PENGEMBANGAN TEMA-TEMA
PENULISAN SEJARAH (HISTORIOGRAFI)
Dari penggunaan secara
luas konsep-konsep ilmu-ilmu sosial yang relevan, muncul berbagai cabang
sejarah menurut tema-tema yang memberikan sifat atau karakteristik tertentu
pada berbagai ragam historiografi yang dihasilkan. Diantaranya ada yang
dikategorikan: sejarah sosial (ilmiah) yang erat dengan sosiologi; sejarah
ekonomi baru yang erat kaitannya dengan penggunaan model-model atau teori-teori
adalam ilmu ekonomi; sejarah politik baru yang memperluas kajiannya pada
berbagai kegiatan aspek politik; sejarah kebudayaan dan sejarah etnis yang erat
hubungannya dengan antropologi; geografi sejarah, keterkaitan sejarah dengan
perubahan-perubahan spasial geografis; sejarah mentalitas (I’histoire mentalite) dan “psychohistory”
yang erat dengan psikologi; sejarah intelektual yang erat dengan filsafat dan
ide-ide; sejarah demografi; sejarah keluarga dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan
pendekatan interdisiplin dan/atau multidisiplin (multidimensional) ini, ada dua
hal yang perlu dicatat:
1.
Karena umumnya
“sejarah baru” ini berorientasi pada problema, konsep-konsep yang digunakan
dapat lintas-disiplin. Fenomena sejarah yang mengandung hubungan patron-client, misalnya, dapat dibahas
melalui disiplin-disiplin antropologi, sosiologi, dan politik.
2.
Pendekatan
interdisiplin dan/atau multidisiplin (multidimensional) dapat menghindari
bentuk “visi terowongan” atau “sejarah terowongan” (tunnel history) yang dikhawtirkan oleh Hexter meskipun tetap
menggunakan label-label sejarah tertentu sebagai tema sentral.
Sebagai contoh di bawah
ini diberikan sejumlah bentuk tema sejarah:
A.
Sejarah Sosial
Sebagaimana yang
terkandung dalam namanya, sejarah sosial mengkaji sejarah masyarakat (atau
kemasyarakatan). Perkembangannya disetiap negara tidak sama. Bagi negara-negara
tertentu tema ini relative inovasi baru, bagi negara-negara lian embrionya
lebih tua. Di negara-negara yang berbahasa Inggris, baru kira-kira pertengahan
abad ke-20. Di Indonesia mulai kira-kira 1960-an ketika Sartono Kartodirdjo
mempertahankan disertasinya tentang pemberontakan
petani Banten tahun 1888, (1966). Akan tetapi di Perancis dan Jerman di
mana pemisahan antara sosiologi dan
sejarah tidak begitu jelas dan pengaruh empirisme tidak begitu kuat, kajian
sejarah masyarakat dalam bentuk-bentuk sosiologi sejarah dan sejarah ekonomi
mempunyai sejarah yang lebih panjang lagi, paling tidak mulai pertengahan abad
ke-19. Para pakar ilmu-ilmu sosial terkemuka abad ke-18 dan ke-19 seperti
Montesquieu, Tocqueville, Marx, dan Weber yang mencurahkan perhatiannya pada
abstraksi dan pembentukan teori-teori mengenai struktur sosial untuk dapat
memahami sejarah masyarakat yang sebenarnya, sekaligus merupakan ahli-ahli
sosiologi dan sejarawan (Lloyd, 1988:1)
Dikalangan para
sejarawan sosial kemudian terdapat dua golongan besar karena latar belakang
yang berbeda. Pertama yang disebut sejarawan sosial empiris yaitu mereka yang
menganggap diri lebih utama sebagai sejarawan, dan kedua, sebaliknya, para
pakar sosiologi sejarah (historical
sociology) yang menganggap diri lebih utama sebagai ahli ilmu-ilmu sosial
(sosiologi). Jika yang pertama bermaksud menegakkan “kebenaran-kebenaran” umum.
Tambahan juga dikalangan yang pertama ada yang “non-sociological”: mengabaikan
cara proses dan struktur yang berubah berbeda di antara masyarakat-masyarakat,
dan menganggap tidak ada kemampuan-kemampuan umum istimewa dari proses dan
struktur serta hubungan antara proses dan struktur itu dengan tindakan-tindakan
dan peristiwa-peristiwa; sebaliknya di kalangan kedua ada yang “non-historical” : mengabaikan masa lalu
dan menganggap tidak adanya dimensi waktu pada kehidupan sosial dan kesejarahan
pada struktur sosial (Lloyd, 1988: 14-15; Smith,1991:3)
Akan tetapi
sebenarnya ada pula sejumlah sejarawan sosial yang merupakan gabungan dari
kedua-duanya (sebut saja kelompok ketiga). Mereka ini dilengkapi pula dengan
pengetahuan metodologi dan teori secukupnya sehingga dapat menghasilkan
karya-karya sejarah yang baik. Sejarawan sosial Inggris Chrisopher Lloyd,
misalnya, malah menegaskan bahwa sejarah dan sosiologi akan merugi sendiri jika
kedua-duanya berpisah. Adalah menjadi kepentingan bersama sejarawan dan ahli
sosiologi untuk menggabungkan kedua metodologi mereka sehingga
penjelasan-penjelasan (eksplanasi) mengenai peristiwa-peristiwa dan
proses-proses sosial tertentu pada masa lalu dan sekarang akan lebih baik. Baik
sejarawan sosial maupun ahli sosiologi sejarah kedua-duanya mempunyai objek
kajian yang sama yaitu mereka bermaksud menjelaskan sejarah dari masyarakat itu
sendiri (1998:15). Bagi sejarawan sosial Prancis Fernand Braudel dari mazhab annales,sejarah dan sosiologi merupakan
”satu petualangan intelektual tunggal” (1980:69).
Mengenai maksud
pengertian sejarah sosial dan/atau sosiologi sejarah sebagai sejarah
masyarakat, seringkali para sejarawan sendiri membuat definisi masing-masing
yang tidak jarang tumpang-tindih atau berbeda. Sejarawan Inggris G.M Trevelyan, misalnya, menyebutnya “sejarah
rakyat dengan menghilangkan politiknya” ( the
history of a people with the politics left out); sejarawan Inggris lain,
Asa Briggs mengatakan sebaliknya. “sejarah sosial bukan untuk sebagai sejarah
dengan membuang politiknya melainkan sebagai sejarah ekonomi yang memasukkan
politik ke dalamnya” (Bezucha, 1972:ix). Bagi para sejarawan Prancis seperti
Lucien Febre dan Marc Bloch yang melepaskan diri dari sejarah politik, sejarah
sosial berhubungan dengan sejarah ekonomi seperti yang terkandung pada nama
jurnal yang mereka asuh, Annales
d’histoire, economuque et sociale (1929) ( Bezucha, 1972: x; Himmelfarb,
1987: 2). Berikutnya sejarawan Amerika Robert J Bezucha mengartikan sejarah
sosial itu sebagai: sejarah budaya (mengkaji kehidupan sehari-hari
anggota-anggota masyarakat dari lapisan yang berbeda-beda dari periode yang
berbeda-beda); sejarah dari “masalah sosial”; sejarah ekonomi “lama” (1972:x).
kemudian sejarawan Inggris lain yaitu Hobsbawm menyebutkan bahwa sejarah sosial
mengkaji; sejarah dari orang-orang miskin atau kelas bawah; gerakan-gerakan
sosial; berbagai kegiatan manusia seperti tingkah-laku, adat-istiadat,
kehidupan sehari-hari; sejarah sosial dalam gabungannya dengan sejarah ekonomi
(Hobsbawn,1972:2). Akhirnya untuk sejarah sosial yang menggunakan label
sosiologi sejarah, sejarawannya seperti Dennis Smith mendefinisikan sebagai
“kajian tentang masa lalu untuk mengetahui bagaimana masyarakat-masyarakat
bekerja dan berubah” (Smith,1991:ix,3).
Seperti sudah
disebutkan di atas, jenis sejarah sosial atau sosiologi sejarah ini dekat
sekali dengan disiplin ilmu sosiologi. Sebagai salah satu ilmu sosial, dengan
sendirinya sosiologi mengenal sejumlah teori. Karena teori di identikkan dengan
ilmiah, pada sejarah sosial ditambahkan label “Scientific.”
Paling tidak
dikenal tiga teori besar sosiologi yaitu :
1.
Teori Evolusi dengan
tokoh utamanya Herbert Spencer (1820-1903), ahli sosiologi Inggris. Menurut
teori ini sejarah masyarakat manusia berkembang secara evolusioner dari keadaan
homogen yang tidak koheran menuju keadaan heterogen yang koheren. Maksudnya
masyarakat sederhana (primitive) yang masih homogenm yang tidak memerlukan
spesialisasi pekerjaan yang tajam (linkoheren), menuju ke masyarakat yang lebih
maju yang sudah heterogen karena individualis, yang sudah menuntut spesialisasi
tajam (koheren) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan dan ruang lingkup
kehidupan yang semakin kompleks.
Teori evolusi
ini mempunyai dua cabang yaitu unilinier dan multilinier. Menurut teori evolusi
unilinier dari Spencer, semua bentuk kehidupan (termasuk masyarakat manusia)
menempuh perkembangan yang sama seolah-olah melalui satu garis. Sebaliknya
teori multilinier mempunyai asumsi bahwa perkembangan setiap kelompok
masyarakat mungkin melalui cara yang berbeda-beda. Salah seorang tokohnya ialah
ahli sosiologi Jerman Max Weber (1864-1920) (Ankersmit, 1987:268-269) yang
pengaruhnya besar dalam pengkajian sejarah sosial dan beberapa cabang sejarah
lainnya.
2.
Teori structural atau sistematis. Masyarakat dilihat sebagai suatu totalitas yang
berhubungan satu sama lain dan yang mempunyai suatu dinamika yang berhubungan
satu sama lain dan yang mempunyai suatu dinamika dalam dirinya (intern).
Tokohnya antara lain Talcott Parson (1902-1979), seorang ahli sosiologi Amerika
(Ankersmit,1987). Suatu bentuk sejarah struktur adalah salah satu pengaruh daru
aliran ini yang umumnya mengkaji struktur sosial dan perubahan sosial.
3.
Teori Marxisme dengan
tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya tentang historis materialism
menekankan kepada determinisme ekonomi. Proses sejarah berlangsung dialektis
dan ditentukan oleh satu-satunya penggerak (monokausal) yaitu kepentingan
materi ekonomi (Akersmit, 1987:271;Himmelfarb,1987:70-93).
Umumnya
perhatian utama yang menjadi karakteristik sebagian terbesar dari sejarah
sosial-ilmiah antara lain ialah :
a.
Sejarah kolektif
(collective history), yaitu sejarah
yang secara langsung mengaitkan pengalaman-pengalaman tercatat dari sejumlah
besar manusia atau unit-unit sosial. Termasuk dalam perhatiannya ialah biografi
kolektif (collective biography) dari
para elit-elit politik yang dapat memberikan gambaran tentang mobilitas sosial.
Biografi kolektif ini disebut juga prosopographhy
(Stone, 1992: 107-140). Juga sejarah demografi (historical demography) termasuk sejarah kolektif.
b.
Sejarawan
sosial-ilmiah mencoba membahas atau memahami pola-pola tingkah laku kolektif
menurut konsep-konsep teoritis dan model-model. Untuk mencapai tujuan itu
sejarawan sedapat mungkin bertolak dengan pernyataan-pernyataan eksplisit
mengenai asumsi-asumsi, konsep-konsep, dan hipotesis-hipotesis, dan ia
bersandar pada bukti-bukti (evidensi) yang dapat ditest kebenarannya
(verifikasi). Konsep-konsep dan prosedur-prosedur yang dipakai umumnya berasal
dari ilmu-ilmu sosial yang berdekatan seperti demografi dan ekonomi. Tetapi
generalisasi-generalisasi dan konklusi-konklusi yang berasal dari data itu
tetap mempunyai karakteristik sejarah yaitu dengan tekanannya pada dimensi
waktu dan hubungan dari fenomena dengan konteksnya.
c.
Sejarawan
sosial-ilmiah sangat bersandar pada komparasi proses-proses fenomena sosial
politik yang sama (misalnya revolusi) dalam setting geografis yang berbeda
(misalnya Amerika,Prancis,Rusia,Indonesia) secara sistimatis dibandingkan dan
dianalisis untuk mentest dan mengembangkan ide-ide umum mengenai bagaimana
proses-proses atau fenomena-fenomena itu berlangsung. Sejarah komparatif
semacam ini mendapat perhatian dan dorongan yang kuat dari para sejarawan untuk
menarik generalisasi-generalisasi menurut model ilmu-ilmu sosial. Tanpa
generalisasi, tanpa model-model untuk mentest varietas fenomena, tidak ada
alasan untuk membuat komparasi. Cara semacam ini akhirnya mencoba mengawinkan
kenyataan empiris dengan teori dari ilmu-ilmu sosial. (Woodward, 1967)
d.
Kekhasan lain
daru sejarah sebagai ilmu sosial ialah bersandar pada kuantifikasi
(penghitungan), penggunaan computer dan alat-alat lain untuk memproses data
yang mekanis, tekanan pada presentasi formal argumentasi dan hipotesis, serta
penggunaan istilah-istilah teknis kuantitaitf (Landes & Tilly, 1971:71-73).
Ruang cakup sejarah sosial cukup luas:
segala lapisan masyarakat dari tingkat atas sampai lapisan bawah (top down), termasuk anggota-anggota
masyarakat “paria” atau “di luar hukum” seperti bandit dan sebagainya. Diantara
bentuk-bentuk sejarah sosial itu misalnya sejarah agraris yang mempunyai
sub-sub cabang seperti sejarah pertanian, sejarah pedesaan, sejarah petani
(Kartodirdjo, 1992: 183-195). Di Indonesia Prof. Sartono Kartodirdjo adalah
pelopor terkemuka sejarah sosial. Jasanya besar dalam mempelopori penulisan
sejarah yang menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu sosial. Salah satu karyanya
yang berasal dari disertasinya ialah The
Peasans’t Revolt of Banten in 1888 (1966) merupakan terobosan dalam historiografi
Indonesia Modern.
B.
Sejarah Ekonomi
Sejarah ekonomi adalah cabang sejarah yang paling
cocok dengan teknik-teknik kuantitatif sehingga dianggap sebagai sains atau
ilmu sosial. Substansi materi sejarah ekonomi-produksi barang dan jasa,
pekerjaan, penghasilan, harga dan lain lain-dapat diukur (dihitung); apalagi
unit-unit pengukur cukup standar sehingga dapat dibanding-bandingkan menurut
ruang dan waktu di mana dan kapan saja. Dalam sejarah ekonomi dapat ditest dan
dibimbing oleh teori-teori ekonomi yang sangat berkembang, sedangkan untuk
cabang-cabang sejarah yang lain dasar-dasar teoritis ini kecil sekali.
Teori-teori ini menyediakan bagi para sejarawan ekonomi suatu kerangka
konseptual (conceptual framework) dan
pola-pola hubungan yang bertugas sebagai pengarah dan pengontrol penelitiannya.
(Landes & Tilly, 1971:51-52).
Dalam sejarah ekonomi moderd ada dua aliran:
1.
Mazhab Prancis Annales,
menurut nama jurnal
yang diterbitkannya, Annales d’histoire
economique et sociale. Jurnal ini diterbitkan pertama kali 1929 oleh
sejarawan-sejarawan Lucien Febre (1878-1956) dan Marc Bloch (1886-1944). Aliran
ini umumnya menaruh perhatian yang besar pada aspek-aspek ekonomi dari masa
silam. Hanya berbeda dengan mazhab Sejarah Ekonomi Baru, para pengikut Annales dalam melakukan pendekatan
kuantitatif terhadap masa silam itu, mereka tidak ketat menggunakan data-data
kuantitatif dengan bantuan teori-teori dan model-model ekonomis (Ankersmit,
1987:289). Sesuai dengan nama jurnalnya, aliran annales tidak hamya mengkaji sejarah ekonomi, tetapi juga sejarah
sosial. Bahkan dalam perkembangan kemudian tema sejarah menjadi semakin meluas
karena menggunakan berbagai metode seperti antropologi, sosiologi, demografi,
geografi, psikologi, dan linguistik (Himmelfarb, 1987: 2-3). Tokoh terkemuka
dari aliran ini Fernand Braudel (1902-1985) yang menulis buku terkenal pada
1949, The Mediterranean and the
Mediterranean World in the Age of Philip II. Dalam buku ini ia membedakan
tiga macam waktu. Pertama, apa yang disebutnya “waktu geografis” (geographical
time), manusia dilihat dalam hubungannya dengan lingkungannya dalam perspektif
jangka panjang atau “long duree.”
Pada bagian ini faktor geografis mempunyai dominasi yang kuat serta menekankan
peranan struktur dalam sejarah. Dalam sejarah perubahan berlangsung lamban
sekali, berulang secara tetap, dalam siklus yang berulang-ulang. Sejarah yang
menurut Braudel sendiri hamper “tidak berwaktu” (timeless history). Kedua, “waktu sosial” (social time), fokus pada manusia, sejarah sosial, sejarah kelompok
dan pengelompokan, dan kecenderungan umum. Bagian ini merupakan kombinasi
antara struktur (jangka-panjang) dan konjungtur (jangka-pendek): yang tetap dan
yang hidup berlangsung singkat, yang bergerak lambat dan yang cepat. Akhirnya
ketiga, disebut “waktu individual” (individual
time), yang memuat sejarah dari peristiwa-peristiwa. Atau bagian ini
sejarah yang menurut Paul Lacombe dan Francois Simiand seperti yang dikutip
oleh Braudel sendiri, disebut I’histoire
evenementielle (sejarah peristiwa-peristiwa) (Braudel, 1996:16,20-21;
Smith,1991:109-110).
2.
Sejarah Ekonomi Baru (The New Economic History). Penganut
aliran ini meneliti aspek-aspek ekonomi dengan bantuan teori-teori ekonomi yang
sudah jauh berkembang selama ini. Karya A.H Conrad dan J.R Meyer berjudul Economic Theory, Statistical Inference and
Economic History (1957) dianggap sebagai awal lahirnya aliran sejarah
ekonomi baru ini. Para sejarawan aliran ini umumya mula-mula bertolak sebagai
ahli-ahli ekonomi sebelum memasuki sejarah ekonomi. Jadi kebalikan dari
sejarawan Annales. Karena penggunaan
data-data statistic, pengukuran matematis, computer dengan data processing dan berbagai teknik lainnya, aliran ini disebut
juga Cliometrik atau juga Quantohistory (Barzun, 1974; Ankersmit,
1987: 281). Di antara para sejarawan aliran ini misalnya: John Meyer yang
menggunakan analisis output-input untuk
mengukur perubahan-perubahan dalam volume perdagangan Inggris pada rata-rata
pertumbuhan ekonomi Inggris pada akhir abad ke-19; William Whitney telah menggunakan
teknik-teknik yang sama dalam mengukur efek tariff-tarif pada kenaikan
manufaktur di Amerika Serikat sesudah Perang Saudara (1861-1865); Douglass
North melakukan suatu studi mengenai perolehan-perolehan produktivitas pada
perkapalan samudra; Robert Zevin, dalam analisis pertumbuhan industry
pertekstilan Amerika (Landes & Tilly, 1971: 55). Di Indonesia pada 1977
Thee Kian Wie telah menulis Plantation
Agriculture and Export Grwoth: An
Economic History of East Sumatra, 1863-1942 (Abdullah dan Surjomihardjo,
1985:55).
C.
Sejarah Demografi
Sejarah
demografi sebenarnya bukan suatu lapangan baru. Para ahli demografi sendiri
mencatat bahwa disiplin ini telah ada sejak publikasi John Graunt, Natural and Political Observations Made Upon
The Bills of Mortality pada 1662. Karya ini berhubungan dengan data kependudukan
Inggris pada abad ke-16. Tetapi sejarah demografi adalah suatu bidang yang
diperbaharui kembali, karena sejak 1940 para sarjana kependudukan telah
mengembangkan ide-ide dan prosedur-prosedur yang kuat untuk menghubungkan
analisis masa sekarang dengan analisis masa lalu.
Sekarang ini
para ahli demografi dengan mempertimbangkan pengalaman di Barat dan
penduduk-penduduk bagian dunia lainnya telah mengembangkan suatu teori tentang
transisi demografik (demographic
transtition) yang mereka harap akan dapat meramalkan dampak industrialisasi
atas penduduk di seluruh dunia. Roger Revelle merangkum:
Pada masa lalu,
menurut teori ini, penduduk manusia dapat mempertahankan diri atau bertambah
perlahan-lahan di bawah kondisi kematian yang tinggi seimbang dengan tingginya
kesuburan yang tidak terkendali. Selama revolusi industry, kesuburan tetap
tinggi dan tidak terkendali sementara waktu, dan rata-rata panjangnya usia
bertambah. Akibatmya, penduduk bertambah cepat di dunia Barat, pada angka
rata-rata lebih tinggi dai pada apa yang pernah dialami sebelumnya. Selama abad
ke-19 dan awal abad ke-20, rata-rata kelahiran berkurang, mula-mula di Prancis
dan Amerika Serikat, karena pengendalian kelahiran yang di sengaja oleh
pasangan-pasangan individual. Menurunnya
kesuburan lambat-laun memperlambat pertambahan jumlah penduduk (Landes
& Tilly,1971: 57).
Implikasi dari
teori ini ialah bahwa perbaikan kesehatan umum tanpa industrialisasi akan
menghasilkan pertumbuhan penduduk yang luar biasa, di mana industrialisasi
kurang lebih secara otomatis akan menstabilkan jumlah penduduk.
Mula-mula banyak
ahli demografi sejarah menerima begitu saja validitas teori transisi demografi
dan pertama mencoba untuk menemukan bagaimana dan kapan transisi itu terjadi di
berbagai negara Barat. Kemudian dengan meningkatnya kesuburan yang meluas dan
tidak diharapkan di berbagai negara Barat sesudah 1940, masalah-masalah
kependudukan yang latent di luar Barat, dan akumulasi temuan-temuan penelitian
sejarah itu sendiri membuat mereka memeriksa kembali seluruh proses, mulai dari
tahap pratransisi. Timbul masalah karena data sensus penduduk yang lengkap di
Eropa Barat baru pada awal abad ke-19, Amerika Serikat pada 1790. Kecuali di
Swedia sensus telah mulai ada pada pertengahan abad ke-18. Oleh sebab itu untuk
mengkaji fase-fase awal transisi demografis, suatu cara harus ditemukan untuk
menyusun kembali (reconstitute)
catatan penduduk dari data yang tidak lengkap dan tidak teratur semacam itu.
Terobosan teknis
terjadi di Prancis. Suatu kelompok ahli geografi dan sejarawan di sekitar tokoh
Louis Hanry mengembangkan suatu metode untuk mendeteksi perubahan-perubahan
pola kelahiran, kematian, dan perkawinan pada periode-periode sebelum adanya
sensus penduduk modern dan statistic-statistik vital. Metode yang disebut family reconstitution terdiri dari
rekonstruksi sejarah-sejarah demografis dari keluarga individual, peristiwa
demi peristiwa, dari genealogi-genealogi, catatan-catatan baptis dari gereja,
atau catatan-catatan serupa lainnya, dan kemudian menghimpun kembali (agregasi)
data dengan berbagai cara untuk mencapai suatu perkiraan rata-rata vital bagi
seluruh komunitas. Karena Prancis yang pertama melakukan prosedur itu, maka
secara luas digunakan di Prancis. Kemudian menyusul Inggris, dan Eropa lainnya,
dan Amerika Serikat.
Rekonstitusi
keluarga dan cara-cara baru lainnya untuk menyusun demografi sejarah telah
mengubah pengertian tentang kehidupan di Eropa sebelum abad ke-19. Banyak
sarjana berharap bahwa suatu pemahaman bagaimana rata-rata kelahiran (birth rate) benar-benar menurun di
negara-negara Barat selama beberapa abad terakhir akan membantu mengontrol
rata-rata pertumbuhan di banyak negara yang sekarang dibebani dengan
pertambahan penduduk yang terus membengkak. (Landes & Tilly,1971:59).
Pengembangan
metode-metode baru dalam sejarah kependudukan memungkinkan pengkajian seperti
kondisi-kondisi pedesaan, saling keterkaitan antara perkawinan dengan pewarisan
tanah, dampak kontrol komunitas atas perkawinan dan pemeliharaan anak,
flektuasi ekonomi agrarian sampai kepada teknik-teknik kontraseptif (Landes
& Tilly, 1971: 62). Berdasarkan disertasinya di Amerika Serikat Widjojo
Nitisastro menulis Polulation Trends in
Indonesia yang diterbitkan oleh Cornell University pada 1970.
D.
Sejarah Politik
Sebagai konsenkuensi
dari Sejarah Baru, sejarah politik menurut model Sejarah Lama yang mengutamakan
diplomasi dan perang serta peranan tokoh – tokoh besar dan pahlawan sudah tidak
lagi memuaskan para sejarawan. Pemaparan deskritif – naratif pada sejarah politik
gaya lama digantikan dengan analisis kritis – ilmiah karena sejarah politik
model baru telah menggunakan pendekatan dari berbagai ilmu – ilmu sosial.
Cakrawala analisis semakin luas dan mendalam karena yang dibahas seperti soal
struktur kekuasaan, kepemimpinan, para elit otoritas, budaya politik, proses
mobilisasi, jaringan – jaringan politik dalam hubungannya dengan sistem sosial,
ekonomi dan sebagainya (Kartodirdjo,1992:165-169). Tidak jarang pemilihan umum
dan perilaku para pemilih (elektoral behavior) menjadi kajian dengan penggunaan
analisis kuantitatif. Peranan komputer cukup besar dalam memproses ratusan
bografi dan mentest kebenaran (verifikasi) kecenderungan aran dan luas cakupan
mobilitas sosial (Landes & Tilly, 1971 : 67). Salah satu contoh sejarah
politik di indonesia telah pula ditulis, misalnya oleh Alfian pada 1970 yang
berjudul Islamic Modernism in Indonesian Politics : The Muhammadiyah During
Colonial Period, disertasinya di University of Wisconsin, Amerika Serikat
(Abdullah dan Surjomihardjo 1985:48). Pemilihan umun semasa Orde Lama, Orde
Baru, dan Orde Reformasi akanm sangat menarik ditulis dalam kerangka sejarah
politik baru, terutama bagaimana rakyat menggunakan hak – hak pilih mereka dan
perilaku para elit politi.
E. Sejarah
Kebudayaan
Ruang lingkup sejarah
kebudayaan sangat luas. Semua bentuk manifestasi keberadaan manusia berupa
bukti atau saksi seperti artifact (fakta benda ), mentifact ( fakta
mental-kejiwaan) , dan sosiofact ( fakta atau hubu8ngan sosial ) termasuk dalam
kebudayan. Semua perwujuan berupa struktur dan proses kegiatan manusia menurut
dimensi ideasional, etis, dan estetis adalah kebudayaab (Kaertodirdjo,
1992:17,176,195,199)
Pernah sejarah
kebudayaan Indonesia diartikan sempit yaitu yang berhubungan dengan arkeologi.
Termasuk di dalamnya peninggalan zaman kuno seperti dari masa – masa
prasejaeah, Hindu-Buddha, dan islam yang berkaitan dengan kepercayaan arau
agama, seni sastra, seni bangunan, seni pahat dan lain – lain. Tetapi sejarah
kebudayaan gaya baru mempunyai ruang cakup yang lebih luas lagi. Termasuk di
antaranya ialah berbagai aspek gaya hidup, etika, etiket pergaulan, upacara
adat, siklus kehidupan, kehidupan dalam keluarga sehari – hari, pendidikan,
permainan, olahraga, mode, sampai kepada jenis masakan (Kartodirdjo, 1992:195).
Tokoh yang dianggap
perintis sejarah kebudayaan ialah Voltaire (1694-1778) yang tulisannya berjudul
Essay on Manners and Customs. Karya –
karya lainnya ialah Jacob Burckhardt berjudul The Civilization of Reanaissance in Italy; J.Huizinga karyanya
berjudul The Waning Of the Middle Ages.
Juga karya Arnold J. Toynbee, A Study of
History. 26 buah peradaban dunia yang di antaranya 15 buah sudah tidak ada
lagi (Kartodirdjo,1992:198-199;Barnes, 1962:206,396).
F. Sejarah
Kebudayaan
Rakyat ( The hiostory of popular culture )
Istilah – istilah
“kebudayaan” dan “rakyat” untuk jenis (genre) sejarah 1980-an ini cukup
menimbulkan banyak masalah (Gardiner,1988:120-130). Siapa yang dimaksud dengan
“rakyat” (popular) disini? Seluruh lapisan bangsa atau sebagian tertentu saja?
Apa yang dimaksud dengan “kebudayaan rakyat” apa saja yang menjadi pokok –
pokok kajiannya? Para sejarawan kebudayaan rakyat sendiri mempunyai versi atau
visi masing – masing mengenai ini. Sejarawan Jeffrey Richard membuat diotomi
karena melihat adanya dua macam kebudayaab sebagai kenyataan sejarah:
kebudayaan dari golongan atau atau elite ( high
or elite culture ) dan kebudayaan rakyat atau massa (popular or mass culture). Kedua jenis kebudayaan ini jarang dapat
bertemu (Gardiner, 1988:126). Dalam sejarah kebudayaan rakyat dibuat deskripsi
dan analisis mengenai selera – selera, kebiasaan – kebiasaan, kepercayaan –
kepercayaan, sikap tingkah laku serta hiburan – hiburan dari setiap kelompok
masyarakat atau rakyat tertentu (Smith, 1988:123). Sejarah kebudayaan rakyat
merupakan sejarah dari kelompok – kelompok dan kelas – kelas terpuruk,
dikuasai, dan diperintah (subordinasi). Mereka adalah orang – orang melarat,
tidak mempunyai kekuasaan dan tidak atau kurang berpendidikan. Aspek kebudayaan
yang dikaji adalah sikap – sikap yang dimiliki bersama seperti nilai – nilai
(values), yang diekspersipkan dalam wujud atau lambang artefak atau pertunjukan
– pertunjukan (performances). Jika kebudayan tinggi mempunyai pertunjukan dalam
bentuk ritual, lagu – lagu rakyat, cara bicara atau berbuat tertentu untuk
semua (Burke, 1988:122) di Indonesia jenis sejarah macam ini belum mendapatkan
perhatian seperti di Eropa dan Amerika. Selain dituntut kelengkapan –
kelengkapan metodologis dan teoritas, penguasaan konsep – konsep sosiologis
(dan politik), kemahiran analisis seni dan sastra pada para sejarawannya, juga
masalah politis – ideologis dapat menjadi kendala. Dikotomi antara kebudayaan
elit dan kebudayaan rakyat mungkin dapat dianggap mempertajam perbedaan status
sosial, sedangkan politik kebudayaan kita ialah satu kebudayaan nasional yang
padu dan utuh. Lepas dari segala kemungkinan kendala yang dikhawatirkan ini, “
bahan – bahan mentah” untuk sejarah kebudayaan ini cukup tersedia. Musik
“dangdut” yang sekarang sudah merayap ke lapisan atas merupakan salah satu
manifestasi dari kebudayaan rakyat. Begitu juga seni – seni pertunjukkan
seperti lenong, lagu – lagu rakyat dengan alat – alat musiknya yang
mengantarkan hikayat, pantun, atau syair – syair. Media audio visual seperti
film dan televisi (dengan jenis – jenis cerita tertentu) sudah menjadi bagian
dari hiburan rakyat, baik bagi mereka yang terpuruk di kota – kota maupun bagi
petani – petani kecil dipedesaan.
G. Sejarah
Etnis
Sejarah Etnis (ethnohistory) mulai digunakan secara
umum oleh para pakar antropologi,arkeologi dan sejarahwan sendiri sejak
1940-an. Semula jenis sejarah ini mengkaji kelompok – kelompok etnis Indian di
Amerika. Kemudian berkembang untuk penelitian sejarah penduduk pribumi yang buka
Eropa seperti di Afrika, Asia, dan Australia (aborigin). Para sejarawan etnis mencoba merekonstruksi sejarah dari
kelompok kelompok etnis sejak sebelum kedatan bangsa Eropa. Sumber – sumber
yang mereka gunakan, selain dari bahan – bahan etnografis yang pernah ditulis
tentang kelompok etnis itu, juga dari tradisi – tradisi lisan (oral traditions) yang masih bertahan
diantara kelompok etnis itu. Oleh sebab itu sejarawan etnis juga melakukan
penelitian lapangan seperti apa yang dilakukan oleh para hali antropologi.
Mereka juga telah disiapkan dengan kelengkapan metodologis, teori, konsep –
konsep kebudayaan dan masyarakat sebagaimana ahli – ahli ilmu sosial lain
sebelum terjun kelapangan. Begitu juga tekhnik – tekhnik sejarah lisan (oral history). Ruang lingkup kajiannya
meliputi aspek – aspek sosial, kebudayaan, ekonomi, kepercayaan dari
masyarakat; intra-aksi dalam lingkungan kelompok,sistim kekerabatan, migrasi,
perubahan – perubahan sosial atau kebudayaan yang terjadi, termasuk dampak
interaksi dengan orang – orang Eropa. Dengan demikian pendekatan interdisiplin
amat diperlukan dalam penelitian dan penulisan sejarah etnis ini (Cohn,
1968:440; Tosh, 1985: 172-191; Abdullah & Surjomihardjo, 1985:229-246).
H. Sejarah
Keluarga
Di Indonesia jenis
sejarah “trah” ini juga belum
berkembang meskipun embrionya sudah ada pada masing – masing keluarga tertentu
berupa sisilah – sisilah keluarga (family
tree). Biasanya yang menyimpan silsilah keluarga ini keturunan – keturunan
dari para mantan elit penguasa seperti raja – raja, bangsawan, orang – orang
kaya. Juga para elit agama seperti kiyai dari pesantren – pesantren tertentu
(Dhofier, 1984:61-99). Yang terakhir ini berkepentingan tidak saja hanya untuk
memelihara jaringan – jaringan keluarga besar serta pengaruhnya, juga asal –
usul serta perkembangan dari sesuatu pesantren dengan ajaran dan pengamalan
terekat – terekat tertentu.
Dalam meneliti dan
merekondtruksi sejarah lokal (dan nasional) di Indonesia, sejarah keluarga amat
penting. Bagi para sejarawan, selain tidak dapat mengandalkan seluruhnya pada
silsilah dari masing – masing keluarga tertentu, kelengkapan – kelengkapan
metodologis perlu sekali. Penguasaan konsep – konsep antrolopogi (dan politik)
seperti kekerabatan (kinship), hubungan patron-client, kekuasaan struktur dan
organisasi sosial, amat membantu menganalisis interaksi antara anggota –
anggota suatu keluarga dengan masyarakat pendukungnya. Analisis ini selain
dapat memberi “daging” kepada “kerangka” kering pohon – pohon silsilah, juga
dapat memberikan gambaran mengenai proses serta dinamika interaksi antara suatu
keluarga dengan masyarakatnya (dalam sejarah nasional, suatu keluarga penguasa
dengan rakyat pendukungnya). Sebagai contoh ilustrasi pengalaman penulis dalam
meneliti dan menyusun sejarah perlawanan di Klaimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Penulis menemukan dua silsilah
terpisah dari dua keluarga besar yaitu Keluarga Sultan Banjar Penembahan
Antasari dan keluarga kepala suku Dayak-Muslim Tumenggung Surapati. Kedua
keluarga ini (turun temurun tiga generasi) telah bahu – membahu melawan Belanda
antara 1859 sampai 1906. Kita tidak dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan
mengapa perlawanan itu dapat berlangsung sekian lama hanya dari dua silsilah
terpisah saja. Akan tetapi setelah kita mengetahui adanya ikatan kekerabatan
antara kedua keluarga ini dalam suatu bentuk organisasi sosial yang disebut
bubuhan yang menuntut para anggotanya memikulk beban suka duka bersama atas
segala jenis pekerjaan berat maupun ringan, setidak – tidaknya secara hipotesis
sebagaian menjawab pertanyaan itu. Begitu pula hubungan patron-client turut memberikan tekanannya dalam kerangka struktur
sosial dari masyarakat Banjar (dan Dayak) yang masih “agraris-tradisional”
(Sjamsudin,1989;2001).
Sejarah keluarga ini
tidak terbatas pada keluarga pemegang kuasa politik saja, tetapi juga dapat
dikembangkan pada keluarga – keluarga penguasa, industri, perdagangan dan
sebagainya.
I.
Sejarah Intelektual
Seringkali
kajian sejarah intelektual dianggap tumpang tindih dengan sejarah melintas
karena keduanya bersumber pada mentifact, fakta kejiawaan atau mentalitas.
Tetapi untuk mudahnya dibedakan sejarah intelektual mempelajari “ide-ide”
sedangkan sejarah mentalitas mengkaji “kepercayaan dan sikap-sikap rakyat” (popular beliefs and attitudes)
(Himemelfarb, 1987:170-171)
Alam
pikiranmanusia pada masa lalu pada hakikatnya menjadi perhatian utama sejarah
intelektual. Alam pikiran itu mempunyai struktur-struktur dan struktur-struktur
ini dianggap lebih dapat bertahan lama dan mempunyai pengaruh langsung terhadap
perbuatan manusia dari pada struktur sosial ekonomi. Contoh kongkrit misalnya
ideologi politik seperti liberalisme, sosialisme,konservatif dan sebagainya. Pandangan-pandangan john locke, Baron de
Montesue, JJ. Rosseau, Hegel dan lain-lain. Mengenai bidang teori politik
mempunyai bekas yang mendalam dalamsejarah politikdan kelembagaan pemerintah
didunia barat.(Ankersmith, 1987:302-303). Akhirnya segalasesuatuyang berhasil
dicapai oleh akal budi manusia pada masa lampaumerupakan objek penelitian
sejarah intelektual. Hasil-hasil dari revolusi ilmu pengetahuan pada “Zaman
Akal” (Age of Reason, 1650-1815) dengan segala macam aspeknya serta revolusi
intelektual dengan teori evolusinya. Freud dengan psikoanalisisnya dan enstein
dengan teori relativitasnya menjadi kajian sejarah intelektual. Begitu pula
dengan hasil-hasil filsafat, sejarah, susasetra, seni lukis, seni patung,
arsitektur dan music dari masa lalu yang sama (Leon, 1969: 14-23; 100-114).
J.
Sejarah Psikologis dan Psikohistoris
` Teryata
bahwa pengetahuan psikologis sangat berguna bagi para peneliti sejarah. Dengan
bekalpengetahuan ini para sejarawandapat mengkaji berbagai aspek prilaku
manusia pada masa lalu. Psikologi untuk pengkajian ini ada 2 macam: psikologi
kelompok dan individual. Masing-masing melahirkan cabang sejarah yang. Mengkaji
dan menganalisiskelompok manusia dan individu pada masa silam. Cabang pertama
disebut ‘’sejarah mentalitas’’ kedua disebut ‘’psikohistoris’’ yaitu kajian
yang menggunakan aspek psikologi.
1.
Sejarah
mentalitas mempunyai cakupan yang cukup luas yang berhubungan dengan ide,
ideology, orientasi nilai, sikap, watak, mitos dan segala hal yang berkaitan
dengan struktur kesadaran. Dalam sejarah mentalitas yang menjadi perhatian
ialah bagaimana ide dan semangat mempengaruhi proses sejarah tertentu. Dalam
prakteknya melihat bagaimana interaksi antara ide dan aksi, terutama sebagai
mentalitas kolektif atau kelompok. Sartono kartodirjo menunjukan comtoh sejarah
mentalitas pada periode pergerakan nasional di Indonesia. Begitu juga
bahan-bahan mentah untuk sejarah mentalitas ini dapat digali dari folklore yang
semua nya menjadi milik kolektif kelompok. Sementara itu pada pihak lain psikologi
kelompok juga membantu sejarahdalam menganalisis tindakan-tindakan berbentuk
tantangan seperti pemogokan, demonstrasi kekerasan dijalan raya, tingkah laku
kerumunan dan pemberontakan pada masa lalu.komponen-komponen psikologis tampak
pada efek-efek kegairahan menghadapi resiko dan pengorbanan, kehangatan dalam
kebersamaan penyerahan dan pengorbanan, kehangatan dan kebersamaan,penyerahaan
bulat-bulat pada perjuangan untuk suatu idiologi,dorongan bagi anak-anak muda
untuk menunjukan kejantanan denngan penggunaan kekerasan,atau daya tarik wanita
pada kejantanan laki-laki dan sebagainya (Landes &
Tilly,1971:70;smelser,1971).
2.
Psikohistori,banyak
sejarahwan pernah mendengar tentang Sigmund Freud tetapi tidak pernah membaca
sendiri tentangnya apalagi mempelajari tulisan-tulisannya.mereka yang mungkin
jadi sejarahwan psikologis atau psikoanalisis,ada yang pernah menjadi
pendidikan psikologis,ada pula hanya di bidang sejarah saja,tetapi jarang
mendapat kedua-duanya.jika ahli psikkoanalisis sendiri sudah mengalami kesulitan
dengan seorang pasien hidup yang berbaring di sofa ruang prakteknya,tentu akan
lebih sulit lagi bagi ahli psikiatri dan psikoanalisis untuk mengaplikasikan
teknik ini pada sejarah.meskipun demikian psikohistori tetap tumbuh.tokohnya
ialah Erik H.Erikson yang karyanya young Man luther: A study in Psychoanalysis and History (1958) adalah prototype
psikohistoris biografis.Erikson memasuki sejarah berangkat dari psikiatri.para
pengikutnya jarang mendapat pelatihan psikoanalisis.modelnya adalah mengenai
perkembangan pribadi (individu) yang berasal dari pengalaman barat yang
masyarakatnya industrialistis dan kaya.untuk individu-individu dari
tempat-tempat dan waktu-waktu lain non-barat dan non-industrimungkin harus
dilakukan modifikasi-modifikasi.tetapi jelas dengan di masukkannya pertimbangan
psikologis kedalam analisis biografis memperkaya pemahaman kita tentang tingkah
laku manusia (Landes & Tilly,1971:69).
K.
Sejarah Pendidikan
Di
Negara-negara Eropa ( dan Amerika ) perhatian kepada sejarah pendidikan telah
mulai ada sejak abad ke 19 dan digunakan untuk bermacam tujuan,terutama untuk
membangkitkan kesadaran bangsa dan rasa kesatuan kebudayaan,pengembangan
profesi guru-guru,atau untuk kebanggaan terhadap lembaga-lembaga dan tipe-tipe
pendidikan tertentu ( Silver,1985:2266 ).
Substansi
dan tekanan dalam sejarah pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada
maksud dari kajian itu,mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar
dalam pendidikan,tradisi nasional,system pendidikan beserta komponen-komponennya,sampai
kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematic dalam
perubahan sosial atau kestabilan,termasuk keagaman,sains,ekonomi dan
gerakan-gerakan sosial.sehubungan dengan ini semua sejarah pendidikan erat
kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial
(Silver,1985;Talbot,1972:193-210).
Esensi
dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan
(ilmu pengetahuan,teknologi,ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta estetika )
dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap
masyarakat atau bangsa.oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah
yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri,sejak dari pendidikan
informal dalam keluarga batih,sampai kepada pendidikan formal dan non-formal
dalam masyarakat agraris maupun industri
Selama
ini sejarah pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau “tradisional”
yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide-ide dan
pemikir-pemikir besar dalam
pendidikan,atau sejarah dari system pendidikan dan lembaga-lembaga,atau
sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan
(Silver,1985:2266).Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis,sempit serta terlalu melihat
ke dalam.sejarah dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan
beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya,penanganan serta
pendekatan baru dalam sejarah pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang
mendesak oleh para sejarahwan pendidikan kemudian (Talbot,1972:206-207).
Para
sejarahwan melihat hubungan timbale balik antara pendidikan dan
masyarakat.produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertical maupun
horizontal).secara vertikal,misalnya,timbulnya golongan elit yang berperan
dalam segala bidang kehidupan (politik,ekonomi,sosial) atau horizontal
perpindahan (tetap atau sementara) orang-orang dari tempat asal ke tempat baru
yang lebih menjanjikan mapan.kemudian masalah-masalah yang timbul dalam
pendidikan yang dampak-dampaknya (positif atau negatif) dirasakan terutama oleh
masyarakat pemakai,misalnya,timbulnya golongan menengah yang mengganggur karena
jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja atau kesenjangan dalam
pemerataan dan mutu pendidikan,pendidikan lanjutan yang dapat dinikmati oleh
anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-anak yang orang
tuanya tidak mampu,komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan
sebagainya.semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan
sejarah yang lebik baik daripada sebelumnya untuk menangai semua ini.dalam
pendekatan interdisiplin dengan ilmu-ilmu sosial lain,sejarahwan perlu mencoba
mengkombinasikan pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ilmu
sosial.sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi,sosiologi,dan
politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu
terapan” yang disebut antropologi pendidikan,sosiologi pendidikan,politik
pendidikan.para serajahwan pendidikan tidak perlu merasa “kecolongan” melainkan
harus memanfaatkannya secara maksimal dalam hubungan dialogis “simbiosis
mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Masih terdapat sejumlah besar lagi
tema yang tidak sempat dibicarakan di sini seperti sejarah wanita,sejarah
kota,sejarah pedesaan,sejarah diplomasi,sejarah militer,sejarah
perusahaan,sejarah lembaga,sejarah lembaga,sejarah sains dan teknologi,sejarah
fotografi,sejarah perfileman (sinema),sejarah kawasan serta serbu-satu macam
lainnya yang semuanya dapat menjadi “ladang-ladang” kajian bagi para sejarahwan
menurut minat mereka masing-masing.meskipun proliferasi ini tampaknya seperti
akan menjadi “sejarah terowonga” namun dengan pendekatan-pendekatan
interdisiplin,secara teoristis dan metodologis,”visi terowongan”ini dapat
diatasi.
Sumber :
Sjamsuddin.Helius.(2012).Metodologi
Sejarah.Yogyakarta : Ombak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar