ANALISIS
TENTANG KEDUDUKAN TEORI HEGEMONI GRAMSCI PADA PERISTIWA PGRS-PARAKU
Sekilas
tentang Antonio Gramsci
Antonio
Gramsci adalah seorang tokoh filsuf, penulis, dan teoritikus politik di Italia
yang lahir di Ales, Italia, 22 Januari 1891 meninggal 27 April 1937. Ia adalah
seorang pendiri dan pernah menjadi Ketua Partai Komunis Italia, Gramsci sempat
di penjara pada masa berkuasanya Rezim Fasis Benito Mussolini karena
tulisan-tulisannya menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan
politik. Gramsci juga dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal dalam
tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hegemoni budaya
sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat
kapitalisme.
Gramsci
dipandang banyak pihak sebagai pemikir Marxis paling penting pada abad ke-20,
khususnya sebagai pemikir kunci dalam perkembangan Marxisme Barat. Ia menulis
lebih dari 30 buku dan 3000 halaman sejarah dan analisis selama di penjara (Prison Notebooks) yang berisi
penelusuran Gramsci terhadap nasionalisme dan sejarah Italia.
Selain pemikiran mengenai teori Marxis, teori kritis, dan
teori pendidikan yang juga bekaitan dengan dirinya, seperti :
1.
Hegemoni
Budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara kapitalis.
2.
Pendidikan
buruh
3.
Pemisahan
antara masyarakat politis dan masyarakat sipil dimana kepemimpinan di konstitusionalisasi
melalui ideologi.
4.
Historisme
Absolut
5.
Kritik
determinisme ekonomi
6.
Kritik
materialisme filosofis
Teori
Hegemoni menurut Antonio Gramsci
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan hegemoni itu ?
hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘Eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan
untuk menunjukkan dominasi posisi yang di klaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara
individual misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap
negara-negara lain yang sejajar.
Teori
hegemoni yang dicetuskan oleh Gramsci adalah sebagai berikut :
“
Sebuah pandangan hidup dan cara berfikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah
konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara
institusional maupun perorangan ; ideologi mendiktekan seluruh cita rasa,
kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh
hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Sekilas Peristiwa PGRS-PARAKU
Berdasarkan beberapa sumber yang telah saya
baca dari berbagai artikel tentang peristiwa PGRS-PARAKU yang terjadi di
Kalimantan Barat dilatarbelakangi karena faktor konfrontasi yang terjadi antara
Indonesia (dibawah rezim Sukarno) dan Malaysia yang ingin membentuk suatu
negara federasi yang isinya berupa negara-negara dari Asia Tenggara khususnya
Malaysia, Singapura, Brunei, Sabah, dan Serawak (dibawah pimpinan Perdana
Mentri Persekutuan Melayu Tun Adul Rahman).
Akibat
dari konfrontasi ini, orang-orang yang tergabung dalam Pasukan Gerilya Rakyat
Serawak dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Sabah) yang sebelumnya tergabung
dalam suatu organisasi yang berideologi komunis menentang pembetukan federasi
tersebut dan akhirnya memilih hijrah ke Indonesia pada waktu itu yang saat itu
lebih condong mengarah ke pro-komunis pada saat kepemimpinan Sukarno .
PGRS-PARAKU
pada tahun 1963-1965 mendapat dukungan penuh dari Indonesia pada waktu itu
karena Sukarno tidak senang jika pada waktu itu federasi tersebut terbentuk,
Sukarno menganggap bahwa jika federasi itu terbentuk maka Malaysia dan negara-negara
disekitarnya tidak akan pernah merdeka, dan Inggris dan Amerika Serikat akan
menanamkan pengaruh-pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara, karena pada waktu itu
keadaan dunia pasca perang dunia mengalami pembagian wilayah pengaruh. Sama
seperti saat Perang Dunia II, dimana ada Inggris maka disitu juga ada Amerika
Serikat.
Pada
fase 1963-1965 para gerilyawan PGRS-PARAKU dilatih oleh RPKAD di bengkayang.
Pasukan-pasukan tersebut dilatih strategi perang ala Indonesia dan kemudian
melakukan pemberontakan di wilayah federasi Malaysia yang secara tidak langsung
dijaga oleh tentara Malaysia dan Inggris.
Kemudian,
pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI yang dikenal dengan peristiwa
penculikan petinggi-petinggi militer yang dibunuh dan dikubur dalam satu lubang
sumur yang berlokasi di lubang buaya, rezim pemerintahan Sukarno mulai runtuh
dan puncaknya pada 11 Maret 1966 yang dikenal dengan “SUPERSEMAR” yang intinya
pemindahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto yang secara otomatis merubah kebijakan-kebijakan
Indonesia termasuk salah satunya terhadap PGRS-PARAKU di Kalimantan Barat.
Seperti
sebuah istilah beda pemimpin beda juga kebijakan, kebijakan terhadap PGRS-PARAKU
pada waktu itu berubah 180 derajat, yang awalnya Indonesia mendukung penuh
pergerakan yang dilakukan PGRS-PARAKU berubah menjadi penumpasan. Kebijakan
Suharto yang ingin memperbaiki hubungan dengan Malaysia dan Inggris, membuat
PGRS-PARAKU akhirnya menjadi musuh bersama antara Indonesia, Malaysia dan
Inggris. PGRS-PARAKU yang berideologi komunis akhirnya mendapat julukan
Gerombolan Tjina Komunis (GTK), sampai akhirnya dianggap sebagai PKI oleh orde
baru. Segala cara pun dilakukan untuk menumpas PGRS-PARAKU, salah satunya
adalah dengan memprovokasi suku dayak. Peristiwa hilangnya petinggi-petinggi
suku dayak, diberitakan oleh TNI sebagai perbuatan dari PGRS-PARAKU. TNI pun
menghasut masyarakat dayak untuk melakukan aksi balas dendam, sampai akhirnya
terjadilah peristiwa yang menjadi sejarah kelam di Kalimantan Barat. Peristiwa
rasialis dimana suku dayak membantai etnis tionghoa, sekitar 3.000 korban jiwa
malayang dalam peristiwa yang dikenal dengan nama “Peristiwa Mangkok Merah”
Berdasarkan
pandangan saya, peristiwa penumpasan ini tidak lepas dari hubungan Suharto
dengan negara-negara barat, yang secara langsung menjalin hubungan kembali
dengan PBB dan Malaysia. Pada era Sukarno, ia sangat mendukung pergerakan yang
dilakukan PGRS-PARAKU dan ini sangat tidak disenangi pihak barat karena dinilai
menghambat usahanya untuk menanamkan paham-paham liberalnya di Asia Tenggara
dan juga pihak PGRS-PARAKU yang juga anti Inggris pantas untuk di tumpas.
Disebuah artikel yang saya baca, CIA (Amerika)
merupakan dalang di balik peristiwa pembunuhan massal terhadap etnis tionghoa
di Kalimantan Barat. Ini merupakan salah satu dari tiga skenario yang dibuat
CIA di Indonesia, yang salah satunya penumpasan PGRS-PARAKU dan mengondisikan G30S di Jakarta.
Setelah penumpasan PGRS-PARAKU itu berhasil dilakukan, dan merupakan bagian
dari sejarah kelam di Kalimantan Barat, pengungsian besar-besaran etnis
tionghoa dari perbatasan menuju perkotaan pun terjadi, beberapa saksi hidup
menyatakan bahwa mereka mengungsi dari perbatasan ke perkotaan dengan berjalan
kaki sekitar 75-130 kilo meter setelah peristiwa tersebut guna mencegah paham
komunis pergerakan itu kembali masuk kedalam ideologi etnis tionghoa.
Sejauh mana kedudukan teori Gramsci pada
peristiwa PGRS-PARAKU
Berdasarkan sekilas peristiwa tentang PGRS-PARAKU yang dijelaskan di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori yang dikemukan Gramsci tentang
hegemoni sesuai dengan apa yang terjadi pada peristiwa PGRS-PARAKU. Menurut
Gramsci hegemoni adalah : “Sebuah pandangan hidup dan cara berfikir yang
dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam
masyarakat baik secara institusional maupun perorangan ; ideologi mendiktekan
seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta
seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Dalam hal peristiwa PGRS-PARAKU cara berfikir masyarakat dayak berusaha dirubah
oleh pemerintah orde baru untuk membenci PGRS-PARAKU dan masyarakat etnis tionghoa,
padahal keharmonisan antara suku dayak dan etnis tionghoa sudah berlangsung
selama ratusan tahun.
Pandangan masyarakat suku dayak terhadap
PGRS-PARAKU akhirnya berubah, dengan menganggap PGRS-PARAKU yang berideologi
komunis adalah hal yang harus dimusuhi. Padahal dalam sejarahnya, mereka
sama-sama pernah berjuang untuk membendung pengaruh Inggris dan Amerika
Serikat. Propaganda yang dilakukan pemerintah orde baru adalah dengan membuat
seolah-olah kenyataannya PGRS-PARAKU adalah dalang dibalik hilang dan
terbunuhnya petinggi-petinggi adat suku dayak. Propaganda ini dilakukan oleh
TNI, dan juga oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Hal ini
akhirnya menyebabkan terjadinya peristiwa pembantaian oleh suku dayak terhadap
etnis tionghoa, hal ini terjadi karena masyarakat suku dayak beranggapan semua
etnis tionghoa adalah komunis dan harus dimusnahkan keberadaannya. Hal ini
karena mayoritas anggota PGRS-PARAKU adalah etnis tionghoa, sehingga muncul anggapan
semua tionghoa adalah komunis.
Dengan ideologi yang dibentuk oleh pemerintah
orde baru, bahwa komunis adalah hal buruk yang harus dimusnahkan, dan anggapan
suku dayak bahwa semua etnis tionghoa adalah komunis, maka terjadilah peristiwa
rasialis yang menjadi sejarah kelam di Kalimantan Barat. Ideologi baru tersebut
akhirnya mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip
religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam
makna intelektual dan moral. Masyarakat suku dayak menjadi kejam dan melupakan
cita rasanya terhadap sesama manusia, kebiasaan moral mereka yang memiliki rasa
toleransi yang kuat, prinsip-prinsip religius dan politik dimana mereka lupa
akan Tuhan dan Hukum, hubungan-hubungan sosial yang sudah terjalin baik dengan
etnis tionghoa, serta makna intelektual dimana mereka tidak lagi menggunakan
akal pikirannya hingga akhirnya membantai secara kejam sekitar 3.000 etnis
tionghoa. Jadi bisa disimpulkan bahwa kedudukan teori Gramsci, selaras dengan
peristiwa PGRS-PARAKU di Kalimantan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar