BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kalimantan Barat merupakan sebuah
wilayah yang sebetulnya sejarahnya belum terlalu banyak terkuak ke
bagian-bagian pembahasan sejarah Nasional. Hal inilah yang melatarbelakangi
saya mengulang kembali pembahasan materi tentang beberapa kerajaan dan
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Kalimantan Barat yang merupakan
bagian dari pembelajaran pada mata kuliah Sejarah Lokal.
Tujuannya adalah untuk mengulang kembali
pembasan materi tentang kerajaan Sanggau, kerajaan Mempawah, kerajaan
Pontianak, peristiwa Mandor, dan PGRS-PARAKU pada mata kuliah Sejarah Lokal
agar mahasiswa-mahasiwa teman seperjuangan sekalian lebih memahami tentang
materi-tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
gambaran umum tentang kerajaan Sanggau ?
2.
Bagaimana
gambaran umum tentang kerajaan Mempawah ?
3.
Bagaimana
gambaran umum tentang kerajaan Pontianak ?
4.
Bagaimana
gambaran umum tentang peristiwa Mandor ?
5.
Bagaimana
gambaran umum tentang peristiwa PGRS-PARAKU ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
secara ringkas tentang gambaran umum kerajaan Sanggau !
2.
Untuk mengetahui
secara ringkas gambaran umum tentang kerajaan Mempawah !
3.
Untuk mengetahui
secara ringkas gambaran umum tentang kerajaan Pontianak !
4.
Untuk mengetahui
secara ringkas tentang peristiwa Mandor !
5.
Untuk mengetahui
secara ringkas tentang gambaran umum peristiwa PGRS-PARAKU !
D.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup penyusunan makalah ini difokuskan kepada hal-hal
yang berkaitan dengan keadaan Kerajaan Sanggau, Kerajaan Mempawah, Kerajaan
Pontianak, Peristiwa Mandor dan Peristiwa PGRS-PARAKU.
E.
Metode Pengumpulan Data
Data
penyusunan makalah ini diperoleh dengan studi kepustakaan, yaitu suatu metode
dengan membaca secara telaah tentang Kerajaan Sintang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kerajaan Sanggau
Sanggau
adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak
begitu jauh dari kota pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten, di wilayah Sanggau
berdiri satu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Penyebutan
"Sanggau" sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh ditepi sungai
daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni sungai sekayam. Berdasarkan cerita
rakyat, Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara
Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari
suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakinini
bahwa nama "Sanggau" diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah
klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Babai Cinga.
Melahirkan
seorang putra yang diberi nama Aria Jamban. Aria Jamban kemudian menurunkan
Aria Batang dan selanjutnya Aria Batang beranak Aria Likar. Pada masa itu, Dara
Nante yang menjadi pemimpin otonom lokal di Mengkiang mengangkat orang
kepercayaannya, Aria Dakudak untuk menjadi seorang patih di daerah Semboja atau
Segarong yang letaknya di antara Sungai Mawang dan Bunut sekarang. Dalam
perkembangan kemudian, Patih Dakudak digantikan oleh Dayang Mas.
Pada masanya
ini, pusat pemerintahan dialihkan ke Mengkiang dari Semboja. Dayang Mas merupakan
kerabat dekat dari Dara Nante. Dalam memimpin Negeri Mengkiang, ia didampingi
suaminya Patih Nurul Kamal putra dari Patih Kiyai Kerang yang berasal dari Banten.
Selanjutnya keturunan dari Dayang Mas dan Patih Nurul Kamal menggunakan nama
Kiyai seperti Kiyai Patih Gemuk, Kiyai Mas Senapati, Kiyai Mas Demang, Kiyai
Mas Jaya, Kiyai Mas Jaya Ngebil dan Kiyai Mas Temenggung.
Setelah
Dayang Mas wafat, ia digantikan oleh Dayang Puasa. Mulanya Dayang Puasa menikah
dengan Kiyai Patih Gemuk, yang merupakan saudara dekat Patih Nurul Kamal. Perjodohannya
itu dikaruniai seorang anak yang bernama Pangeran Agung Renggang. Setelah Kiyai
Patih Gemuk mangkat, Dayang Puasa yang bergelar Ratu Nyai Sura menikah lagi
dengan Abang Awal yang berasal dari Kerajaan Embau Hulu Kapuas. Perkawinan yang
kedua ini dikaruniai empat orang anak. Keempatnya, masing-masing bernama Abang Djamal
yang merintis dan bertahta di Negeri Belitang sebagai cikal bakal Kerajaan Belitang.
Anak kedua, Abang Djalal bertahta di Balai Lindi Melawi. Kemudian Abang Nurul kamal
yang bertahta dan menjadi Panembahan di Sanggau Lama. Dan anak keempat Abang
Jaw lahir atau Abang Djauhir yang memerintah di daerah Sintang.
Pangeran
Agung Renggang setelah dewasa kemudian menduduki tahta. Namun ia hanya beberapa
bulan memerintah, kemudian mengundurkan diri dan selanjutnya digantikan oleh saudara
seibunya, Nurul Kamal yang dikenal juga dengan sebutan Abang Gani yang bergelar
Kiyai Patih Busu Kusuma. Setelah mangkat, Abang Gani atau Nurul Kamal digantikan
putranya yang bernama Abang Basun Pangeran Mangkubumi. Dalam memerintah ia
didampingi dua orang saudaranya, Abang Abun Pangeran Sumabaya dan Abang Guning.
Wafatnya Abang Basun maka naik tahtalah Abang Ahmad atau Abang Daruja atau Uju yang
belakangan kemudian bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin. Abang Ahmad atau Abang
Daruja atau Uju, di atas tahta Kerajaan Mengkiang bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin.
Ia kemudian mengalihkan pusat pemerintahan kerajaan di tengah Kota Sanggau
kapuas sekarang. Pusat kerajaan dibangun di tepi aliran Sungai Kapuas. Ia merupakan
peletak dasar berdirinya Kerajaan Sanggau dengan pusat kekuasaan di Kota Sanggau
Kapuas. la menikah dengan Putri Ratu Ayu yang berasal dari Kerajaan Landak. Pasangan
Sultan Ahmad Jamaluddin dan Putri Ratu Ayu inilah yang merupakan penurun para
raja dan wakil raja serta kaum kerabat bekas Kerajaan Sanggau seterusnya.
Setelah wafat
ia digantikan Abang Saka yang bergelar Sultan Muhammad Kamaruddin. Dalam
memerintah, ia didampingi saudaranya yang bernama Abang Sebilanghari, yang kemudian
bergeiar Panembahan Ratu Surya Kusuma. Semasa hidupnya, sultan terdahulu, Ahmad
Jamaluddin telah membagi kekuasaan kerajaan, di mana Abang Saka memerintah di
Keraton Darat, dan Abang Sebilanghari di Keraton Laut. Gelar yang dipakai untuk
menjadi raja diberi tambahan Gusti untuk penguasa di sebelah darat. Sedangkan
untuk penguasa yang membantu raja memerintah diberi gelar Ade atau penguasa di
sebelah laut. Dengan demikian, sepeninggal Abang Uju, kekuasaan menjadi
terpisah dalam dua wilayah kekuasaan. Setelah Abang Saka atau Sultan Muhammad
Kamaruddin wafat, maka tampuk kekuasaan diambilalih oleh Abang Sebilanghari
yang kemudian bergelar Panembahan Ratu Surya Kusuma. la menikah dengan Utin
Parwa dari Kerajaan Tayan.
Setelah wafat,
digantikan oleh putranya Gusti Thabrani Pangeran Ratu Surya Negara didampingi
Abang Togok yang bergelar Pangeran Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir yang
menikah dengan Ratu Srikandi.
Dengan
pecahnya keturunan raja-raja Sanggau dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan,
di mana adanya pusat kekuasaan di sebelah darat dan di sebelah laut, maka dalam
masa pemerintahan Gusti Thabrani diambil suatu kesepakatan antara kedua turunan
penguasa di darat dan laut untuk memerintah secara bergantian menduduki tahta. Apabila
raja sebelah darat yang menjadi raja atau panembahan, maka raja sebelah laut menduduki
jabatan selaku mangkubumi. Begitu pula seterusnya, apabila di sebelah laut menduduki
tahta sebagai panembahan, maka keturunan sebelah darat menjabat sebagai mangkubumi.
Perkembangan ini terus berlangsung sampai kedatangan kolonial Belanda ke ibukota
kerajaan Sanggau Kapuas.
Setelah
Abang Thabrani wafat, naik tahtalah Abang Togok bergelar Gusti Muhammad Thahir
I yang mernerintah Kerajaan Sanggau dalam tahun 1798-1812. Panembahan Thahir I
memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Osman Paku Negara. Wafatnya Panembahan
Thahir I, maka naik tahtalah Pangeran Osman Paku Negara sebagai panembahan yang
berkuasa dalam tahun 1812-1814. Ia memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran
Muhammad Ali Mangku Negara I yang kemudian menggantikan Panembahan Osman
sebagai panembahan Sanggau tahun 1814-1825. Ketika memerintah didampingi
Mangkubumi Pangeran Ayub Paku Negara. Pada akhirnya setelah menjabat selama
sembilan tahun sebagai Mangkubumi Sanggau, Pangeran Ayub Paku Negara kemudian menduduki
tahta kerajaan bergelar Sultan Ayub dan memerintah dalam tahun I825-1830. Dia
kemudian mengalihkan pusat pemerintahan ke Kampung Kantuk sekarang. Tahun 1826
Sultan Ayub membangun Masiid Jami Syuhada dan mulai saat itu Kerajaan sanggau
mengalami penataan dan perkembangan pesat serta modern. Sebelumnya, Kerajaan
sanggau telah diserahkan oleh Kesultanan Banten (melalui Kesultanan Pontianak)
ke tangan Belanda, karena Sanggau merupakan kerajaan vazalnya, bersamaan dengan
berdirinya Kesultanan Pontianak. Wafatnya Sultan Ayub, maka naik tahtalah
saudaranya yang bernama Ade Ahmad yang bergelar Panembahan Muhammad Kusuma
Negara yang memerintah tahun 1830-1860.
Sebagai
Pangeran Mangkubumi diangkatlah Gusti Muhammad Thahir II yang bergelar Pangeran
Ratu Sri Paduka Maharaja. Dalam perkembangan selanjutnya, menyusun penyerahan
Kerajaan Sanggau ke tangan Belanda oleh Pontianak dan Banten, dilangsungkan
penandatanganan Korte Verklaring atau Perjanjian Pendek yang mengikat kerajaan
ini dengan kolonial Belanda pada tanggal 8 Mei dan 20 Mei 1877. Perjanjian ini ditanda
tangani antara kerabat Kerajaan Sanggau dengan Residen Westerafdeeling van Borneo
dan Asisten Residen Westerafdeeling van Borneo Sintang yang secara khusus berkunjung
ke Sanggau Kapuas. Pihak Kerajaan sanggau ditanda tangani oleh Panembahan
Muhammad Kusuma negara, Mangkubumi Muhammad Saleh, Pangeran Ratu Mangku Negara
penguasa Semerangkai, Pangeran Mas Paduka Putra Raja penguasa Balai Karangan
dan Pangeran Adi Ningrat Menteri Kerajaan Sanggau.
Dalam
perjanjian itu ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam sebagai daerah yang diserahkan
kepada militer Belanda. Seterusnya, upaya kolonial Belanda tidak hanya sampai
di situ atau bukan sebatas melakukan perjanjian atau korte verklaring. Namun
telah melangkah lebih jauh. Hal itu dengan dilakukannya politik devide et
impera atau politik pecah-belah, di mana Belanda telah mencampuri urusan
pengaturan pemerintahan Kerajaan Sanggau. Kolonial Belanda melalui Residen
Borneo Barat telah mengangkat raja yang baru yaitu Gusti Muhammad Thahir II
menjadi raja menggantikan Panembahan Muhammad Kusuma Negara. Selanjutnya pula,
setelah menduduki tahta, Gusti Muhammad Thahir II diharuskan terikat dengan
Korte Verklaring terdahulu. Dalam memerintah ia didampingi Mangkubumi Pangeran
Haji Sulaiman Paku Negara. Sebelum diangkat sebagai raja, Thahir II telah
berkunjung ke Brunei Darussalam dan diangkat sebagai kerabat oleh Sultan Brunei
Darussalam Syarif Syahbuddin dengan diberi gelar Pangeran Paduka Srimaharaja
sejak 8 Jumadil Awal 1296 H, ditandai pula dengan pengaturan tapal batas
kerajaan antara Sanggau dan Brunei mulai dari Hulu Sekayam sampai Hilir
Kembayan dan dihadiahi satu meriam bermotif naga dari Brunei. Semasa hidupnya
Gusti Thahir II dikaruniai dua orang putra, yang tertua Gusti Ahmad Putra
Negara dikenal sangat anti kolonial Belanda. Karenanya dalam tahun 1876-1890 ia
diasingkan Belanda ke Purwakarta dan wafat di sana. Gusti Thahir II wafat,
digantikan Haji Ade Sulaiman Paku Negara yang memerintah tahun 1876-1908. Di
masa Panembahan Sulaiman, pada tanggal 14 April 1882, kembali ditandatangani
Korte Verklaring antara Sanggau dengan Belanda. Selaku Mangkubumi semasa
pemerintahan Panembahan Sulaiman adalah Haji Pangeran Muhammad Ali Surya Negara.
Korte verklaring tersebut berisi antara lain menunjuk dua orang raja di Sanggau
masing-masing di darat Haji Pangeran Muhammad Ali Mangku Negara dan di laut Panembahan
Haji Sulaiman Paku Negara. Mengatur pembagian kerja untuk raja dan kerabatnya.
Bagi orang Dayak dianggap sebagai rakyat kerajaan. Mengatur perbatasan pemerintahan
Kerajaan Sanggau dengan kerajaan lain serta mengatur pembayaran upeti oleh
rakyat kepada kerajaan yang dinamakan blasting dan natura. Semula para penguasa
kerajaan menjadi tuan di negerinya. Namun sejak ditanda tanganinnya korte
verklaring tersebut, mereka seumpama peminjam tanah dan hak mereka dari
kolonial Belanda.
Segala
sesuatu yang semula sebagai otonom dari kerajaan, telah dibatasi dan harus dengan
pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Panembahan Haji Ade Sulaiman
mangkat, tahta dilanjutkan Pangeran Haji Gusti Muhammad Ali II Surya Negara. Ia
adalah putra dari Haji Gusti Ahmad Putra Negara yang diasingkan kolonial Belanda
ke Purw akarta hingga wafatnya di sana. Namun sebelum menduduki tahta kerajaan
dalam tahun 1908, terjadi perselisihan dengan kerabatnya. Di mana Pangeran
Adipati atau Pangeran Dipati Ibnu putra dari Panembahan Sulaiman raja terdahulu
tidak mau menyerahkan tahta. Menurutnya, dirinya lebih berhak menggantikan ayahnya
Panembahan Sulaiman untuk melanjutkan kekuasaan kerajaan. Mengatasi masalah
tersebut, pihak kolonial Belanda campur tangan dan kemudian menobatkan Gusti Muhammad
Ali II sebagai raja Sanggau dalam tahun 1908 dan memerintah hingga 1915.
Dan
Pangeran Adipati diasingkan ke Pulau Jawa. Sebagai Mangkubumi dinobatkan saudara
kandung Panembahan Sulaiman yaitu Haji Pangeran Ade Muhammad Said Paku Negara.
Setelah Panembahan Ali II wafat, naik tahtalah Haji Ade Muhammad Said Paku Negara
(1915-1920) didampingi Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara selaku
penguasa Kerajaan Sanggau.Panembahan Gusti Muhammad Ali semasa hidupnya
dikaruniai sembilan orang putra dan lima putri. Masing-masing Gusti Muhammad Thahir
III Surya Negara, Gusti Ahmad Pangeran Adipati Surya Negara, Gusti Abdurrahman,
Gusti Burhan, Gusti Muhammad Arief, Gusti Zainal Abidin, Gusti Syamsuddin,
Gusti Abdul Murad, Gusti Terahib, Utin Isah, utin Hadijah, Utin Mas Uray, Utin
Maryam dan Utin Maimun. Setelah Panembahan Ali II mangkat, diangkatlah Haji
Muhammad said Paku Negara sebagai raja. Ia menduduki tahta tahun 1915-1920
didampingi Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara putra dari Haji
Pangeran Muhammad Ali II. Selanjutnya Gusti Thahir III putra Pangeran Haji
Gusti Muhammad Ali II Surya Negara, menduduki tahta sejak 1920 hingga wafat
tahun 1941.Pembaharuan atau reformasi di dalam tubuh kerajaan mulai dilakukan
Panembahan Thahir III.
Berbagai
fasilitas pendidikan dan sarana fisik lainnya yang membuka hubunga Sanggau
dengan daerah lain dilakukan secara gencar. Salah satunya, isolasi perhubungan
darat mulai terbuka lebar sehingga hubungan dari dan ke Sanggau, Landak Ngabang
dan Sintang mudah ditempuh. Sebelumnya, masih menghandalkan sarana transfortasi
sungai dengan menempuh Sungai Sekayam dan Sungai Kapuas. Di samping itu, di
dalam tata laksana pemerintahan juga dilakukan reformasi di bidang hukum, di
mana pada masa itu didirikan Lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama di dalam
Kerajaan Sanggau. Lembaga ini dipimpin oleh Pangeran Temenggung Surya Agama
Haji Muhammad Yusuf dan Pangeran Penghulu Surya Agama Ade Ahmadin Badawi. Dalam
masa itu diatur pula mengenai peribadatan kaum Nasrani berada di bawah wewenang
Departemen van Onderw ijs En Eredient, sedangkan urusan Agama Islam diatur oleh
kerajaan dan Lembaga Mahkamah Syariah demikian pula menyangkut hukum adat.
Dalam tahun 1941 Panembahan Thahir III mangkat. Maka dinobatkanlah Ade Muhammad
Arif putra dari Panembahan Haji Muhammad Said Paku Negara sebagai Raja Sanggau.
Olehnya, pusat pemerintahan dialihkan ke Sungai Aur Kampung Beringin. Dalam tahun
1944, beserta kerabat keluarganya yang lain, Panembahan Arif menjadi korban kekejaman
balatentara pendudukan militer Jepang. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan
tahta, maka kemudian diangkatlah Gusti Muhammad Umar (1944) untuk memangku
sementara tahta kerajaan. Dalam tahun 1945, ia digantikan Gusti Muhammad Ali
Akbar yang menjabat hingga 1946. Seterusnya. Yang menduduki tahta terakhir Kerajaan
Sanggau hingga dihapuskannya sistem pemerintahan Swapraja Sanggau dalam tahun
1959 adalah Panembahan Gusti Muhammad Thaufiq putra dari Gusti Thahir III.
Gusti Thaufiq yang menjabat antara tahun 1946-1959, terakhir sebagai kepala Swapraja
Sanggau hingga dibentuknya Kabupaten Sanggau dalam tahun 1960.
B.
Kerajaan Mempawah
Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena
pemerintahan Opu Daeang Menambon, yaitu sejak tahun 1737. Pertama kali Kerajaan
Mempawah berdiri, pusat pemerintahannya bukanlah terletak di Mempawah seperti
yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalnnya sekarang. Tetapi pusatnya terletak
di Pegunungan Sadiniang (Mempawah Hulu). Kerajaan yang sangat terkenal saat itu
adalah Kerajaan Suku Dayak, Dalam pemerintahan Kerajaan Mempawah, terdapat dua
zaman yaitu zaman Hindu dan zaman Islam. Pada zaman Hindu Kerajaan di pimpin
oleh Suku Dayak. Sedangkan pada zaman Islam di mulai dari kepemimpinan Opu
Daeng Menambon.
a.
Zaman Hindu
Pemerintahan Kerajaan Dayak dalam kekuasaan Patih
Gumantar. Pada masa Kerajaan yang dipimpin oleh Patih Gumantar, disebut
kerajaan Bangkule Rajakng, pusat pemerintahannya di Sadaniang, bahkan Kerajaan
dinamakan Kerajan Sadaniang. Pada masa kekuasaan Kerajaan Patih Gumantar,
Kerajaan Bangkule Rajakng berada dalam era kejayaan dan sangat terkenal.
Sehingga kerajaan banyak kerajaan tetangga ingin merebutnya. Salah satu
Kerajaan itu adalah Kerajaan Suku Bijau (Bidayuh) di Sungkung. Karena keinginan
yang kuat untuk merebut Kerajaan tersbut, terjadilah Perang Kayau Mengayau
(memenggal kepala orang). Meskipun Patih Gumantar terkenal raja yang sangat
berani, tetapi dengan adanya serangan yang mendadak dari Kerajaan Biaju,
akhirnya Patih Gumantar kalah. Kepalanya terkayau oleh orang-orang Suku Biaju
dan dibawa ke kerajaannya. Pada peristiwa itu juga banyak jatuh korban di
antara kedua belah pihak. Akibatnya sejak kematian Patih Gumantar menyebabkan
Kerajaan Sadaniang ini hancur.
1.
Raja Kudung
Beberapa
abad kemudian sekitar tahun 1610, kerajaan ini bangkit kembali dibawah
kekuasaan Raja Kudung dan pusat pemerintannya dipindahkan ke Pekana (sekarang
namanya Karangan). Kerajaan ini berdiri tidak ada hubungannya denagn Patih
Gumantar Tidak banyak yang dapat diceritakan dari kerajaan ini. Yang jelas,
setelah beliau wafat dan dimakamkan di Pekana, hulu sungai Mempawah, berakhir
pula pemerintah Raja Kudung. Setelah Raja Kudung wafat, pemerintahn diambil
oleh Raja Senggaok.
2.
Raja Senggaok
Pada masa pemerintahan Raja Senggaok, pusat
pemerintahan dipindahkan daerah Pekana ke Senggaok (masih di Hulu Sungai
Mempawah). Raja Senggaok lebih terkenal dengan nama Penembahan Senggaok. Raja
Senggaok mempunyai Istri bernama Putri Cermin, salah satu Putri Raja Qahar dari
Kerajaan Baturizal Indragiri (Sumatera). Dalam perkawinannya, Raja Senggaok dan
Putri Cermin dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Utin Indrawati. Pada
saat perkawinan Raja Senggaok dan Putri Cermin, diramalkan seorang ahli nujum
apabila kelak lahir seorang anak perempuan (Utin Indrawati), maka kerajaan
mereka akan diperintah ole seorang raja dari kerajaan lain. Ketika umur Utin
Indrawati telah cukup dewasa, ia dikawinkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin
dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai seorang
Putri berparas cantik yang diberi nama Puteri Kesumba. Ramalan ahli nujum
tersebut menjadi kenyataan. Setelah berakhir masa pemerintana Raja Senggaok. Kerajaan
tersebut diperintah oleh Opu Daeng Menambon pelaut ulung dari kerajaan
Luwu,sulawesi selatan.
b.
Zaman Islam
Sebelum Opu Deang
Menambon menjadi seorang raja, banyak hal yang telah beliau alami. Opu Deang
Menambon, bukanlah orang asli Kalimantan,. Beliau serta keempat kakak beradiknya
berasal dari Kerajaan Luwu (Sulawesi Selatan). Mereka terkenal pelaut ulung dan
berani. Mereka meninggalkan daerah kelahirannya merantau mengarungi lautan luas
menuju Banjarmasin, Betawi, berkeliling sampai Johor, Riau, semenanjung Melayu,
akhirnya sampai pula di Kerajaan Matan (Ketapang). Dalam perantauannya, mereka
berlima banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil. Baik yang terlibat perang
antar kerajaan maupun perang antar saudara.karena kebiasaan tersebut dan
sifatnya yang suka menolong inilah, mereka terkenal sampai dimana-mana. Pada
saat kedatangan mereka di kerajaan Matan, disaat itu kerajaan tersebut sedang
terjadi perang saudara. Penyebabnya adalah adik kandung Sultan Muhammad
Zainuddin (Raja Matan) yang bernama Pangeran Agung menyerang Sultan Muhammad
Zainuddin. Tujuan dari penyerangan ini adalah ingin merebut tahta Kerajaan Matan.
Tanpa perlawanan, keluarga Raja diungsikan ke Banjarmasin. Dengan bantuan orang-orang
Bugis, Sultan Muhammad Zainudin mengadakan penyerangan tetapi selalu kalah.
Sampai akhirnya Beliau
sendri ditawan dan dipenjara didalam mesjid Agung Tanjungpura (Matan) . Pada
saat Beliau dipenjara, Beliau sempat mengirim surat kepada kelima kakak beradik
melalui rakyat yang masih setia kepadanya. Surat tersebut berisi meminta
bantuan untuk merebut kembali tahta kerajaan yang telah dirampas oleh adiknya.
Menerima surat dari Sultan Muhammad Zainuddin, Opu Daeng Menambon beserta
keempat saudaranya yang sedang berada di Kerajaan Johor utuk membantu kerajaan
tersebut yang diserang oleh kerajaan kecil dari Minangkabau, langsung kembali
ke Kerajaan Matan untuk membantu Beliau. Singkat cerita, mereka dapat mengalahkan
Pangeran Agung tanpa melalui pertumpahan darah. Sultan Muhammad Zainudin
kembali memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Matan.
Pada waktu mereka
berlima membantu Sultan Muhammad Zainuddin inilah, Opu Daeng Menambom
diperkenalkan kepada Putri Kesumba. Akhirnya dari perkenalan mereka itu, mereka
menikah. Putri Kesumba merupakan cucu dari Penembahan Senggaok. Dalam pernikahannya
antara Opu Deang Menanbon, mereka dikaruniai beberapa orang putra dan putri.
Tetapi yang paling terkenal yaitu Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau
Penembahan Adijaya Kesuma Jaya.
a.
Opu Daeng Menambon
Tidak
lama kemudian, ada kabar dari Kerajaan Mempawah kalau wafat. Tahta kerajaan
berikut harta peninggalannya diserahakan kepada Sultan Muhammad Zainuddin. Maka
diserahkanlah semua itu pada menantunya yaitu Opu Daeng Menambon, termasuk
tahta Kerajaan Mempawah. Akhirnya Opu Daeng Menanbon menjadi Raja Mempawah yang
pertama memeluk agama Islam. Saat dinobatkan menjadi Raja, Opu Daeng Menambon
bergelar Pengeran Surya Negara dan Putri Kesumba bergelar Ratu Agung Sinuhun. Sejak
Opu Daeng Menambon naik tahta, pusat pemerintahan dipindahkan dari Senggaok ke
Sebukit Rama. Daerah Sebukit Rama adalah sebuah tempat yang subur makmur, ramai
didatangi para pedagang dari daerah sekitarnya. Pada masa pemerintah Opu Daeng
Menambon, terdapat banyak perbedaan dengan penguasa-penguasa sebelumnya.
Perbedaan yang mencolok diantaranya adalah sistem pemerintahannya. Sebelumnya,
hukum bersumber pada adat setempat, yaitu hukum adat Suku Dayak. Tetapi setelah
Opu Daeng Menambon berkuasa, sistem pemerintahan selain bersumber dari adat
setempat, melainkan juga bersumber hukum Syara yang bersumber pada Agama Islam.
Dengan adanya Agama Islam yang dipakai sebagai sumber hukum pemerintahnya, maka
pada saat pemerintahan raja ini, agama islam menyebar sanpai ke daerah sekitar
Mempawah. Dan sejak itu pula Kerajaan Mempawah menjadi Kerajaan Islam Selain
itu, pemerintahan yang dilaksanakan oleh Opu Daeng Menambon berjalan dengan lancar,
kerana beliau termasuk seorang raja yang bijaksana dan penduduknya beragama
islam serta taat. Dalam memecakan masalah, beliau selalu bermusyawarah dengan bawahannya.
Setelah kira-kira 20 tahun Opu Daeng Menambon memegang tampuk pemerintahan,
beliau wafat. Tepatnya pada hari Senin, tanggal 20 Safar 1175 Hijiriah, atau 1761
Masehi. Opu Daeng Menambon dimakamkan di Sebukit Rama.
b. Gusti
Jamiril
Setelah Opu Daeng
Menambon wafat, maka tampuk kerajaan diserahkan kepada Gusti Jamiril yang
bergelar Penembahan Adijaya Kesuma Jaya. Sejak Gusti Jamiril menjadi raja,
Kerajaan Mempawah makin terkenal. Mempawah menjadi Bandar Dagang yang ramai.
Wilayah kekuasaanya pun semakin luas. Bukan hanya itu, Kerajaan Mempawah juga
memgalami masa kejayaannya. Pada saat pemerintahan Gusti Jamiril, Kerajaan Mempawah
selalu bertempur melawan Belanda. Ini disebabkan karena Beliau difitnah,
dibenci dan mau memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Tentunya,
Belanda murka dan mengerahkan ratusan prajuritnya yang bermakas di Pontianak
untuk menyerang Kerajaan Mempawah. Melihat situasi yang tidak baik, Gusti
Jamiril memindahkan pusat pemerintahan di Sunga (karangan) yang letaknya di
Mempawah Hulu. Keputusan tersebut diambil karena pada masa itu hubungan baik
komunikasi maupun transportasi Mempawah ke Karangan sangat sulit sehingga
pergerakkan pasukan Belanda menuju Karangan berjalan lambat sekali.Kedatangan
Gusti Jamiril di Sunga disambut baik oleh masyarakat setempat. Tetapi belum
sempat Gusti Jamiril mengusir Belanda, beliau wafat pada hari Ahad (minggu)
bula Zulhijjah 1204 H bertepatan dengan tahun 1790 M. Beliau dimakamkan di
Karangan, karena beliau pernah bersumpah tidak rela dikuburkan ditanah yang
telah diinjak oleh Belanda. Syarif Kasim Pada saat Gusti Jamiril meninggalkan
Mempawah menuju karangan, roda pemerintahan tidak ada yang mengendalikan. Maka
Belanda mengangkat Syafif Kasim (Putra dari Sultan Abdurrahman dari Kerajaan
Pontianak) menjadi Raja Mempawah. Syarif Kasim memegang pemerintahan di
Kerajaan Mempawah hanya sebentar saja. Hal ini disebabkan beliau harus menggantikan
kedudukan ayahnya menjadi raja di Kerajaan Pontianak.
c.
Syarif Hussein
Setelah Syarif Kasim
yang dipanggil pulang untuk menggantikan ayahnya menjadi raja, maka disuruhlah
adiknya yang bernama Syarif Hussein menggantikan kedudukannya. Lagi-lagi Syarif
Hussein memerintah hanya sebentar saja karena Putra raja Gusti Jamiril yang
bernama Gusri Jati berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
d.
Gusti Jati
Dibawah
pimpinan Gusti Jati dengan bantuan Gusti Mas, Belanda berhasil dipukul mundur
dari pusat Kerajaan. Dengan perginya Belanda dari Mempawah, tahta kerajaan
diambil alih oleh Gusti Jati sebagai Putra Mahkota. Gusti Jati yang bergelar
Sultan Muhammad Zainal Abidin memindahkan pusat pemerintahan yang dulunya di
Sebukit Rama, sekarang dipindahkan ke Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman.
Tempat ini sangat strategis untuk perang karena terletak di tepi sungai. Selain
itu, Gusti Jati merupakan pendiri Kota Mempawah. Kerajaan Mempawah dibawah
kekuasaan Gusti Jati semakin tersohor sebagai pusat perdagangan dan kota
pertahanan yang kokoh. Belanda tidak mau lagi menyerang Mempawah. Mereka mengubah
siasatnya yaitu menempuh jalan damai. Namun, Mempawah malah mendapat serangan
dari Kerajaan Pontianak. Akhirnya Kerajaan Mempawah kalah disebebkan armada laut
Kerajaan Pontianak sangat tangguh. Dengan kekalahan ini Gusti Jati meninggalkan
Kota Mempawah menuju ke daerah kerajaan lama. Dengan demikian Kerajaan Mempawah
tidak ada yang memerintah.
e.
Gusti Amir
Setelah meninggal,
tahta yang kosong diisi oleh Belanda dengan menobatkan Gusti Amir dengan gelar
Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin. Gusti Mu’min Setelah Gusti Amir
wafat, tahta kerajaan digantikan oleh Gusti Mu’min. yang menobatkannya menjadi
raja, juga pemerintahan Belanda. Hal ini disebabkan sebelum menjadi raja,
beliau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Saat menjadi raja, Gusti Mu’min
bergelar Panembahan Mu’min Natajaya Kusuma. Gusti Mu’min tidak lama menjadi
karena setelah selesai penobatan beliau wafat dan sebab itu lah beliau disebut
Raja Sehari. Wafatnya Gusti Mu’min, tahta kerajaan digantikan oleh Gusti
Mahmud. Beliau bergelar Panembahan Muda Mahmud Alauddin. Setelah Gusti Mahmud
wafat, sebagai penggantinya adalah Putra Mahkota yang bernama Gustu Usman.
Gusti Usman bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma.
f.
Gusti Ibrahim
Gusti Usman mangkat,
maka tahta dipegang oleh Gusti Ibrahim yang bergelar Panembahan Ibrahim
Muhammad Tsafiudin. Pada saat pemerintahannya, Belanda mulai lagi menyakiti
hati rakyat Mempawah. Sehingga tahun 1941 timbul pemberontakan Suku Dayak
terhadap Belanda. Apalagi Belanda sudah mulai menggunakan kekerasan dan memaksa
rakyat untuk membayar pajak. Peristiwa ini disebut Perang Sangking.
g.
Gusti Intan
Setelah Gusti Ibrahim
wafat, Putra Mahkota dari Gusti Ibrahim yang bernama Gusti Taufik belum cukup
umur untuk menjadi raja. Sehingga tahta kerajaan dipegang oleh Gusti intan
yaitu kakak dari Gusti Taufik. Gusti Intan bergelar Panembahan Mangku. Gusti
Taufik Setelah Gusti Taufik dewasa, maka Beliau naik tahta pada tahun 1902M dan
bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Kurang lebih 42 Tahun Gusti
Taufik memerintah Kerajaan Mempawah, Jepang datang. Pada waktu pendudukan
Jepang inilah terjadi suatu tragedi di Kalimantan Barat. Tragedi yang dimaksud
adalah pembantaian secara besar-besaran terhadap para raja, tokoh masyarakat,
kaum cendekiawan maupun rakyat biasa. Salah satunya korban pembantaian tersebut
ialah Raja Mempawah bersama-sama dengan Raja dari daerah lainnya. Kemudian 12
kepala Swapraja beserta tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang ditangkap Jepang
yang akan memberontak terhadap rezim “Pemerintah Bala Bantuan Tentara Jepang”
semuanya dihukum mati. Korban Pembantaian tersebut tidak kurang dari 21.037
orang. Dan sebagian korban tersebut dikuburkan di Mandor dalam semak belukar.
Sekarang tempat tersebut menjadi makam pahlawan yang dinamakan “ Makam Juang
Mandor”. Saat Gusti Taufik wafat, Putra Mahkota yang bernama Jimmy Ibrahim masih
terlalu muda untuk menduduki tahta Kerajaan. Untuk memangku jabatan ini, Jepang
mengangkat Gusti Mustaan sebagai Wakil Panembahan. Sampai berakhirnya masa
jabatan Gusti Mustaan sebagai Wakil Panembaha, Jimmy Ibrahim tidak pernah
memangku jabatan sabai raja di Kerajaan Mempawah. Dan akhirnya Gusti Taufik
dianggap sebagai raja terakhir di Kerajaan Mempawah.
Ada
pun peniggalan-peniggalan adri Kerajaan Mempawah yang masih dapat di nikmati
yaitu :
1.
Keraton
Amantubillah : Bekas keraton Mempawah terletak di Kampung Pedalaman Mempawah
Hilir
2.
Makam Raja-Raja
Mempawah : makam Raja-raja terpencar di beberapa tempat, yaitu : - Makam Opu
Daeng Menambon di Sebukit Rama
-
Makam Raja-raja di Kampung Pedalaman Mempawah
-
Makam Panembahan Adiwijaya di Karangan
3. Mesjid Jami’ Mempawah : terletak di pinggir
sungai Mempawah, masuk wilayah kampong Pedalaman Mempawah.
C. Kerajaan Pontianak
a. Sejarah
Menurut
Syarif Ibrahim Alqadrie, Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat
adalah kesultanan termuda di nusantara, bahkan di dunia, karena kesultanan ini
didirikan relatif paling terakhir dibandingkan dengan kemunculan
kesultanan-kesultanan lainnya. Pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kesultanan
yang lahir dari perpaduan kebudayaan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak ini resmi
didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie.
b.
Riwayat Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak
Syarif
Abdurrahman Alqadrie yang menjadi sosok sentral atas berdirinya Kesultanan
Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah putra dari Sayid Habib Husein
Alqadrie, seorang penyiar agama Islam asal Timur Tengah. Husein Alqadrie
dilahirkan pada tahun 1706 M di sebuah kota kecil bernama Trim di Hadramaut (Yaman
Selatan). Setelah mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan lainnya selama
lebih dari 4 tahun, Husein Alqadrie berkeinginan merantau ke negeri-negeri
timur. Keinginan itu didukung oleh tiga kawan seperguruannya yakni Sayid
Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi. Dalam
perantauannya, keempat pendakwah itu tiba di Terengganu (sekarang termasuk
wilayah negara Malaysia). Dari Terengganu, mereka kemudian menuju ke Aceh. Di
sinilah keempat sahabat itu berpisah. Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di
Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Siak, dan Sayid
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi kembali ke Terengganu. Sedangkan Husein Alqadrie
sendiri melanjutkan perjalanannya menyusuri Pantai Timur Sumatra menuju ke
Pulau Jawa untuk mengunjungi negeri-negeri Islam yang dilaluinya, termasuk
Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram, Jawa bagian timur, dan Betawi. Husein
Alqadrie kemudian menetap di Semarang selama dua tahun. Dari Semarang, ia
menyeberangi lautan hingga sampai di wilayah Kesultanan Matan di Ketapang,
Kalimantan Barat. Kehadiran Husein Alqadrie disambut baik oleh keluarga
Kesultanan Matan yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Muhammad Muazzuddin
(1724−1738 M). Husein Alqadrie berhasil menawan hati warga Kesultanan Matan
karena tidak lama setelah kedatangannya, Husein Alqadrie diangkat menjadi hakim/qadhi
kesultanan oleh Sultan Muhammad Muazzuddin. Bahkan oleh rakyat Matan, Husein
Alqadrie sangat dihormati seperti layaknya seorang wali. Tidak hanya itu,
Husein Alqadrie kemudian dinikahkan dengan anak perempuan Sultan Muhammad Muazzuddin
yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinan itu, Husein Alqadrie dikaruniai 4 orang
anak, yaitu Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman Alqadrie, Syarifah Mariyah,
dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Alqadrie dilahirkan pada tahun
1739 M.
Pada
tahun 1738 M, Sultan Matan, Sultan Muhammad Muazzuddin, wafat dan digantikan
Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749 M). Husein Alqadrie masih bertahan di
Kesultanan Matan hingga Sultan Muhammad Tajuddin digantikan oleh Sultan Ahmad
Kamaluddin (1749−1762 M). Pada masa ini, Husein Alqadrie berselisih paham
dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang kebijakan hukuman mati. Ketidaksepahaman
ini membuat Husein Alqadrie beserta keluarganya meninggalkan Matan pada tahun
1755 M dan beralih ke Kesultanan Mempawah yang kala itu dipimpin oleh Opu Daeng
Menambun (1740-1766 M).
Rombongan
Husein Alqadrie disambut suka-cita oleh keluarga Kesultanan Mempawah. Husein
Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar Kesultanan Mempawah.
Atas izin Opu Daeng Menambon pula, Husein Alqadrie menempati daerah Kuala
Mempawah atau Galah Herang yang menjadi tempat dimana ia mengajarkan Islam.
Untuk mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dengan Kesultanan
Mempawah, maka Syarif Abdurrahman Alqadrie dinikahkan dengan putri Opu Daeng
Menambon dari Ratu Kesumba, bernama Putri Candramidi. Perkawinan ini dikaruniai
tiga orang putra dan tiga orang putri.
Kesukaan
Syarif Abdurrahman Alqadrie adalah berkelana, baik untuk berdagang atau sekadar
berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain. Pada tahun 1759 M, Abdurrahman
Alqadrie mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan,
Siantan, dan Siak. Selanjutnya, pada tahun 1765 M, ia berlayar menuju
Palembang. Dua tahun kemudian, Abdurrahman Alqadrie melakukan perjalanan ke
Banjarmasin dan menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1768, Abdurrahman
Alqadrie menikah lagi dengan putri Sultan Banjar yang bernama Syarifah Anum dan
mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Ketika Abdurrahman
Alqadrie masih berada di Banjarmasin, dua orang yang disayanginya wafat. Pada tahun
1766 M, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia, kemudian disusul
oleh sang ayah, Husein Alqadrie, yang menghembuskan nafas penghabisan pada
tahun 1770 M. Mangkatnya dua orang yang sangat dihormati dan dibanggakan oleh
Abdurrahman Alqadrie itu mendorongnya untuk mencari tempat permukiman baru.
Pada
tahun 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie, di antaranya terdapat lima putra
Opu Daeng Menambon, yaitu Panembahan Adijaya, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar,
Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad, mulai berlayar untuk mencari tempat
permukiman baru. Setelah 4 hari perjalanan, mereka tiba di sebuah pulau kecil
bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Dari
sini, rombongan meneruskan perjalanan hingga mendekati simpang tiga pertemuan
Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat
lokal di sana, di tempat inilah rombongan Abdurrahman Alqadrie berperang
melawan “makhluk halus” yang oleh warga setempat disebut dengan nama hantu
“kuntilanak”.
Pada
akhirnya, nama “kuntilanak” lambat-laun menjadi “Pontianak” yang tidak lain
adalah nama kota di seberang Istana Kadriah Pada
tanggal 23 Oktober 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie berhasil memukul
mundur gerombolan perompak “kuntilanak” di muara Sungai Kapuas dan Sungai
Landak. Pada hari yang sama, rombongan Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian
Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’, masjid agung
Kesultanan Kadriah Pontianak. Kemudian, rombongan Abdurrahman Alqadrie mulai mempersiapkan
permukiman di sebuah tempat yang menjorok ke darat sekitar 800 meter dari
surau.
Permukiman
inilah yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Meski sudah merintis pendirian pemerintahan Kadriah Pontianak sejak tahun 1771 M,
namun baru pada tahun 1778 M Abdurrahman Alqadrie secara resmi dinobatkan
sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman
Alqadrie yang berkuasa sampai tahun 1808 M
c.
Kesultanan Kadriah Pontianak pada Masa Kolonial
Penobatan
Abdurrahman Alqadrie sebagai Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M
dilakukan oleh Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau, dan dihadiri oleh
para pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk dari Kerajaan Matan, Sukadana,
Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, dan Banjar. Abdurrahman Alqadrie
memang memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Kesultanan Riau. Abdurrahman
Alqadrie adalah menantu Opu Daeng Manambon (Sultan Mempawah), sedangkan Sultan
Raja Haji adalah putra Daeng Celak yang tidak lain adalah saudara sekandung Opu
Daeng Manambon.
Pada
masa itu, Belanda melalui VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie) yang
dibentuk sejak 20 Maret 1602, sudah menanamkan pengaruhnya di Kalimantan Barat.
VOC rupanya khawatir melihat hubungan erat antara Kesultanan Kadriah Pontianak
dengan beberapa kerajaan lain dan kemudian VOC berusaha menghancurkan
persekutuan itu. Pada akhir tahun 1778 M, dari Batavia, VOC mengutus Nicholas
de Cloek ke Pontianak untuk merangkul Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie,
tetapi usaha pertama ini gagal.
Selanjutnya,
pada bulan Juli 1779 M, VOC mengirim Willem Adriaan Palm (Komisaris VOC) ke
Pontianak. Dengan alasan mendirikan perwakilan dagang, VOC berhasil menanamkan
pengaruhnya di Kesultanan Kadriah Pontianak. Palm kemudian digantikan Wolter
Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I
(1779 – 1784 M) dengan kedudukan di Pontianak Akal licik VOC rupanya berhasil
membujuk Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie untuk melakukan ekspansi ke wilayah
kerajaan-kerajaan yang semula menjadi sekutu Kesultanan Kadriah Pontianak. Ini
berarti VOC juga sukses mewujudkan misinya, yakni memecah-belah persatuan di
antara kerajaan-kerajaan tersebut.
Dengan
bantuan VOC, pada tahun 1786 M, armada Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang
Kesultanan Tanjungpura di Sukadana. Kemudian, pada tahun 1787 M, Sultan Syarif
Abdurrahman Alqadrie berhasil menaklukan Kesultanan Mempawah. Oleh VOC, putra
sulung Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie dari Putri Candramidi, Syarif Kasim
Alqadrie, diangkat sebagai Panembahan Mempawah.
Pengangkatan
yang tidak disetujui oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie ini diresmikan
berdasarkan perjanjian tertanggal 27 Agustus 1787. Syarif Kasim semakin
tenggelam dalam pengaruh Belanda sampai ketika ayahnya wafat pada tahun 1808. Sebelum
mangkat, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie sebenarnya telah menetapkan
putranya yang lain, Syarif Usman Alqadrie, sebagai penerus tahta Kesultanan
Kadriah Pontianak. Dikarenakan Syarif Usman masih kecil, maka Syarif Kasim
merasa berhak menduduki singgasana sebagai pengganti ayahnya. Pada tahun 1808
itu, Syarif Kasim diangkat menjadi Sultan Kadriah Pontianak namun dengan
kesepakatan bahwa ia hanya menjabat selama sepuluh tahun sambil menunggu Syarif
Usman beranjak dewasa. Perjanjian itu diingkari karena pada kenyataannya Syarif
Kasim berkuasa sampai akhir hayat, yakni hingga tahun 1819.
Di
bawah rezim Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819), Kesultanan Kadriah
Pontianak semakin tergantung kepada pihak-pihak asing, yakni Belanda dan
kemudian Inggris yang berkuasa di Hindia (Indonesia) sejak tahun 1811. Ketika
Belanda kembali menguasai nusantara, termasuk Pontianak, Sultan Syarif Kasim
Alqadrie memperkenankan Gubernur Jenderal Hindia Belanda LPJ Burggraaf du Bus
de Gisignies (1826-1830) mendirikan sebuah benteng Belanda di Pontianak yang
diberi nama Marianne’s Oord, yakni nama putri Raja Negeri Belanda, Raja Willem
I. Inilah asal-muasal nama kampung Mariana yang terletak di depan pelabuhan
Pontianak sekarang. Benteng Marianne’s Oord kemudian menjadi markas tentara
Belanda dan sering disebut sebagai Benteng du Bus.
Pada
tanggal 25 Februari 1819 Sultan Syarif Kasim Alqadrie wafat dan dikebumikan di
Batu Layang. Terjadi ketegangan perihal siapa yang berhak menjadi Sultan
Kadriah Pontianak selanjutnya. Di satu pihak, Syarif Usman Alqadrie dianggap
paling layak menduduki tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Namun di sisi lain, putra
Sultan Syarif Kasim Alqadrie yang bernama Syarif Abubakar Alqadrie juga menginginkan
singgasana tersebut. Di sinilah campur tangan Belanda kembali berperan. Sesuai
kesepakatan sebelum Sultan Syarif Kasim Alqadrie dinobatkan, Belanda kemudian
menunjuk Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855) sebagai Sultan Kadriah Pontianak
ketiga. Untuk meminimalisir konflik, Belanda memberi gelar Syarif Abubakar Alqadrie
sebagai Pangeran Muda dan kepadanya diberi tunjangan 6000 gulden setiap tahun.
Di
luar ketundukannya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, Sultan Syarif
Usman Alqadrie setidaknya pernah menorehkan beberapa kebijakan yang bermanfaat,
termasuk dengan meneruskan pembangunan Masjid Jami’ pada tahun 1821 dan memulai
pendirian Istana Kadriah pada tahun 1855. Pada bulan April 1855, Sultan Syarif
Usman Alqadrie meletakkan jabatannya sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan
kemudian wafat pada tahun 1860 dengan meninggalkan 6 orang istri dan 22 orang
anak Anak tertua Sultan Syarif Usman Alqadrie, bernama Syarif Hamid Alqadrie,
dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang keempat pada tanggal 12 April
1855. Pada era Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 – 1872), wilayah Belanda di
daerah kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak semakin meluas, termasuk di daerah
bagian barat Sungai Kapuas Kecil yang menjadi pusat perdagangan dan pusat
pemerintahan Belanda di Kalimantan Barat. Taktik Belanda yang seperti ini sudah
dimulai sejak era Sultan Syarif Kasim Alqadrie sebagai upaya untuk terus
menekan Kesultanan Kadriah Pontianak dan mengecilkan peran Sultan Hamid
Alqadrie. Sultan Syarif Hamid Alqadrie wafat pada tahun 1872, meninggalkan 3
orang istri, 3 orang selir, dan 20 orang anak. Putra tertua Sultan Syarif Hamid
Alqadrie, Syarif Yusuf Alqadrie, diangkat sebagai Sultan Kadriah Pontianak beberapa
bulan setelah ayahandanya wafat. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak kelima,
Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), merupakan satu-satunya sultan di
Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat
kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap sebagai penyebar agama Islam. Era
pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie berakhir pada tanggal 15 Maret 1895
dan digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Muhammad Alqadrie (1895 –
1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang kelima pada tanggal
6 Agustus 1895. Pada masa ini, campur-tangan Belanda dalam urusan internal
Kesultanan Kadriah Pontianak semakin kuat dengan ikut memaksakan pengaruhnya
bahkan sampai dalam hal yang prinsip, yakni menghapuskan Syariat Islam dan
menggantinya dengan hukum pidana dan perdata.
Di
sisi lain, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie sangat berperan dalam mendorong
terjadinya perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali
berpakaian kebesaran Eropa sebagai pakaian resmi di samping pakaian Melayu dan
menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Di sektor ekonomi, Sultan
Syarif Muhammad Alqadrie menjalin perdagangan dengan Riau, Palembang, Batavia,
Banten, Demak, dan Banjarmasin, bahkan dengan Singapura, Johor, Malaka,
Hongkong, serta India. Selain itu, Sultan juga mendorong masuknya modal swasta
Eropa dan Cina, serta mendukung kaum petani Melayu, Bugis, Banjar, dan Cina
mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa.
Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi
politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh
masyarakat.
Era
kekuasaan Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menjadi penanda tamatnya kekuasaan
Belanda seiring kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942. Namun, hadirnya
balatentara Jepang di Pontianak justru menjadi petaka bagi Kesultanan Kadriah
Pontianak. Pada bulan Januari 1944, karena dianggap bersekutu dengan Belanda,
Jepang menangkap Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (pada tanggal 24 Januari 1944)
beserta ribuan orang kerabat kesultanan, pemuka adat, dan tokoh masyarakat
Kadriah Pontianak. Mereka kemudian dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Juni
1944. Jenazah Sultan Syarif Muhammad Alqadrie baru ditemukan pada tahun 1946. Tragedi
berdarah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.
d.
Kesultanan Kadriah Pontianak pada Era Kemerdekaan RI
Meskipun
proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945
di Jakarta, namun situasi politik di Pontianak masih belum stabil karena berita
tentang kemerdekaan Indonesia sangat terlambat sampai ke Pontianak. Pada
tanggal 29 Agustus 1945, di bawah pengawasan aparat Jepang yang masih bertahan
di Pontianak, keluarga Kesultanan Kadriah Pontianak yang tersisa mengadakan pertemuan
guna memilih pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie. Pertemuan darurat ini
akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan
Syarif Muhammad Alqadrie, ditetapkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang
ketujuh.
Dipilihnya
Syarif Thaha Alqadrie sebagai calon Sultan Kadriah Pontianak disebabkan karena
memang tidak ada pilihan lain. Pasalnya, 4 orang putra almarhum Sultan Syarif
Muhammad Alqadrie telah gugur akibat keganasan Jepang, sedangkan seorang putra
yang masih hidup, yakni Syarif Hamid Alqadrie, saat itu masih menjadi tahanan
Jepang. Sejak tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie, mantan perwira kesatuan
tentara Hindia Belanda atau Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL),
dipenjarakan di Batavia. Masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alqadrie hanya
berlangsung selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus hingga Oktober 1945,
karena Syarif Hamid Alqadrie sudah bebas dari penjara dan kembali ke Pontianak.
Syarif Hamid Alqadrie dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak kedelapan
pada tanggal 29 Oktober 1945 dan bergelar Sultan Syarif Hamid II Alqadrie atau
yang sering dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Berdasarkan
konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949, Sultan Hamid II mengisi
posisi sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Selain itu,
Sultan Hamid II selalu terlibat dalam berbagai perundingan penting antara
Indonesia dan Belanda. Ketika RIS dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi
Menteri Negara dan selama masa jabatan itu, ia menjadi salah satu orang yang ditugaskan
Presiden Soekarno untuk merancang gambar lambang negara. Presiden Soekarno mengamanatkan
bahwa lambang negara hendaknya mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara,
di mana sila-sila Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Pada
tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan
Kadriah Pontianak dan selaku Wakil DKIB. Selanjutnya, pada tanggal 10 Januari
1950, dibentuk Panitia Lencana Negara yang bertugas menyeleksi usulan rancangan
lambang negara. Dalam seleksi tersebut, terpilih dua rancangan lambang negara
terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Pemenangnya
adalah karya Sultan Hamid II karena karya Yamin menyertakan sinar-sinar
matahari yang menampakkan pengaruh Jepang. Dengan demikian, Garuda Pancasila
yang menjadi lambang negara Indonesia adalah karya putra Kesultanan Kadriah
Pontianak, yaitu Sultan Hamid II. Namun, peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu
Adil (APRA) yang dimotori mantan Kapten KNIL, Raymond Westerling, pada tanggal
23 Januari 1950, menyeret nama Sultan Hamid II. Menurut pernyataan Yayasan Sultan
Hamid II Jakarta, Westerling memang sempat menawarkan kepada Sultan Hamid II
untuk mengambil-alih komando namun Sultan Hamid II menolak tegas tawaran
tersebut karena Westerling adalah gembong APRA.
Namun,
dugaan keterlibatan Sultan Hamid II dalam peristiwa Westerling tetap membuatnya
dipenjara oleh pemerintah RI selama 10 tahun sejak tahun 1953. Sultan Hamid II
ditangkap pada tanggal 5 April 1950. Dengan dihukumnya Sultan Hamid II, roda
pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak pun berhenti di mana kesultanan sudah
tidak mempunyai kekuasaan secara politik lagi. Sultan Hamid II selaku Sultan Kadriah
Pontianak yang terakhir, meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta
dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang.
D.
Peristiwa Mandor
a.
Awal Terjadi Peristiwa
Peristiwa
mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam yang pernah terjadi di kalimantan
barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1945 di daerah Mandor kabupaten
landak Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh
masyarakat maupun pejuang lainnya gugur sebagai kesuma bangsa atas kebiadaban
Jepang kala itu. Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang
di bunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban
saja. Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda.
Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para
pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada
di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa
cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah
rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) mereka tidak ingin terjadi
pemberontak-pemberontak terdapat di kalimantan barat. Meskipun demikian
ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun
feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Tidak diketahui
apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang
oleh penjajah Jepang.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk
memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Sebuah harian Jepang
Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri
samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang
Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh
penting masyarakat pada masa itu.
b.
Kronologi Peristiwa
Masuknya
tentara pendudukan Jepang bulan Juni tahun 1942 di Kalbar, ditandai dengan
tindak kekerasan perampasan, perampokan, pemerkosaan dan penindasan rakyat.
Hingga akhirnya seluruh suku, pemuka masyarakat, raja dan panembahan di Kalbar
berkumpul dan bermusyawarah bagaimana menangani tentara pendudukan Jepang yang bertindak
semena-mena. Namun, musyawarah tersebut tercium oleh Jepang karena ada
mata-mata Jepang yang juga orang Indonesia ikut dalam musyawarah itu. Jepang tambah
curiga ketika datang dua orang utusan dari Banjarmasin yakni Dr Soesilo dan
Malay Wei, dimana secara diam-diam dua tokoh tersebut menyampaikan berita bahwa
akan ada gerakan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang sekitar bulan
Januari 1944.
Sialnya,
rencana pemberontakan tersebut diketahui oleh tentara pendudukan Jepang
sehingga mulailah terjadi penangkapan. Pembunuhan besar-besaran terjadi pada
tanggal 20 Rokoegatsu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944. Di suatu siang kendaraan
truk tertutup kain terpal berhenti di depan Istan Raja Mempawah. Serdadu
bersepatu selutut dan topi yang berjumbai ke belakang serta pinggang yang
digelayuti "samurai" turun terburu-buru menuju Istana. Dengan alasan
mengajak berunding, serdadu "Dai Nippon" itupun menciduk Raja
Mempawah. Kemudian menangkap pula Panangian Harahap dan Gusti Djafar, teman
baik sang Raja. Mereka bertiga dengan tangan terikat diberi sungkup kepala
terbuat dari bakul pandan, lalu digiring ke atas truk yang sudah menunggu dari
tadi. Serdadu yang lain dengan cekatan menempeli istana dan rumah kedua sahabat
raja dengan plakat bertuliskan huruf kanji. Bunyinya "Warui Hito"
yang artinya orang jahat. Ternyata saat itu tak cuma di rumah itu saja yang
ditempeli. Banyak sekali rumah-rumah di wilayah Kalbar yang di atas pintunya
tertempel "Warui Hito". Kalau sudah begitu, penghuninya tak akan
kedatangan tamu lagi, karena sudah dicap jahat. Masyarakat umum pun tak berani
bertandang ke situ. Sebab mereka tahu betul, jika berani mendekat apalagi
bertamu, berarti tak lama lagi rumahnya bakal ditempeli dan dirinya disungkupi
untuk dinaikkan ke atas truk pula. Sehingga terjadilah apa yang dikenal dengan
"Oto Sungkup". Mereka ditangkap dengan disungkup bakul, dibawa ke
tempat pembantaian yang sekarang dinamakan Makam Juang Mandor. Setibanya di
Mandor, mereka yang ditangkap diturunkan dari truk dan disuruh menggali sendiri
lubang tempat mereka bakal dikuburkan. Setelah lubang tersedia barulah Tentara
Jepang dengan tanpa perikemanusiaan menyiksa dan memancung satu per satu leher
korban dengan pedang samurainya. Sehingga terjadilah peristiwa yang dikenal
dengan "Mandor Bersimbah Darah". Sungguh mengenaskan, badan yang
terkubur terpisah dari kepala. Pembantaian sadis seperti itu terus berlanjut
hingga tahun 1945, tentara pendudukan Jepang tak kenal kompromi terus menangkap
dan membunuh rakyat Kalbar yang dianggap pembangkang dengan dalih ingin
mendirikan negara Borneo Barat dari penjajahan. Menurut para ahli-ahli sejarah,
yang bertanggung jawab atas aksi pembantaian masal ini adalah Syuutizitiyo
Minseibu.
Secara
garis besar, korban - korban pembantaian Jepang saat itu yang juga termasuk
beberapa tokoh penting di Kalimantan Barat adalah :
1.
Sultan - Sultan
Pontinak
2.
Panembahan
Sanggau Ade Muhammad Ari
3.
Pangeran Adipati
4.
Pangeran Agung
5.
JE. Patiasina
6.
Panembahan
Ketapang Gusti Sauna
7.
Panembahan
Sintang Raden Abdullah Daru Perdana
8.
Panembahan
Ngabang Gusti Abdul Hamid
9.
Tokoh Tionghoa :
Tjhai Pin Bin, Tjong Tjok Men dan Thai Sung Hian.
10. Dan tentunya rakyat-rakyat sipil yang tidak berdosa.
Alasan Jepang
Melakukan Pembantaian
Sebenarnya
pembantaian yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat tersebut memang mempunyai
suatu maksud. Kalimantan Barat sendiri mempunyai lokasi yang strategis dan
hanya mempunyai penduduk sekitar satu setengah juta jiwa. Selain itu Kalimantan
Barat sendiri mempunyai wilayah yang sangat luas yaitu satu setengah kali luas
pulau Jawa ditambah Madura dan Bali. Kalimantan sendiri pada waktu itu akan
dijadikan seperti Manchuria dan Korea kedua.
Pada
waktu itu di Kalimantan Barat, semua orang yang berumur dua belas tahun ke atas
semuanya akan dibunuh habis. Generasi sisanya sampai kanak-kanak akan dididik
dengan ala Jepang ditambah dengan orang-orang jepang yang akan didatangkan
nantinya sebagai transmigrasi. Maka jadilah Kalimantan barat lima puluh tahun
mendatang sebagai “ Jepang beneran” dan itu merupakan rencana militer Jepang.
Itulah sebabnya mengapa banyak kaum intelektual yang dibunuh pada saat
pembantaian di kota Mandor tersebut.
E. Peristiwa
PGRS-PARAKU
Peristiwa PGRS-PARAKU yang terjadi di
Kalimantan Barat dilatarbelakangi karena faktor konfrontasi yang terjadi antara
Indonesia (dibawah rezim Sukarno) dan Malaysia yang ingin membentuk suatu
negara federasi yang isinya berupa negara-negara dari Asia Tenggara khususnya
Malaysia, Singapura, Brunei, Sabah, dan Serawak (dibawah pimpinan Perdana
Mentri Persekutuan Melayu Tun Adul Rahman).
Akibat
dari konfrontasi ini, orang-orang yang tergabung dalam Pasukan Gerilya Rakyat
Serawak dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Sabah) yang sebelumnya tergabung
dalam suatu organisasi yang berideologi komunis menentang pembetukan federasi
tersebut dan akhirnya memilih hijrah ke Indonesia pada waktu itu yang saat itu
lebih condong mengarah ke pro-komunis pada saat kepemimpinan Sukarno .
PGRS-PARAKU
pada tahun 1963-1965 mendapat dukungan penuh dari Indonesia pada waktu itu
karena Sukarno tidak senang jika pada waktu itu federasi tersebut terbentuk,
Sukarno menganggap bahwa jika federasi itu terbentuk maka Malaysia dan
negara-negara disekitarnya tidak akan pernah merdeka, dan Inggris dan Amerika
Serikat akan menanamkan pengaruh-pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara, karena
pada waktu itu keadaan dunia pasca perang dunia mengalami pembagian wilayah
pengaruh. Sama seperti saat Perang Dunia II, dimana ada Inggris maka disitu
juga ada Amerika Serikat.
Pada
fase 1963-1965 para gerilyawan PGRS-PARAKU dilatih oleh RPKAD di bengkayang.
Pasukan-pasukan tersebut dilatih strategi perang ala Indonesia dan kemudian
melakukan pemberontakan di wilayah federasi Malaysia yang secara tidak langsung
dijaga oleh tentara Malaysia dan Inggris.
Kemudian,
pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI yang dikenal dengan peristiwa
penculikan petinggi-petinggi militer yang dibunuh dan dikubur dalam satu lubang
sumur yang berlokasi di lubang buaya, rezim pemerintahan Sukarno mulai runtuh
dan puncaknya pada 11 Maret 1966 yang dikenal dengan “SUPERSEMAR” yang intinya
pemindahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto yang secara otomatis merubah
kebijakan-kebijakan Indonesia termasuk salah satunya terhadap PGRS-PARAKU di
Kalimantan Barat.
Seperti
sebuah istilah beda pemimpin beda juga kebijakan, kebijakan terhadap
PGRS-PARAKU pada waktu itu berubah 180 derajat, yang awalnya Indonesia
mendukung penuh pergerakan yang dilakukan PGRS-PARAKU berubah menjadi
penumpasan. Kebijakan Suharto yang ingin memperbaiki hubungan dengan Malaysia
dan Inggris, membuat PGRS-PARAKU akhirnya menjadi musuh bersama antara
Indonesia, Malaysia dan Inggris. PGRS-PARAKU yang berideologi komunis akhirnya
mendapat julukan Gerombolan Tjina Komunis (GTK), sampai akhirnya dianggap
sebagai PKI oleh orde baru. Segala cara pun dilakukan untuk menumpas
PGRS-PARAKU, salah satunya adalah dengan memprovokasi suku dayak. Peristiwa
hilangnya petinggi-petinggi suku dayak, diberitakan oleh TNI sebagai perbuatan
dari PGRS-PARAKU. TNI pun menghasut masyarakat dayak untuk melakukan aksi balas
dendam, sampai akhirnya terjadilah peristiwa yang menjadi sejarah kelam di
Kalimantan Barat. Peristiwa rasialis dimana suku dayak membantai etnis
tionghoa, sekitar 3.000 korban jiwa malayang dalam peristiwa yang dikenal
dengan nama “Peristiwa Mangkok Merah”
Peristiwa
penumpasan ini tidak lepas dari hubungan Suharto dengan negara-negara barat,
yang secara langsung menjalin hubungan kembali dengan PBB dan Malaysia. Pada
era Sukarno, ia sangat mendukung pergerakan yang dilakukan PGRS-PARAKU dan ini
sangat tidak disenangi pihak barat karena dinilai menghambat usahanya untuk
menanamkan paham-paham liberalnya di Asia Tenggara dan juga pihak PGRS-PARAKU
yang juga anti Inggris pantas untuk di tumpas.
CIA (Amerika) merupakan dalang di balik
peristiwa pembunuhan massal terhadap etnis tionghoa di Kalimantan Barat. Ini
merupakan salah satu dari tiga skenario yang dibuat CIA di Indonesia, yang
salah satunya penumpasan PGRS-PARAKU dan
mengondisikan G30S di Jakarta.
Setelah penumpasan PGRS-PARAKU itu berhasil dilakukan, dan merupakan
bagian dari sejarah kelam di Kalimantan Barat, pengungsian besar-besaran etnis
tionghoa dari perbatasan menuju perkotaan pun terjadi, beberapa saksi hidup
menyatakan bahwa mereka mengungsi dari perbatasan ke perkotaan dengan berjalan
kaki sekitar 75-130 kilo meter setelah peristiwa tersebut guna mencegah paham
komunis pergerakan itu kembali masuk kedalam ideologi etnis tionghoa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
sejarahnya, sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan hinggan menjadi kesultanan
di Kalimantan Barat tidak lepas dari beberapa cerita-cerita rakyat, bermula
dari berdirinya kerajaan Sanggau, Mempawah, hingga Pontianak. Selain dari
cerita-cerita rakyat tersebut, ada hal yang menarik dan dapat dijadikan suatu
kesimpulan bahwa dimana diantara ketiga kerajaan tersebut, silsilah awal
kerajaan tidak lepas dari ikatan kerabat/talian darah yang erat dari ketiga
kerajaan tersebut.
Sejak
kedatangan pasukan kolonial merupakan cikal bakal terpecah belahnya
kerajaan-kerajaan yang ada di Kalimantan Barat, dengan berbagai strategi yang
dilakukan pihak kolonial diantaranya mengadakan perjanjian-perjanjian yang
bermaksud mengikat setiap kerajaan, juga menjalankan politik yang terkenalnya
yaitu Devide Et Impera / Politik adu domba.
Sejak
kedatangan Jepang ke Kalimantan Barat setelah berhasil mengalahkan belanda pada
tahun 1942, Jepang masuk dan secara langsung menjadi penguasa di Kalimantan
Barat. Kekejaman dan tindakan semena-mena dari pasukan Jepang, membuat para
kaum raja, cendikiawan, pemuka masyarakat ingin membentuk suatu kesatuan
pembetontakan terhadap pasukan Jepang. Hal ini tercium oleh pasukan Jepang, dan
secara langsung para kaum-kaum yang merencanakan pemberontakan tersebut
dipadamkan dengan peristiwa yang mula-mula dikenal dengan “Kapak Merah”
kemudian berlanjut dengan “Oto Sungkup” dan puncaknya adalah peristiwa “Mandor
Bersimbah Darah” yang terjadi pada tanggal 28 Juni 1944 di Mandor. Dan kemudian
28 Juni dikenal sebagai hari berkabung daerah untuk Kalimantan Barat.
Ajakan
pihak Malaysia membentuk Suatu Federasi di wilayah Asia Tenggara pada tahun
1963 di tentang keras oleh Presiden Indonesia Ir.Soekarno yang secara langsung
mendukung aksi-aksi penolakan yang dilakukan oleh PGRS-PARAKU di Serawak dan
Kalimantan Utara(Sabah). Peristiwa ini dikenal dengan “Ganyang Malaysia”. Pada
saat terjadi peristiwa G30S mulailah rezim Soekarno itu runtuh kemudian
digantikan oleh kepemimpinan Soeharto. Berbeda dengan era soekarno dukungan
Indonesia di bawah era Soeharto berbanding 180 derajat yakni dengan melakukan
penumpasan. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa “Mangkok Merah” yang
merupakan bagian dari sejarah kelam Kalimantan Barat.
Daftar Isi
http://ayuhanifa1510.blogspot.com/2011/11/sejarah-peristiwa-mandor.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasukan_Rakyat_Kalimantan_Utara
http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130120/peristiwa-mangkok-merah-ketika-imperialisme-mengawini-rasialisme.html
http://syawalcueexs.blogspot.com/2013/08/kerajaan-pontianak-istana-kadriah.html
http://tpa-bustanul.blogspot.com/p/kesultanan-kerajaan-mempawah.html
http://restorasiborneo.blogspot.com/2011/08/kesultanan-sanggau.html
http://zoehrie.blogspot.com/2008/12/asal-muasal-kerajaan-mempawah.html
http://sanggau.gensapa.com/2012/12/sejarah-kerajaan-sanggau.html
http://goenaar.blogspot.com/2009/11/paraku-pgrs-kambing-hitam-paska.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar