melalui rakyat yang masih setia kepadanya. Surat tersebut berisi meminta bantuan untuk merebut kembali tahta kerajaan yang telah dirampas oleh adiknya. Menerima surat dari Sultan Muhammad Zainuddin, Opu Daeng Menambon beserta keempat saudaranya yang sedang berada di Kerajaan Johor utuk membantu kerajaan tersebut yang diserang oleh kerajaan kecil dari Minangkabau, langsung kembali ke Kerajaan Matan untuk membantu Beliau. Singkat cerita, mereka dapat mengalahkan Pangeran Agung tanpa melalui pertumpahan darah. Sultan Muhammad Zainudin kembali memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Matan.
Pada waktu mereka berlima membantu Sultan Muhammad Zainuddin inilah, Opu Daeng Menambom diperkenalkan kepada Putri Kesumba. Akhirnya dari perkenalan mereka itu, mereka menikah. Putri Kesumba merupakan cucu dari Penembahan Senggaok. Dalam pernikahannya antara Opu Deang Menanbon, mereka dikaruniai beberapa orang putra dan putri. Tetapi yang paling terkenal yaitu Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Penembahan Adijaya Kesuma Jaya.
a.        Opu Daeng Menambon
            Tidak lama kemudian, ada kabar dari Kerajaan Mempawah kalau wafat. Tahta kerajaan berikut harta peninggalannya diserahakan kepada Sultan Muhammad Zainuddin. Maka diserahkanlah semua itu pada menantunya yaitu Opu Daeng Menambon, termasuk tahta Kerajaan Mempawah. Akhirnya Opu Daeng Menanbon menjadi Raja Mempawah yang pertama memeluk agama Islam. Saat dinobatkan menjadi Raja, Opu Daeng Menambon bergelar Pengeran Surya Negara dan Putri Kesumba bergelar Ratu Agung Sinuhun. Sejak Opu Daeng Menambon naik tahta, pusat pemerintahan dipindahkan dari Senggaok ke Sebukit Rama. Daerah Sebukit Rama adalah sebuah tempat yang subur makmur, ramai didatangi para pedagang dari daerah sekitarnya. Pada masa pemerintah Opu Daeng Menambon, terdapat banyak perbedaan dengan penguasa-penguasa sebelumnya. Perbedaan yang mencolok diantaranya adalah sistem pemerintahannya. Sebelumnya, hukum bersumber pada adat setempat, yaitu hukum adat Suku Dayak. Tetapi setelah Opu Daeng Menambon berkuasa, sistem pemerintahan selain bersumber dari adat setempat, melainkan juga bersumber hukum Syara yang bersumber pada Agama Islam. Dengan adanya Agama Islam yang dipakai sebagai sumber hukum pemerintahnya, maka pada saat pemerintahan raja ini, agama islam menyebar sanpai ke daerah sekitar Mempawah. Dan sejak itu pula Kerajaan Mempawah menjadi Kerajaan Islam Selain itu, pemerintahan yang dilaksanakan oleh Opu Daeng Menambon berjalan dengan lancar, kerana beliau termasuk seorang raja yang bijaksana dan penduduknya beragama islam serta taat. Dalam memecakan masalah, beliau selalu bermusyawarah dengan bawahannya. Setelah kira-kira 20 tahun Opu Daeng Menambon memegang tampuk pemerintahan, beliau wafat. Tepatnya pada hari Senin, tanggal 20 Safar 1175 Hijiriah, atau 1761 Masehi. Opu Daeng Menambon dimakamkan di Sebukit Rama.
b. Gusti Jamiril
Setelah Opu Daeng Menambon wafat, maka tampuk kerajaan diserahkan kepada Gusti Jamiril yang bergelar Penembahan Adijaya Kesuma Jaya. Sejak Gusti Jamiril menjadi raja, Kerajaan Mempawah makin terkenal. Mempawah menjadi Bandar Dagang yang ramai. Wilayah kekuasaanya pun semakin luas. Bukan hanya itu, Kerajaan Mempawah juga memgalami masa kejayaannya. Pada saat pemerintahan Gusti Jamiril, Kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Ini disebabkan karena Beliau difitnah, dibenci dan mau memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Tentunya, Belanda murka dan mengerahkan ratusan prajuritnya yang bermakas di Pontianak untuk menyerang Kerajaan Mempawah. Melihat situasi yang tidak baik, Gusti Jamiril memindahkan pusat pemerintahan di Sunga (karangan) yang letaknya di Mempawah Hulu. Keputusan tersebut diambil karena pada masa itu hubungan baik komunikasi maupun transportasi Mempawah ke Karangan sangat sulit sehingga pergerakkan pasukan Belanda menuju Karangan berjalan lambat sekali.Kedatangan Gusti Jamiril di Sunga disambut baik oleh masyarakat setempat. Tetapi belum sempat Gusti Jamiril mengusir Belanda, beliau wafat pada hari Ahad (minggu) bula Zulhijjah 1204 H bertepatan dengan tahun 1790 M. Beliau dimakamkan di Karangan, karena beliau pernah bersumpah tidak rela dikuburkan ditanah yang telah diinjak oleh Belanda. Syarif Kasim Pada saat Gusti Jamiril meninggalkan Mempawah menuju karangan, roda pemerintahan tidak ada yang mengendalikan. Maka Belanda mengangkat Syafif Kasim (Putra dari Sultan Abdurrahman dari Kerajaan Pontianak) menjadi Raja Mempawah. Syarif Kasim memegang pemerintahan di Kerajaan Mempawah hanya sebentar saja. Hal ini disebabkan beliau harus menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja di Kerajaan Pontianak.
c.         Syarif Hussein
Setelah Syarif Kasim yang dipanggil pulang untuk menggantikan ayahnya menjadi raja, maka disuruhlah adiknya yang bernama Syarif Hussein menggantikan kedudukannya. Lagi-lagi Syarif Hussein memerintah hanya sebentar saja karena Putra raja Gusti Jamiril yang bernama Gusri Jati berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
d.        Gusti Jati

            Dibawah pimpinan Gusti Jati dengan bantuan Gusti Mas, Belanda berhasil dipukul mundur dari pusat Kerajaan. Dengan perginya Belanda dari Mempawah, tahta kerajaan diambil alih oleh Gusti Jati sebagai Putra Mahkota. Gusti Jati yang bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin memindahkan pusat pemerintahan yang dulunya di Sebukit Rama, sekarang dipindahkan ke Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman. Tempat ini sangat strategis untuk perang karena terletak di tepi sungai. Selain itu, Gusti Jati merupakan pendiri Kota Mempawah. Kerajaan Mempawah dibawah kekuasaan Gusti Jati semakin tersohor sebagai pusat perdagangan dan kota pertahanan yang kokoh. Belanda tidak mau lagi menyerang Mempawah. Mereka mengubah siasatnya yaitu menempuh jalan damai. Namun, Mempawah malah mendapat serangan dari Kerajaan Pontianak. Akhirnya Kerajaan Mempawah kalah disebebkan armada laut Kerajaan Pontianak sangat tangguh. Dengan kekalahan ini Gusti Jati meninggalkan Kota Mempawah menuju ke daerah kerajaan lama. Dengan demikian Kerajaan Mempawah tidak ada yang memerintah.

e.         Gusti Amir
Setelah meninggal, tahta yang kosong diisi oleh Belanda dengan menobatkan Gusti Amir dengan gelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin. Gusti Mu’min Setelah Gusti Amir wafat, tahta kerajaan digantikan oleh Gusti Mu’min. yang menobatkannya menjadi raja, juga pemerintahan Belanda. Hal ini disebabkan sebelum menjadi raja, beliau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Saat menjadi raja, Gusti Mu’min bergelar Panembahan Mu’min Natajaya Kusuma. Gusti Mu’min tidak lama menjadi karena setelah selesai penobatan beliau wafat dan sebab itu lah beliau disebut Raja Sehari. Wafatnya Gusti Mu’min, tahta kerajaan digantikan oleh Gusti Mahmud. Beliau bergelar Panembahan Muda Mahmud Alauddin. Setelah Gusti Mahmud wafat, sebagai penggantinya adalah Putra Mahkota yang bernama Gustu Usman. Gusti Usman bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma.
f.         Gusti Ibrahim
Gusti Usman mangkat, maka tahta dipegang oleh Gusti Ibrahim yang bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin. Pada saat pemerintahannya, Belanda mulai lagi menyakiti hati rakyat Mempawah. Sehingga tahun 1941 timbul pemberontakan Suku Dayak terhadap Belanda. Apalagi Belanda sudah mulai menggunakan kekerasan dan memaksa rakyat untuk membayar pajak. Peristiwa ini disebut Perang Sangking.

g.        Gusti Intan
Setelah Gusti Ibrahim wafat, Putra Mahkota dari Gusti Ibrahim yang bernama Gusti Taufik belum cukup umur untuk menjadi raja. Sehingga tahta kerajaan dipegang oleh Gusti intan yaitu kakak dari Gusti Taufik. Gusti Intan bergelar Panembahan Mangku. Gusti Taufik Setelah Gusti Taufik dewasa, maka Beliau naik tahta pada tahun 1902M dan bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Kurang lebih 42 Tahun Gusti Taufik memerintah Kerajaan Mempawah, Jepang datang. Pada waktu pendudukan Jepang inilah terjadi suatu tragedi di Kalimantan Barat. Tragedi yang dimaksud adalah pembantaian secara besar-besaran terhadap para raja, tokoh masyarakat, kaum cendekiawan maupun rakyat biasa. Salah satunya korban pembantaian tersebut ialah Raja Mempawah bersama-sama dengan Raja dari daerah lainnya. Kemudian 12 kepala Swapraja beserta tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang ditangkap Jepang yang akan memberontak terhadap rezim “Pemerintah Bala Bantuan Tentara Jepang” semuanya dihukum mati. Korban Pembantaian tersebut tidak kurang dari 21.037 orang. Dan sebagian korban tersebut dikuburkan di Mandor dalam semak belukar. Sekarang tempat tersebut menjadi makam pahlawan yang dinamakan “ Makam Juang Mandor”. Saat Gusti Taufik wafat, Putra Mahkota yang bernama Jimmy Ibrahim masih terlalu muda untuk menduduki tahta Kerajaan. Untuk memangku jabatan ini, Jepang mengangkat Gusti Mustaan sebagai Wakil Panembahan. Sampai berakhirnya masa jabatan Gusti Mustaan sebagai Wakil Panembaha, Jimmy Ibrahim tidak pernah memangku jabatan sabai raja di Kerajaan Mempawah. Dan akhirnya Gusti Taufik dianggap sebagai raja terakhir di Kerajaan Mempawah.
            Ada pun peniggalan-peniggalan adri Kerajaan Mempawah yang masih dapat di nikmati yaitu :
1.        Keraton Amantubillah : Bekas keraton Mempawah terletak di Kampung Pedalaman Mempawah Hilir
2.        Makam Raja-Raja Mempawah : makam Raja-raja terpencar di beberapa tempat, yaitu : - Makam Opu Daeng Menambon di Sebukit Rama
- Makam Raja-raja di Kampung Pedalaman Mempawah
- Makam Panembahan Adiwijaya di Karangan
3.  Mesjid Jami’ Mempawah : terletak di pinggir sungai Mempawah, masuk wilayah kampong Pedalaman Mempawah.
C.   Kerajaan Pontianak
a.    Sejarah
            Menurut Syarif Ibrahim Alqadrie, Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah kesultanan termuda di nusantara, bahkan di dunia, karena kesultanan ini didirikan relatif paling terakhir dibandingkan dengan kemunculan kesultanan-kesultanan lainnya. Pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kesultanan yang lahir dari perpaduan kebudayaan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak ini resmi didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie.
b.        Riwayat Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak
            Syarif Abdurrahman Alqadrie yang menjadi sosok sentral atas berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah putra dari Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang penyiar agama Islam asal Timur Tengah. Husein Alqadrie dilahirkan pada tahun 1706 M di sebuah kota kecil bernama Trim di Hadramaut (Yaman Selatan). Setelah mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan lainnya selama lebih dari 4 tahun, Husein Alqadrie berkeinginan merantau ke negeri-negeri timur. Keinginan itu didukung oleh tiga kawan seperguruannya yakni Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi. Dalam perantauannya, keempat pendakwah itu tiba di Terengganu (sekarang termasuk wilayah negara Malaysia). Dari Terengganu, mereka kemudian menuju ke Aceh. Di sinilah keempat sahabat itu berpisah. Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Siak, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi kembali ke Terengganu. Sedangkan Husein Alqadrie sendiri melanjutkan perjalanannya menyusuri Pantai Timur Sumatra menuju ke Pulau Jawa untuk mengunjungi negeri-negeri Islam yang dilaluinya, termasuk Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram, Jawa bagian timur, dan Betawi. Husein Alqadrie kemudian menetap di Semarang selama dua tahun. Dari Semarang, ia menyeberangi lautan hingga sampai di wilayah Kesultanan Matan di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran Husein Alqadrie disambut baik oleh keluarga Kesultanan Matan yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Muhammad Muazzuddin (1724−1738 M). Husein Alqadrie berhasil menawan hati warga Kesultanan Matan karena tidak lama setelah kedatangannya, Husein Alqadrie diangkat menjadi hakim/qadhi kesultanan oleh Sultan Muhammad Muazzuddin. Bahkan oleh rakyat Matan, Husein Alqadrie sangat dihormati seperti layaknya seorang wali. Tidak hanya itu, Husein Alqadrie kemudian dinikahkan dengan anak perempuan Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinan itu, Husein Alqadrie dikaruniai 4 orang anak, yaitu Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman Alqadrie, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Alqadrie dilahirkan pada tahun 1739 M.
            Pada tahun 1738 M, Sultan Matan, Sultan Muhammad Muazzuddin, wafat dan digantikan Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749 M). Husein Alqadrie masih bertahan di Kesultanan Matan hingga Sultan Muhammad Tajuddin digantikan oleh Sultan Ahmad Kamaluddin (1749−1762 M). Pada masa ini, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang kebijakan hukuman mati. Ketidaksepahaman ini membuat Husein Alqadrie beserta keluarganya meninggalkan Matan pada tahun 1755 M dan beralih ke Kesultanan Mempawah yang kala itu dipimpin oleh Opu Daeng Menambun (1740-1766 M).
            Rombongan Husein Alqadrie disambut suka-cita oleh keluarga Kesultanan Mempawah. Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar Kesultanan Mempawah. Atas izin Opu Daeng Menambon pula, Husein Alqadrie menempati daerah Kuala Mempawah atau Galah Herang yang menjadi tempat dimana ia mengajarkan Islam. Untuk mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dengan Kesultanan Mempawah, maka Syarif Abdurrahman Alqadrie dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba, bernama Putri Candramidi. Perkawinan ini dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri.
            Kesukaan Syarif Abdurrahman Alqadrie adalah berkelana, baik untuk berdagang atau sekadar berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain. Pada tahun 1759 M, Abdurrahman Alqadrie mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan, Siantan, dan Siak. Selanjutnya, pada tahun 1765 M, ia berlayar menuju Palembang. Dua tahun kemudian, Abdurrahman Alqadrie melakukan perjalanan ke Banjarmasin dan menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1768, Abdurrahman Alqadrie menikah lagi dengan putri Sultan Banjar yang bernama Syarifah Anum dan mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Ketika Abdurrahman Alqadrie masih berada di Banjarmasin, dua orang yang disayanginya wafat. Pada tahun 1766 M, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia, kemudian disusul oleh sang ayah, Husein Alqadrie, yang menghembuskan nafas penghabisan pada tahun 1770 M. Mangkatnya dua orang yang sangat dihormati dan dibanggakan oleh Abdurrahman Alqadrie itu mendorongnya untuk mencari tempat permukiman baru.
            Pada tahun 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie, di antaranya terdapat lima putra Opu Daeng Menambon, yaitu Panembahan Adijaya, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad, mulai berlayar untuk mencari tempat permukiman baru. Setelah 4 hari perjalanan, mereka tiba di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Dari sini, rombongan meneruskan perjalanan hingga mendekati simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat lokal di sana, di tempat inilah rombongan Abdurrahman Alqadrie berperang melawan “makhluk halus” yang oleh warga setempat disebut dengan nama hantu “kuntilanak”.
            Pada akhirnya, nama “kuntilanak” lambat-laun menjadi “Pontianak” yang tidak lain adalah nama kota di seberang Istana Kadriah         Pada tanggal 23 Oktober 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie berhasil memukul mundur gerombolan perompak “kuntilanak” di muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Pada hari yang sama, rombongan Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’, masjid agung Kesultanan Kadriah Pontianak. Kemudian, rombongan Abdurrahman Alqadrie mulai mempersiapkan permukiman di sebuah tempat yang menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau.
            Permukiman inilah yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak. Meski sudah merintis pendirian pemerintahan Kadriah Pontianak sejak tahun 1771 M, namun baru pada tahun 1778 M Abdurrahman Alqadrie secara resmi dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie yang berkuasa sampai tahun 1808 M
c.         Kesultanan Kadriah Pontianak pada Masa Kolonial
            Penobatan Abdurrahman Alqadrie sebagai Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M dilakukan oleh Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau, dan dihadiri oleh para pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk dari Kerajaan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, dan Banjar. Abdurrahman Alqadrie memang memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Kesultanan Riau. Abdurrahman Alqadrie adalah menantu Opu Daeng Manambon (Sultan Mempawah), sedangkan Sultan Raja Haji adalah putra Daeng Celak yang tidak lain adalah saudara sekandung Opu Daeng Manambon.
            Pada masa itu, Belanda melalui VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie) yang dibentuk sejak 20 Maret 1602, sudah menanamkan pengaruhnya di Kalimantan Barat. VOC rupanya khawatir melihat hubungan erat antara Kesultanan Kadriah Pontianak dengan beberapa kerajaan lain dan kemudian VOC berusaha menghancurkan persekutuan itu. Pada akhir tahun 1778 M, dari Batavia, VOC mengutus Nicholas de Cloek ke Pontianak untuk merangkul Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, tetapi usaha pertama ini gagal.
            Selanjutnya, pada bulan Juli 1779 M, VOC mengirim Willem Adriaan Palm (Komisaris VOC) ke Pontianak. Dengan alasan mendirikan perwakilan dagang, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Kadriah Pontianak. Palm kemudian digantikan Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779 – 1784 M) dengan kedudukan di Pontianak Akal licik VOC rupanya berhasil membujuk Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie untuk melakukan ekspansi ke wilayah kerajaan-kerajaan yang semula menjadi sekutu Kesultanan Kadriah Pontianak. Ini berarti VOC juga sukses mewujudkan misinya, yakni memecah-belah persatuan di antara kerajaan-kerajaan tersebut.
            Dengan bantuan VOC, pada tahun 1786 M, armada Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di Sukadana. Kemudian, pada tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie berhasil menaklukan Kesultanan Mempawah. Oleh VOC, putra sulung Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie dari Putri Candramidi, Syarif Kasim Alqadrie, diangkat sebagai Panembahan Mempawah.
            Pengangkatan yang tidak disetujui oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie ini diresmikan berdasarkan perjanjian tertanggal 27 Agustus 1787. Syarif Kasim semakin tenggelam dalam pengaruh Belanda sampai ketika ayahnya wafat pada tahun 1808. Sebelum mangkat, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie sebenarnya telah menetapkan putranya yang lain, Syarif Usman Alqadrie, sebagai penerus tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Dikarenakan Syarif Usman masih kecil, maka Syarif Kasim merasa berhak menduduki singgasana sebagai pengganti ayahnya. Pada tahun 1808 itu, Syarif Kasim diangkat menjadi Sultan Kadriah Pontianak namun dengan kesepakatan bahwa ia hanya menjabat selama sepuluh tahun sambil menunggu Syarif Usman beranjak dewasa. Perjanjian itu diingkari karena pada kenyataannya Syarif Kasim berkuasa sampai akhir hayat, yakni hingga tahun 1819.
            Di bawah rezim Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819), Kesultanan Kadriah Pontianak semakin tergantung kepada pihak-pihak asing, yakni Belanda dan kemudian Inggris yang berkuasa di Hindia (Indonesia) sejak tahun 1811. Ketika Belanda kembali menguasai nusantara, termasuk Pontianak, Sultan Syarif Kasim Alqadrie memperkenankan Gubernur Jenderal Hindia Belanda LPJ Burggraaf du Bus de Gisignies (1826-1830) mendirikan sebuah benteng Belanda di Pontianak yang diberi nama Marianne’s Oord, yakni nama putri Raja Negeri Belanda, Raja Willem I. Inilah asal-muasal nama kampung Mariana yang terletak di depan pelabuhan Pontianak sekarang. Benteng Marianne’s Oord kemudian menjadi markas tentara Belanda dan sering disebut sebagai Benteng du Bus.
            Pada tanggal 25 Februari 1819 Sultan Syarif Kasim Alqadrie wafat dan dikebumikan di Batu Layang. Terjadi ketegangan perihal siapa yang berhak menjadi Sultan Kadriah Pontianak selanjutnya. Di satu pihak, Syarif Usman Alqadrie dianggap paling layak menduduki tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Namun di sisi lain, putra Sultan Syarif Kasim Alqadrie yang bernama Syarif Abubakar Alqadrie juga menginginkan singgasana tersebut. Di sinilah campur tangan Belanda kembali berperan. Sesuai kesepakatan sebelum Sultan Syarif Kasim Alqadrie dinobatkan, Belanda kemudian menunjuk Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855) sebagai Sultan Kadriah Pontianak ketiga. Untuk meminimalisir konflik, Belanda memberi gelar Syarif Abubakar Alqadrie sebagai Pangeran Muda dan kepadanya diberi tunjangan 6000 gulden setiap tahun.
            Di luar ketundukannya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, Sultan Syarif Usman Alqadrie setidaknya pernah menorehkan beberapa kebijakan yang bermanfaat, termasuk dengan meneruskan pembangunan Masjid Jami’ pada tahun 1821 dan memulai pendirian Istana Kadriah pada tahun 1855. Pada bulan April 1855, Sultan Syarif Usman Alqadrie meletakkan jabatannya sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan kemudian wafat pada tahun 1860 dengan meninggalkan 6 orang istri dan 22 orang anak Anak tertua Sultan Syarif Usman Alqadrie, bernama Syarif Hamid Alqadrie, dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang keempat pada tanggal 12 April 1855. Pada era Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 – 1872), wilayah Belanda di daerah kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak semakin meluas, termasuk di daerah bagian barat Sungai Kapuas Kecil yang menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Belanda di Kalimantan Barat. Taktik Belanda yang seperti ini sudah dimulai sejak era Sultan Syarif Kasim Alqadrie sebagai upaya untuk terus menekan Kesultanan Kadriah Pontianak dan mengecilkan peran Sultan Hamid Alqadrie. Sultan Syarif Hamid Alqadrie wafat pada tahun 1872, meninggalkan 3 orang istri, 3 orang selir, dan 20 orang anak. Putra tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie, Syarif Yusuf Alqadrie, diangkat sebagai Sultan Kadriah Pontianak beberapa bulan setelah ayahandanya wafat. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak kelima, Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap sebagai penyebar agama Islam. Era pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie berakhir pada tanggal 15 Maret 1895 dan digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang kelima pada tanggal 6 Agustus 1895. Pada masa ini, campur-tangan Belanda dalam urusan internal Kesultanan Kadriah Pontianak semakin kuat dengan ikut memaksakan pengaruhnya bahkan sampai dalam hal yang prinsip, yakni menghapuskan Syariat Islam dan menggantinya dengan hukum pidana dan perdata.
            Di sisi lain, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie sangat berperan dalam mendorong terjadinya perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropa sebagai pakaian resmi di samping pakaian Melayu dan menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Di sektor ekonomi, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menjalin perdagangan dengan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, dan Banjarmasin, bahkan dengan Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, serta India. Selain itu, Sultan juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung kaum petani Melayu, Bugis, Banjar, dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat.
            Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menjadi penanda tamatnya kekuasaan Belanda seiring kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942. Namun, hadirnya balatentara Jepang di Pontianak justru menjadi petaka bagi Kesultanan Kadriah Pontianak. Pada bulan Januari 1944, karena dianggap bersekutu dengan Belanda, Jepang menangkap Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (pada tanggal 24 Januari 1944) beserta ribuan orang kerabat kesultanan, pemuka adat, dan tokoh masyarakat Kadriah Pontianak. Mereka kemudian dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Juni 1944. Jenazah Sultan Syarif Muhammad Alqadrie baru ditemukan pada tahun 1946. Tragedi berdarah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.
d.        Kesultanan Kadriah Pontianak pada Era Kemerdekaan RI
            Meskipun proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, namun situasi politik di Pontianak masih belum stabil karena berita tentang kemerdekaan Indonesia sangat terlambat sampai ke Pontianak. Pada tanggal 29 Agustus 1945, di bawah pengawasan aparat Jepang yang masih bertahan di Pontianak, keluarga Kesultanan Kadriah Pontianak yang tersisa mengadakan pertemuan guna memilih pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie. Pertemuan darurat ini akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Syarif Muhammad Alqadrie, ditetapkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang ketujuh.
            Dipilihnya Syarif Thaha Alqadrie sebagai calon Sultan Kadriah Pontianak disebabkan karena memang tidak ada pilihan lain. Pasalnya, 4 orang putra almarhum Sultan Syarif Muhammad Alqadrie telah gugur akibat keganasan Jepang, sedangkan seorang putra yang masih hidup, yakni Syarif Hamid Alqadrie, saat itu masih menjadi tahanan Jepang. Sejak tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie, mantan perwira kesatuan tentara Hindia Belanda atau Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), dipenjarakan di Batavia. Masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alqadrie hanya berlangsung selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus hingga Oktober 1945, karena Syarif Hamid Alqadrie sudah bebas dari penjara dan kembali ke Pontianak. Syarif Hamid Alqadrie dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak kedelapan pada tanggal 29 Oktober 1945 dan bergelar Sultan Syarif Hamid II Alqadrie atau yang sering dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
            Berdasarkan konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949, Sultan Hamid II mengisi posisi sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Selain itu, Sultan Hamid II selalu terlibat dalam berbagai perundingan penting antara Indonesia dan Belanda. Ketika RIS dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara dan selama masa jabatan itu, ia menjadi salah satu orang yang ditugaskan Presiden Soekarno untuk merancang gambar lambang negara. Presiden Soekarno mengamanatkan bahwa lambang negara hendaknya mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara, di mana sila-sila Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
            Pada tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan selaku Wakil DKIB. Selanjutnya, pada tanggal 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Lencana Negara yang bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara. Dalam seleksi tersebut, terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Pemenangnya adalah karya Sultan Hamid II karena karya Yamin menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang. Dengan demikian, Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Indonesia adalah karya putra Kesultanan Kadriah Pontianak, yaitu Sultan Hamid II. Namun, peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dimotori mantan Kapten KNIL, Raymond Westerling, pada tanggal 23 Januari 1950, menyeret nama Sultan Hamid II. Menurut pernyataan Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, Westerling memang sempat menawarkan kepada Sultan Hamid II untuk mengambil-alih komando namun Sultan Hamid II menolak tegas tawaran tersebut karena Westerling adalah gembong APRA.
            Namun, dugaan keterlibatan Sultan Hamid II dalam peristiwa Westerling tetap membuatnya dipenjara oleh pemerintah RI selama 10 tahun sejak tahun 1953. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950. Dengan dihukumnya Sultan Hamid II, roda pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak pun berhenti di mana kesultanan sudah tidak mempunyai kekuasaan secara politik lagi. Sultan Hamid II selaku Sultan Kadriah Pontianak yang terakhir, meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang.
D.      Peristiwa Mandor
a.        Awal Terjadi Peristiwa
            Peristiwa mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam yang pernah terjadi di kalimantan barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1945 di daerah Mandor kabupaten landak Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat maupun pejuang lainnya gugur sebagai kesuma bangsa atas kebiadaban Jepang kala itu. Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja. Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) mereka tidak ingin terjadi pemberontak-pemberontak terdapat di kalimantan barat. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.

b.        Kronologi Peristiwa
            Masuknya tentara pendudukan Jepang bulan Juni tahun 1942 di Kalbar, ditandai dengan tindak kekerasan perampasan, perampokan, pemerkosaan dan penindasan rakyat. Hingga akhirnya seluruh suku, pemuka masyarakat, raja dan panembahan di Kalbar berkumpul dan bermusyawarah bagaimana menangani tentara pendudukan Jepang yang bertindak semena-mena. Namun, musyawarah tersebut tercium oleh Jepang karena ada mata-mata Jepang yang juga orang Indonesia ikut dalam musyawarah itu. Jepang tambah curiga ketika datang dua orang utusan dari Banjarmasin yakni Dr Soesilo dan Malay Wei, dimana secara diam-diam dua tokoh tersebut menyampaikan berita bahwa akan ada gerakan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang sekitar bulan Januari 1944.
            Sialnya, rencana pemberontakan tersebut diketahui oleh tentara pendudukan Jepang sehingga mulailah terjadi penangkapan. Pembunuhan besar-besaran terjadi pada tanggal 20 Rokoegatsu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944. Di suatu siang kendaraan truk tertutup kain terpal berhenti di depan Istan Raja Mempawah. Serdadu bersepatu selutut dan topi yang berjumbai ke belakang serta pinggang yang digelayuti "samurai" turun terburu-buru menuju Istana. Dengan alasan mengajak berunding, serdadu "Dai Nippon" itupun menciduk Raja Mempawah. Kemudian menangkap pula Panangian Harahap dan Gusti Djafar, teman baik sang Raja. Mereka bertiga dengan tangan terikat diberi sungkup kepala terbuat dari bakul pandan, lalu digiring ke atas truk yang sudah menunggu dari tadi. Serdadu yang lain dengan cekatan menempeli istana dan rumah kedua sahabat raja dengan plakat bertuliskan huruf kanji. Bunyinya "Warui Hito" yang artinya orang jahat. Ternyata saat itu tak cuma di rumah itu saja yang ditempeli. Banyak sekali rumah-rumah di wilayah Kalbar yang di atas pintunya tertempel "Warui Hito". Kalau sudah begitu, penghuninya tak akan kedatangan tamu lagi, karena sudah dicap jahat. Masyarakat umum pun tak berani bertandang ke situ. Sebab mereka tahu betul, jika berani mendekat apalagi bertamu, berarti tak lama lagi rumahnya bakal ditempeli dan dirinya disungkupi untuk dinaikkan ke atas truk pula. Sehingga terjadilah apa yang dikenal dengan "Oto Sungkup". Mereka ditangkap dengan disungkup bakul, dibawa ke tempat pembantaian yang sekarang dinamakan Makam Juang Mandor. Setibanya di Mandor, mereka yang ditangkap diturunkan dari truk dan disuruh menggali sendiri lubang tempat mereka bakal dikuburkan. Setelah lubang tersedia barulah Tentara Jepang dengan tanpa perikemanusiaan menyiksa dan memancung satu per satu leher korban dengan pedang samurainya. Sehingga terjadilah peristiwa yang dikenal dengan "Mandor Bersimbah Darah". Sungguh mengenaskan, badan yang terkubur terpisah dari kepala. Pembantaian sadis seperti itu terus berlanjut hingga tahun 1945, tentara pendudukan Jepang tak kenal kompromi terus menangkap dan membunuh rakyat Kalbar yang dianggap pembangkang dengan dalih ingin mendirikan negara Borneo Barat dari penjajahan. Menurut para ahli-ahli sejarah, yang bertanggung jawab atas aksi pembantaian masal ini adalah Syuutizitiyo Minseibu.
            Secara garis besar, korban - korban pembantaian Jepang saat itu yang juga termasuk beberapa tokoh penting di Kalimantan Barat adalah :
1.        Sultan - Sultan Pontinak
2.        Panembahan Sanggau Ade Muhammad Ari
3.        Pangeran Adipati
4.        Pangeran Agung
5.        JE. Patiasina
6.        Panembahan Ketapang Gusti Sauna
7.        Panembahan Sintang Raden Abdullah Daru Perdana
8.        Panembahan Ngabang Gusti Abdul Hamid
9.        Tokoh Tionghoa : Tjhai Pin Bin, Tjong Tjok Men dan Thai Sung Hian.
10.    Dan tentunya rakyat-rakyat sipil yang tidak berdosa.
Alasan Jepang Melakukan Pembantaian
            Sebenarnya pembantaian yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat tersebut memang mempunyai suatu maksud. Kalimantan Barat sendiri mempunyai lokasi yang strategis dan hanya mempunyai penduduk sekitar satu setengah juta jiwa. Selain itu Kalimantan Barat sendiri mempunyai wilayah yang sangat luas yaitu satu setengah kali luas pulau Jawa ditambah Madura dan Bali. Kalimantan sendiri pada waktu itu akan dijadikan seperti Manchuria dan Korea kedua.
            Pada waktu itu di Kalimantan Barat, semua orang yang berumur dua belas tahun ke atas semuanya akan dibunuh habis. Generasi sisanya sampai kanak-kanak akan dididik dengan ala Jepang ditambah dengan orang-orang jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. Maka jadilah Kalimantan barat lima puluh tahun mendatang sebagai “ Jepang beneran” dan itu merupakan rencana militer Jepang. Itulah sebabnya mengapa banyak kaum intelektual yang dibunuh pada saat pembantaian di kota Mandor tersebut.
E.       Peristiwa PGRS-PARAKU
            Peristiwa PGRS-PARAKU yang terjadi di Kalimantan Barat dilatarbelakangi karena faktor konfrontasi yang terjadi antara Indonesia (dibawah rezim Sukarno) dan Malaysia yang ingin membentuk suatu negara federasi yang isinya berupa negara-negara dari Asia Tenggara khususnya Malaysia, Singapura, Brunei, Sabah, dan Serawak (dibawah pimpinan Perdana Mentri Persekutuan Melayu Tun Adul Rahman).
            Akibat dari konfrontasi ini, orang-orang yang tergabung dalam Pasukan Gerilya Rakyat Serawak dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Sabah) yang sebelumnya tergabung dalam suatu organisasi yang berideologi komunis menentang pembetukan federasi tersebut dan akhirnya memilih hijrah ke Indonesia pada waktu itu yang saat itu lebih condong mengarah ke pro-komunis pada saat kepemimpinan Sukarno .
            PGRS-PARAKU pada tahun 1963-1965 mendapat dukungan penuh dari Indonesia pada waktu itu karena Sukarno tidak senang jika pada waktu itu federasi tersebut terbentuk, Sukarno menganggap bahwa jika federasi itu terbentuk maka Malaysia dan negara-negara disekitarnya tidak akan pernah merdeka, dan Inggris dan Amerika Serikat akan menanamkan pengaruh-pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara, karena pada waktu itu keadaan dunia pasca perang dunia mengalami pembagian wilayah pengaruh. Sama seperti saat Perang Dunia II, dimana ada Inggris maka disitu juga ada Amerika Serikat.
            Pada fase 1963-1965 para gerilyawan PGRS-PARAKU dilatih oleh RPKAD di bengkayang. Pasukan-pasukan tersebut dilatih strategi perang ala Indonesia dan kemudian melakukan pemberontakan di wilayah federasi Malaysia yang secara tidak langsung dijaga oleh tentara Malaysia dan Inggris.
            Kemudian, pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI yang dikenal dengan peristiwa penculikan petinggi-petinggi militer yang dibunuh dan dikubur dalam satu lubang sumur yang berlokasi di lubang buaya, rezim pemerintahan Sukarno mulai runtuh dan puncaknya pada 11 Maret 1966 yang dikenal dengan “SUPERSEMAR” yang intinya pemindahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto yang secara otomatis merubah kebijakan-kebijakan Indonesia termasuk salah satunya terhadap PGRS-PARAKU di Kalimantan Barat.
            Seperti sebuah istilah beda pemimpin beda juga kebijakan, kebijakan terhadap PGRS-PARAKU pada waktu itu berubah 180 derajat, yang awalnya Indonesia mendukung penuh pergerakan yang dilakukan PGRS-PARAKU berubah menjadi penumpasan. Kebijakan Suharto yang ingin memperbaiki hubungan dengan Malaysia dan Inggris, membuat PGRS-PARAKU akhirnya menjadi musuh bersama antara Indonesia, Malaysia dan Inggris. PGRS-PARAKU yang berideologi komunis akhirnya mendapat julukan Gerombolan Tjina Komunis (GTK), sampai akhirnya dianggap sebagai PKI oleh orde baru. Segala cara pun dilakukan untuk menumpas PGRS-PARAKU, salah satunya adalah dengan memprovokasi suku dayak. Peristiwa hilangnya petinggi-petinggi suku dayak, diberitakan oleh TNI sebagai perbuatan dari PGRS-PARAKU. TNI pun menghasut masyarakat dayak untuk melakukan aksi balas dendam, sampai akhirnya terjadilah peristiwa yang menjadi sejarah kelam di Kalimantan Barat. Peristiwa rasialis dimana suku dayak membantai etnis tionghoa, sekitar 3.000 korban jiwa malayang dalam peristiwa yang dikenal dengan nama “Peristiwa Mangkok Merah”
            Peristiwa penumpasan ini tidak lepas dari hubungan Suharto dengan negara-negara barat, yang secara langsung menjalin hubungan kembali dengan PBB dan Malaysia. Pada era Sukarno, ia sangat mendukung pergerakan yang dilakukan PGRS-PARAKU dan ini sangat tidak disenangi pihak barat karena dinilai menghambat usahanya untuk menanamkan paham-paham liberalnya di Asia Tenggara dan juga pihak PGRS-PARAKU yang juga anti Inggris pantas untuk di tumpas.
CIA (Amerika) merupakan dalang di balik peristiwa pembunuhan massal terhadap etnis tionghoa di Kalimantan Barat. Ini merupakan salah satu dari tiga skenario yang dibuat CIA di Indonesia, yang salah satunya penumpasan PGRS-PARAKU dan  mengondisikan G30S di Jakarta.
Setelah penumpasan PGRS-PARAKU itu berhasil dilakukan, dan merupakan bagian dari sejarah kelam di Kalimantan Barat, pengungsian besar-besaran etnis tionghoa dari perbatasan menuju perkotaan pun terjadi, beberapa saksi hidup menyatakan bahwa mereka mengungsi dari perbatasan ke perkotaan dengan berjalan kaki sekitar 75-130 kilo meter setelah peristiwa tersebut guna mencegah paham komunis pergerakan itu kembali masuk kedalam ideologi etnis tionghoa.














BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
            Berdasarkan sejarahnya, sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan hinggan menjadi kesultanan di Kalimantan Barat tidak lepas dari beberapa cerita-cerita rakyat, bermula dari berdirinya kerajaan Sanggau, Mempawah, hingga Pontianak. Selain dari cerita-cerita rakyat tersebut, ada hal yang menarik dan dapat dijadikan suatu kesimpulan bahwa dimana diantara ketiga kerajaan tersebut, silsilah awal kerajaan tidak lepas dari ikatan kerabat/talian darah yang erat dari ketiga kerajaan tersebut.
            Sejak kedatangan pasukan kolonial merupakan cikal bakal terpecah belahnya kerajaan-kerajaan yang ada di Kalimantan Barat, dengan berbagai strategi yang dilakukan pihak kolonial diantaranya mengadakan perjanjian-perjanjian yang bermaksud mengikat setiap kerajaan, juga menjalankan politik yang terkenalnya yaitu Devide Et Impera / Politik adu domba.
            Sejak kedatangan Jepang ke Kalimantan Barat setelah berhasil mengalahkan belanda pada tahun 1942, Jepang masuk dan secara langsung menjadi penguasa di Kalimantan Barat. Kekejaman dan tindakan semena-mena dari pasukan Jepang, membuat para kaum raja, cendikiawan, pemuka masyarakat ingin membentuk suatu kesatuan pembetontakan terhadap pasukan Jepang. Hal ini tercium oleh pasukan Jepang, dan secara langsung para kaum-kaum yang merencanakan pemberontakan tersebut dipadamkan dengan peristiwa yang mula-mula dikenal dengan “Kapak Merah” kemudian berlanjut dengan “Oto Sungkup” dan puncaknya adalah peristiwa “Mandor Bersimbah Darah” yang terjadi pada tanggal 28 Juni 1944 di Mandor. Dan kemudian 28 Juni dikenal sebagai hari berkabung daerah untuk Kalimantan Barat.
            Ajakan pihak Malaysia membentuk Suatu Federasi di wilayah Asia Tenggara pada tahun 1963 di tentang keras oleh Presiden Indonesia Ir.Soekarno yang secara langsung mendukung aksi-aksi penolakan yang dilakukan oleh PGRS-PARAKU di Serawak dan Kalimantan Utara(Sabah). Peristiwa ini dikenal dengan “Ganyang Malaysia”. Pada saat terjadi peristiwa G30S mulailah rezim Soekarno itu runtuh kemudian digantikan oleh kepemimpinan Soeharto. Berbeda dengan era soekarno dukungan Indonesia di bawah era Soeharto berbanding 180 derajat yakni dengan melakukan penumpasan. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa “Mangkok Merah” yang merupakan bagian dari sejarah kelam Kalimantan Barat.












Daftar Isi
http://ayuhanifa1510.blogspot.com/2011/11/sejarah-peristiwa-mandor.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasukan_Rakyat_Kalimantan_Utara
http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130120/peristiwa-mangkok-merah-ketika-imperialisme-mengawini-rasialisme.html
http://syawalcueexs.blogspot.com/2013/08/kerajaan-pontianak-istana-kadriah.html
http://tpa-bustanul.blogspot.com/p/kesultanan-kerajaan-mempawah.html
http://restorasiborneo.blogspot.com/2011/08/kesultanan-sanggau.html
http://zoehrie.blogspot.com/2008/12/asal-muasal-kerajaan-mempawah.html
http://sanggau.gensapa.com/2012/12/sejarah-kerajaan-sanggau.html

http://goenaar.blogspot.com/2009/11/paraku-pgrs-kambing-hitam-paska.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar