BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kabupaten
Sintang adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Kalimantan Barat. Ibu
kota kabupaten ini terletak di Kota Sintang. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 21.635 km² dan berpenduduk sebesar ± 365.000 jiwa. Kepadatan penduduk
16 jiwa/km2 yang terdiri dari multi etnis dengan mayoritas suku Dayak dan
Melayu.
Daerah
Pemerintahan Kabupaten Sintang pada tahun 2005 terbagi menjadi 14 kecamatan, 6
kelurahan dan 183 desa. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Ambalau dengan luas
29,52 persen dari total luas wilayah Kabupaten Sintang, sedangkan luas
masing–masing kecamatan lainnya hanya berkisar 1–29 persen dari luas Kabupaten
Sintang. Secara umum Kabupaten Sintang luasnya hampir menyamai luas Provinsi
Sumatera Utara.
Sebagian besar
wilayah Kabupaten Sintang merupakan perbukitan dengan luas sekitar 22.392 km2
atau sekitar 69,37 persen dari luas Kabupaten Sintang (32.279 km2). Kabupaten
Sintang merupakan kabupaten terbesar kedua di Provinsi Kalimantan Barat, yaitu
setelah Kabupaten Ketapang. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Serawak.
Berbagai
cerita rakyat tentang berbagai hal mengenai sejarah berdirinya kerajaan sintang
masih belum jelas akan kapan pastinya kerajaan yang dikenal sebagai salah satu
kerajaan yang berdiri di tanah Sintang Kalimantan Barat. Begitu juga sumber
tertulis yang sangat sedikit akan bukti nyata tentang kapan berdirinya kerajaan
Sintang pun sangat masih sangat minim. Cerita rakyat dan sumber tertulis inilah
yang mendasari kami menyusun makalah tentang kerjaan Sintang. Selain untuk
mengetahui secara umum tentang gambaran kerajaan Sintang, baik dalam segi
agama, pemerintahan, sosial-budaya dan sebagainya, kami juga ingin menjelaskan
sedikit tentang bagaimana keadaan dan reaksi kerajaan sintang pada masa
kolonialisme, selain itu juga kami memberikan sedikit gambaran tentang
bagaimana keadaan kerajaan Sintang pada masa era kemerdekaan Republik
Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Gambaran umum tentang kerajaan Sintang ?
2. Bagaimana
keadaan kerajaan Sintang pada masa Kolonialisme ?
3. Bagaimana
keadaan kerajaan Sintang pada Era Kemerdekaan ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui gambaran umum tentang kerajaan sintang !
2. Untuk
mengetahui bagaimana keadaan Kerajaan Sintang pada masa kolonialisme !
3. Untuk
mengetahui bagaima keadaan Kerajaan Sintang pada Era Kemerdekaan !
D.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup penyusunan makalah ini difokuskan kepada hal-hal
yang berkaitan dengan keadaan Kerajaan Sintang.
E.
Metode Pengumpulan Data
Data penyusunan makalah ini diperoleh
dengan studi kepustakaan, yaitu suatu metode dengan membaca secara telaah
tentang Kerajaan Sintang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kerajaan Sintang
a.
Sintang
di Masa Hindu
Sejarah awal Kerajaan Sintang dimulai ketika
seseorang bernama Aji Melayu datang ke daerah Kujau sekitar abad ke-4 Masehi.
Kedatangan Aji Melayu ternyata membawa kebudayaan Hindu masuk ke ranah Melayu
di Kalimantan Barat, khususnya ke daerah Sintang. Di Kujau, Aji Melayu
mengawini seorang gadis bernama Putung Kempat dan dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Dayang Lengkong. Setelah beberapa lama menetap di Kujau, Aji
Melayu berpindah ke Nanga Sepauk hingga meninggal di sana dan dimakamkan di
Tanah Tanjung, daerah Muara Sungai Sepauk. Setelah Aji Melayu
meninggal,berturut-turut penguasa di Nanga S epauk
adalah Dayang Lengkong, Dayang Randung, Abang Panjang, Demong Karang (berkuasa
sekitar abad ke-7 M), Demong Kara, kemudian Demong Irawan. Pada masa Demong
Irawan berkuasa, Kerajaan Sintang resmi berdiri, yaitu sekitar abad ke-13 (±
1262 M).
Sebelum mendirikan Kerajaan Sintang, Demong Irawan
melakukan pengembaraan dengan menyusuri Sungai Kapuas yang akhirnya sampai ke
daerah pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi yang disebut daerah Nanga
Lawai. Di daerah ini kemudian didirikan permukiman yang berkembang menjadi sebuah
kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Sintang. Raja pertama Kerajaan
Sintang adalah Demong Irawan yang bergelar Jubair I (± 1262 M).
Berdirinya Kerajaan Sintang yang kala itu masih
bercorak Hindu ternyata sanggup menarik penduduk sekitar daerah Nanga Lawai
untuk datang dan mendirikan permukiman baru. Berkembangnya permukiman di
sekitar Nanga Lawai ternyata menarik perhatian Patih Logender dari Kerajaan
Singasari yang kala itu turut serta dalam Ekspedisi Pamalayu I pada tahun 1275
M.
Kedatangan Patih Logender beserta pengikutnya
disambut baik oleh Jubair I. Bahkan Patih Logender diizinkan untuk tinggal di
Kerajaan Sintang, diangkat menjadi penasehat, dan dikawinkan dengan puteri Jubair
I yang bernama Dara Juanti. Setelah Jubair I meninggal pada tahun 1291 M, Dara
Juanti naik tahta menjadi raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Patih Logender
tetap dijadikan penasehat raja. Tidak jelas siapa raja pengganti setelah Dara
Juanti. Hanya saja sekitar tahun 1640 M terdapat raja bernama Abang Samad yang
memerintah Kerajaan Sintang.
Setelah Abang Samad turun tahta, berturut-turut
posisi raja ditempati oleh Jubair II, Abang Suruh, Abang Tembilang, Pangeran
Agung (1640 - 1715 M), Pangeran Tunggal (1715-1725 M), dan Raden Paruba.
Raja terakhir ketika Kerajaan Sintang masih dalam
pengaruh Hindu adalah Raden Purba. Raden Purba memerintah di Kerajaan Sintang
sampai sekitar akhir abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke
Kerajaan Sintang dan Kapuas Hulu. Sebelum meninggal, disebutkan bahwa Raden
Purba telah memeluk agama Islam.
b.
Masuknya
Islam dan Perubahan Bentuk Kerajaan menjadi Kesultanan Sintang
Proses masuknya budaya Islam ke Kalimantan Barat,
termasuk ke Kerajaan Sintang, diyakini melalui aliran Sungai Sambas, kemudian
menyebar ke Singkawang, Mempawah, dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas.
Selanjutnya, penyebaran dilakukan melalui Sungai Landak masuk ke daerah Tayan,
Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah Sintang, dakwah Islam menyusuri Sungai
Kapuas sampai daerah Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun 1500
- 1800 M .
Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang
ketika kerajaan ini diperintah oleh Raden Purba. Setelah Raden Purba meninggal,
tahta Kesultanan Sintang dipegang oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad
Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin. Sultan Nata merupakan putera dari Mangku Malik
dan Nyai Cilik (adik Pangeran Tunggal).
Pemerintahan Sultan Nata ditandai dengan berbagai
macam perubahan yang sifatnya mendasar. Perubahan paling signifikan adalah
bergantinya bentuk kerajaan menjadi kesultanan dan penyusunan undang-undang
kesultanan. Undang-undang Kesultanan Sintang tersebut memuat tata kehidupan
masyarakat Sintang dan adat istiadatnya. Pengganti Sultan Nata adalah Ade
Abdurrahman yang bergelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau biasa
dikenal dengan nama Sultan Aman (1150 – 1200 H).
Pemerintahan Sultan Aman ditandai dengan kewajiban
menanam padi di setiap perdesaan, pemantauan hasil kerja rakyat oleh kepala
kampung setiap dua bulan dan melaporkannya kepada raja muda. Raja muda adalah
golongan bangsawan yang diangkat sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
bawahan. Pada tahun 1200 H, Sultan Aman meninggal dunia. Kepemimpinan di
Kesultanan Sintang diteruskan oleh puteranya yang bernama Ade Abdurrasyid yang
bergelar Sultan Abdurrasyid. Selanjutnya Sultan Abdurrasyid mengangkat adiknya
yang bernama Raden Machmud sebagai mangkubumi.
Masa pemerintahan Sultan Abdurrasyid dikenal sebagai
masa perkembangan dunia keilmuan (khususnya kesusastraan) dan kesenian.
Keterbukaan terhadap pengaruh luar, dalam hal ini kesusastraan dan kesenian,
memungkinkan perkembangan di kedua bidang ini bisa terealisasi di Kesultanan
Sintang. Perkembangan ilmu kesusastraan Islam di wilayah Kesultanan Sintang
masuk melalui Selat Malaka, Serawak, dan Pontianak.
Perkembangan tersebut tidak dari lepas campur tangan
para pedagang yang membawa pula beberapa karya sastra dalam perdagangan.
Beberapa kitab kesusastraan yang turut serta dibawa antara lain Hikayat Amir Hamzah,
Hikayat Umarmayah, Hikayat Landahor, Syair Yatim Mustafa, dan Kitab Tajul Muluk
Kekuasaan Sultan Abdurrasyid berakhir dengan
meninggalnya beliau pada tahun 1795 M. Pengganti kedudukan Sultan Abdurrasyid
adalah Ade Noh, putera Sultan Abdurrasyid yang dinobatkan dengan gelar Pangeran
Ratu Ahmad Kamaruddin (Sultan Ahmad Kamaruddin).
Untuk membantu menjalankan pemerintahan, Sultan
Ahmad Kamaruddin mengangkat putera dari Raden Machmud (adik Sultan Abdurrasyid)
yang bernama Adi Muhammad Djoen sebagai mangkubumi.
c.
Wilayah
Kekuasaan
Pada masa
pemerintahan Demong Irawan yang bergelar Jubair I (± 1262-1291 M), Kerajaan
Sintang mulai memperluas wilayah kekuasaannya. Kerajaan yang awalnya berpusat
di Nanga Lawai (suatu tempat pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi),
kemudian diperluas ke daerah Sepauk, Tempunak, dan Melawi dengan menempatkan
wakilnya di bawah kekuasaan Kerajaan Sintang. Sebagai lambing penaklukan,
Jubair I membuat batu peringatan Kerajaan Sintang yang disebut dengan “Batu
Kundur”. Batu Kundur tersebut terletak di depan bekas istana kerajaan di
Kampung Tanjung Ria, Sintang (sekarang Museum Daerah Sintang) Pada masa
pemerintahan Pangeran Tunggal, wilayah kekuasaan Kerajaan Sintang kembali
diperluas. Perluasan wilayah kekuasaan tersebut meliputi Sintang, Sepauk,
Tempunak, Jetak, Dedai, Gandis, Kayan, Nanga Mau, Nanga Tebidah.
Perluasan
wilayah kekuasaan yang telah dilakukan oleh Pangeran Tunggal, dilanjutkan
ketika Kesultanan Sintang diperintah oleh Sultan Nata. Perluasan tersebut
meliputi wilayah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu sampai perbatasan daerah
Serawak, daerah Melawi (Nanga Pinoh, Menunkung, Serawai sampai Ambalau yang
berdekatan dengan perbatasan Kalimantan Tengah).
d.
Sistem
Pemerintahan
Pada masa
pemerintahan Pangeran Tunggal (1715-1725 M), dilakukan pelapisan sosial di
dalam golongan bangsawan, yaitu golongan bangsawan hilir dan hulu. Golongan
bangsawan hilir adalah golongan yang kegiatannya banyak dilakukan di luar
lingkungan istana. Golongan ini sangat berpengaruh di dalam masyarakat di
daerah-daerah bawahan kerajaan. Sedangkan golongan bangsawan hulu adalah para
keturunan bangsawan yang menjadi menteri atau mangkubumi secara turun temurun.
Mangkubumi berfungsi apabila raja berhalangan menjalankan pemerintahan atau
disebabkan karena sesuatu hal sehingga tidak dapat menjalankan pemerintahan.
Dalam situasi ini maka untuk sementara waktu yang berkuasa adalah mangkubumi
Pada masa pemerintahan Sultan Nata, dilakukan beberapa perubahan dalam sistem
pemerintahan di Kerajaan Sintang. Dalam menjalankan pemerintahan, Sultan Nata
dibantu oleh mangkubumi dan beberapa orang menteri yang sekaligus merangkap
sebagai panglima perang. Sultan juga membentuk badan pengadilan yang bertugas
mengadili segala perkara dan pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat. Badan
pengadilan ini terdiri dari alim ulama Islam, pemuka-pemuka adat Dayak atau
tumenggung, dan pemuka masyarakat. Di ibukota kerajaan juga dibangun
gudang-gudang makanan yang bertujuan menampung bahan makanan dari daerah-daerah
bawahan dan berada di bawah pengawasan seorang bendahara kerajaan.
Pemerintahan
di daerah-daerah bawahan seperti Sepauk, Tempunak, Pinoh, Serawai, Kayan,
Ketungau, dan lain-lainnya, dijalankan oleh raja muda yang diangkat oleh
sultan. Dalam melaksanakan tugasnya, raja muda dibantu oleh tumenggung dan
panglima adat. Sedangkan dalam suasana perang, panglima adat inilah yang akan
memimpin pasukan di daerahnya. Setiap tahunnya daerah-daerah bawahan wajib
menyerahkan penghasilan sebesar 25% kepada sultan.
Sultan Nata
juga mengubah sistem pemerintahan di Kesultanan Sintang. Dalam suatu suatu
rapat tahunan diputuskan untuk:
1. Menetapkan
kerajaan menjadi Kerajaan Islam, yang mengubah bentuk kerajaan menjadi
kesultanan.
2. Pemimpin
kerajaan bergelar sultan.
3. Menyusun
undang-undang kesultanan.
4. Mendirikan
masjid dan tempat beribadah, dan
5. Membangun
istana kesultanan Selain hukum Islam yang telah diberlakukan, di Kesultanan
Sintang juga dibuat undang-undang kesultanan yang terdiri dari 32 pasal.
Undang-undang kesultanan kemudian mengalami penyempurnaan dengan tambahan 35
pasal pada masa pemerintahan Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara, sehingga
undang-undang kesultanan memuat 67 pasal.
Isi undang-undang kesultanan memuat tata kehidupan
masyarakat Sintang dan adat-istiadatnya yang semuanya diatur oleh Kesultanan
Sintang.
Pada masa
pemerintahan Ade Mohammad Djoen, terjadi perubahan sistem pemerintahan di
Kesultanan Sintang. Ade Mohammad Djoen membagi wilayah Kesultanan Sintang ke
dalam beberapa disrik. Setiap distrik dipimpin oleh seorang demang.
Pada masa
Jepang, sistem pemerintahan di Kesultanan Sintang pada dasarnya tidak berubah.
Hanya saja terdapat pergantian beberapa nama sesuai dengan nama Jepang.
Misalnya asisten residen sebagai kepala pemerintahan diganti dengan nama Ken
Karinkan; Controleur diganti dengan Bunken Karinkan; dan Panembahan disebut Doo
Koo Ketika Belanda kembali datang dan menguasai Sintang pada bulan Mei 1946,
terjadi perubahan sistem pemerintahan. Afdeeling dibagi ke dalam 4
onderafdeeling, yaitu Onderafdeeling Sintang yang berkedudukan di Sintang,
Onderafdeeling Melawi yang berkedudukan di Nanga Pinoh, Onderafdeeling Semitau
yang berkedudukan di Semitau, dan Onderafdeeling Boven Kapuas yang berkedudukan
di Putussibau.
Berdasarkan
isi perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tanggal 2 Desember
1949, maka dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Atas dasar pembentukan
RIS, maka dibentuk 16 negara bagian yang termasuk pula Daerah istimewa
Kalimantan Barat. Setelah adanya pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia
pada tanggal 27 Desember 1949 kembali terjadi perubahan sistem pemerintahan di
Sintang. Onderafdeeling Sintang berubah menjadi Kabupaten Sintang dengan bupati
pertamanya, L. Tobing,
Onderafdeeling
Melawi menjadi Kawedanan Melawi, Onderafdeeling Semitau menjadi Kawedanan
Semitau, dan Onderafdeeling Boven Kapuas Kewedanan Boven Kapuas kemudian
menjadi Kabupaten Kapuas Hulu dengan ibukota Pustussibau.Pada tanggal 17
Agustus 1950, terjadi perubahan dari RIS kembali ke bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Perubahan bentuk tersebut berpengaruh pula terhadap
Kesultanan Sintang yang berubah statusnya menjadi swapraja yang kemudian
menyerahkan (melebur) kekuasaannya ke dalam NKRI. Berdasarkan peleburan
tersebut maka status swapraja mulai dihapus dan dilebur ke dalam Karesidenan
Kalimantan Barat dengan gubernur pertamanya, Aji Pangeran Aflus.
e.
Kehidupan
Sosial-Budaya
Pada masa
pemerintahan Raden Purba, pengaruh Islam mulai memasuki kehidupan sosial dan
budaya sehingga terjadi proses saling mempengaruhi antarkebudayaan. Misalnya di
bidang seni, pengaruh dari kebudayaan Islam merasuk ke kehidupan istana dan
masyarakat dengan masuknya alat musik rebana, musik gambus, dan Tari Zapin Pada
masa pemerintahan Sultan Aman, setiap tahunnya diadakan perlombaan perahu bagi
masyarakat Sintang yang berlokasi di Sungai Kapuas. Perahu yang dilombakan
adalah jenis perahu panjang yang sanggup memuat 60 orang, ditambah dengan
seorang pengemudi di belakang dan seorang pawang yang duduk di depan sambil
memukul gong untuk memberikan semangat bagi para pengayuh perahu Penduduk di
Kesultanan Sintang juga mengembangkan industri kerajinan rumah tangga.
Para penduduk mengembangkan
kerajinan mengukir peti kayu dan menenun dengan benang yang berasal dari serat nanas.
Penduduk juga telah mengenal teknik pewarnaan benang dengan menggunakan getah
kayu atau biasa disebut oleh penduduk setempat dengan istilah jernang. Selain itu,
para penduduk juga mengembangkan kerajinan menganyam rotan dengan hasi produksi
seeprti bakul, keranjang, tudung saji, tengkalang (tempat menyimpan pakaian),
renjong, dan tikar rotan
B.
Kerajaan
Sintang Pada Masa Kolonialisme
a.
Masa
Kolonialisme di Kesultanan Sintang
Pada bulan Juli 1822, pasukan Belanda dengan
bersenjata lengkap dipimpin oleh J.H. Tobias, Commisaris dari West Kust van
Borneo, datang ke Kesultanan Sintang. Tobias menyatakan bahwa maksud
kedatangannya ke Kesultanan Sintang adalah untuk membantu mengamankan
Kesultanan Sintang dari berbagai ancaman, khususnya ancaman dari luar.
Untuk pertama kalinya, terjadi pertemuan antara
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang diwakili oleh J.H. Tobias dan Sultan
Ahmad Kamaruddin selaku wakil dari Kesultanan Sintang. Pertemuan ini
menghasilkan kesepakatan awal bahwa orang-orang Belanda diizinkan tinggal di
wilayah kekuasaan Kesultanan Sintang.
Beberapa waktu kemudian, Sultan Ahmad Kamaruddin
jatuh sakit kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di permakaman raja-raja
Sintang di Kampung Sungai Durian Sintang (komplek makam raja-raja Sintang).
Tahta Kesultanan Sintang akhirnya beralih ke putera sulung Sultan Ahmad
Kamaruddin yang bernama Gusti Djemani dan bergelar Pangeran Sukma Pangeran
Sukma tidak sepakat dengan kebijakan Sultan Ahmad Kamaruddin yang mengizinkan
Belanda untuk tinggal di wilayah Kesultanan Sintang. Mengetahui
ketidakberpihakan penguasa yang baru, Belanda melancarkan taktik devide et
impera (adu domba) untuk menjamin keberadaannya di Kesultanan Sintang.
Belanda mempengaruhi Gusti Muhammmad Djamaluddin,
adik Sultan Sukma untuk menggulingkan kekuasaan sang kakak. Taktik Belanda
berhasil sehingga Gusti Muhammmad Djamaluddin duduk sebagai sultan menggantikan
Sultan Sukma. Gusti Muhammmad Djamaluddin akhirnya diangkat menjadi sultan
dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin.
Sedangkan jabatan mangkubumi diserahkan kepada
Pangeran Adipati Muhammad Idris Kesuma Negara Pada masa pemerintahan Pangeran
Adipati Muhammad Djamaluddin, untuk kedua kalinya Belanda datang ke Kesultanan
Sintang, yaitu pada bulan September 1822 di bawah pimpinan Pegawai Tinggi, Dj.
Van Dungen Gronovius dan Cf. Goldman serta Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif
Ahmad Alqadri. Kedatangan Belanda disambut baik oleh Pangeran Adipati Muhammad
Djamaluddin. Bahkan kemudian Belanda dan Kesultanan Sintang sepakat untuk
menjalin kerjasama di bidang perdagangan (kontrak sementara atau voorloopig
contract).
Kontrak ini menyebutkan bahwa Belanda akan menetap
untuk sementara waktu di wilayah kekuasaan Kesutanan Sintang. Berawal dari
kontrak sementara ini, Belanda menyusun taktik untuk terus mengikat bahkan jika
memungkinkan untuk menguasai Kesultanan Sintang.
Tujuan Belanda untuk mengikat bahkan menguasai
Kesultanan Sintang akhirnya berhasil dengan ditandatanganinya kontrak permanen
pada tanggal 24 November 1823, yang antara lain berisi: Pangeran sebagai
penguasa dan pembesar di Kerajaan Sintang mengakui Belanda sebagai penguasa
tertinggi atas penduduk, tanah, dan segala kekayaan yang terdapat di dalamnya
sebagai wujud persahabatan; Belanda sanggup melindungi keturunan sultan; dan
orang Cina, Melayu, Bugis, dan semua orang asing harus tunduk kepada kekuasaan
Belanda. Setelah penandatanganan kontrak kedua (24 November 1823), Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda membangun benteng pertahanan dan menambah jumlah
serdadu yang dilengkapi dengan persenjataan dan sebuah kapal penjelajah.
Selanjutnya, Belanda membuka kantor Asisten Residen di Tanah Tanjung (sekarang
Kampung Tanjung Puri), dengan menempatkan H. van Cafferon sebagai Asisten Residen
Sintang
Pada tanggal 2
Desember 1823, kembali diadakan penandatanganan perjanjian antara Kesultanan
Sintang yang diwakili oleh Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian
ketiga ini semakin menunjukkan dominasi
kekuatan politik Belanda atas Sintang. Pada tanggal 19 November 1847 di
Pontianak, kembali Kesultanan Sintang dihadapkan pada perjanjian keempat
kalinya dengan Belanda. Isi pokok dari perjanjian 19 November 1847 menekankan
kepada Kesultanan Sintang dan seluruh menterinya untuk tidak mengadakan
hubungan dengan orang kulit putih lain atau bangsa lain. Guna memuluskan
langkah untuk mengikat bahkan menguasai Kesultanan Sintang secara menyeluruh,
kembali Belanda mengadakan perjanjian dengan Kesultanan Sintang pada tanggal 31
Maret 1855. Isi dari kontrak yang memuat
23 pasal tersebut antara lain: Kesultanan Sintang tidak boleh mengikat
perjanjian dengan kerajaan asing; Setiap pergantian sultan harus seizin
Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan segala perjanjian yang terdahulu yang
bertentangan dengan isi kontak panjang (perjanjian 31 Maret 1855) dianggap
tidak berlaku. Dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 31 Maret 1855,
berarti mulai saat itulah Kesultanan Sintang secara politik mengakui kedaulatan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai penguasa di Kesultanan Sintang.
Belanda telah menguasai dan mengikat Kesultanan Sintang sepenuhnya.
b.
Perlawanan
terhadap Kolonialisme
Perjanjian
yang dilakukan antara Belanda dan Kesultanan Sintang pada tanggal 31 Maret
1855, ternyata berakibat pada berbagai perlawanan yang terjadi di wilayah
Kesultanan Sintang. Bisa dikatakan, perlawanan pertama dilakukan oleh Pangeran
Idris Kesuma Negara selaku mangkubumi di Kesultanan Sintang. Pangeran Idris
melihat bahwa perjanjian 31 Maret 1855 berakibat buruk bagi rakyat dan kemunduran
di berbagai bidang, terutama politik dan ekonomi. Ketidaksetujuan Pangeran
Idris atas perjanjian tersebut berakibat dengan dicopotnya jabatan mangkubumi
oleh Belanda.
Ternyata
peristiwa pencopotan jabatan mangkubumi merupakan titik awal perlawanan di
wilayah Kesultanan Sintang. Atas pencopotan jabatan mangkubumi, Pangeran Idris
bersama dengan Pangeran Kuning, Pangeran Anum, dan Pangeran Muda keluar dari
birokrasi istana dan pergi menuju Nanga Kayan untuk menyusun kekuatan
perlawanan.
Perang pertama
meletus pada tanggal 5 Oktober 1856 di Tanah Tanjung. Pasukan perlawanan di
bawah pimpinan Pangeran Muda menyerang benteng Belanda di Tanah Tanjung. Dalam
pertempuran tersebut, pihak Pangeran Muda terdesak dan mundur ke kubu pertahanan
Pangeran Idris Kesuma.Perlawanan kembali dilanjutkan oleh Pangeran Idris
Kesuma. Akan tetapi lagi-lagi perlawanan tersebut kandas di tengah jalan karena
Pangeran Idris Kesuma ditangkap dan dibuang ke Karawang (Jawa Barat) dan
meninggal dalam pembuangan pada tahun 1857.
Di tengah
gencarnya perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin
meninggal pada tahun 1855. Tahta Kesultanan Sintang diserahkan kepada puteranya
yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara yang bergelar Panembahan
Abdurrasyid. Di masa pemerintahan Sultan Adi Abdurrasyid Kesuma Negara,
perlawanan kembali bergolak. Kali ini dipimpin oleh Pangeran Anum, Pangeran
Muda, Muhammad Saleh, dan Nibung. Pada tanggal 11 November 1856, pasukan Pangeran
Anum menggempur benteng Belanda yang berada di Tanah Tanjung.
Putera
Pangeran Kuning yang bernama Pangeran Muda melanjutkan perlawanan yang telah
dimulai ayahnya yang gugur pada tahun 1857. Bersama dengan Pangeran Mas Nata
Wijaya, Mohammad Saleh, dan Nibung mereka melancarkan aksi perlawanan yang
kemudian dikenal sebagai Perang Tebidah I. Nama Tebidah diambil dari nama
tempat di mana mereka melakukan perlawanan selama 3 tahun. Pada tahun 1860,
Pangeran Muda meninggal dan dimakamkan di dekat makam ayahnya di daerah Teluk
Sedaga. Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Mas, seorang pangeran yang
berasal dari Banjar di tepi Sungai Barito pada tahun 1867,Perlawanan di daerah
Tempunak yang dipimpin oleh Abang Kadri pada tahun 1869, Perang Mensiku yang
berlangsung pada tanggal 10 Maret 1874 di bawah pimpinan Padung dari Suku Dayak
Ketungau,Perlawanan yang dipimpin oleh Raden Paku di daerah Melawi pada tahun
1880; dan Perang Tebidah II antara 13 Agustus-18 Oktober 1890.
Perang Tebidah
II berlangsung ketika Kesultanan Sintang diperintah oleh Panembahan Abang
Ismail yang naik tahta menggantikan Panembahan Abdurrasyid. Setelah Perang
Tebidah II, Panembahan Abang Ismail meninggal dunia pada tanggal 12 Desember
1905 dan dimakamkan di permakaman raja-raja Sintang di Kampung Sungai Durian.
Tahta
Kesultanan Sintang beralih kepada puteranya yang bernama Gusti Abdul Majid dan
bergelar Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma Negara yang dikuatkan
dengan sumpah jabatan tertanggal 26 Januari 1906 Pada masa pemerintahan
Panembahan Abdul Majid, kembali Belanda memperbaharui kontrak politik dengan
Kesultanan Sintang pada tahun 1913. Kontrak tersebut memuat 3 hal, yaitu :
1.
Dibuat pemisahan administrasi
antara keuangan Belanda dan Kesultanan Sintang.
2.
Semua penduduk laki-laki di atas
usia 18 tahun diwajibkan membayar pajak kepala (belasting); dan
3.
Hak atas tanah bangsawan dicabut
dan langsung disita oleh Pemeirntah Hindia Belanda.
Panembahan
Abdul Majid merupakan sultan yang selalu berseberangan paham dengan Belanda.
Tekanan yang terus dilakukan Belanda untuk segera menandatangani kontrak
politik 1913, berujung dengan sikap anti-Belanda yang membuat Panembahan Abdul
Majid menyusun siasat perlawanan terhadap Belanda. Terjadilah Perang Panggi
yang menewaskan seorang perwira Belanda yang bernama Kapten Pienar. Panggi
merupakan nama dari salah satu dari tiga nama pemimpin perlawanan dari suku
Dayak. Dua pimpinan perlawanan lainnya bernama Runguk dan Rangas.
Setelah
penangkapan dan pembuangan Panembahan Abdul Majid, terjadi kekosongan tahta di
Kesultanan Sintang. Belanda kemudian menunjuk Ade Mohammad Djoen, sepupu dari
Penembahan Abdul Madjid, sebagai wakil pemerintahan Kesultanan Sintang karena
para putera Panembahan Abdul Majid belum dewasa dan masih bersekolah di HIS
(Hollands Inlandsche School) Ade Mohammad Djoen memulai pemerintahan dengan
merevolusi sistem pendidikan yang berujung dengan dibangunnya sekolah HIS di
Kampung Tanjung Puri, Sintang dengan kepala sekolah bernama W.B. Pabst.
Ade Mohammad
Djoen juga mewajibkan kepada seluruh rakyat di Kesultanan Sintang untuk
bersekolah. Anak-anak yang bertempat tinggal di pedalaman seperti Serawai, Ambalau,
dan lain-lain, dipaksa untuk bersekolah dan tinggal di istana Kesultanan
Sintang. Sedangkan bagi keluarga yang tidak mampu disediakan bantuan yang
diusahakan oleh Ade Mohammad Djoen Pada tahun 1937, Raden Abdul Bachri Danu
Perdana, putera dari Sultan Panembahan Abdul Majid, naik tahta menggantikan
kedudukan Ade Mohamamad Djoen sebagai wakil pemerintahan Kesultanan Sintang
Sebenarnya di dalam tradisi di Kesultanan Sintang, penerus tahta yang sah
adalah putera sulung Sultan Panembahan Abdul Majid yang bernama Raden
Abdurrachman Panji Negara. Akan tetapi beliau menolak dan melepaskan haknya
kepada adiknya, Raden Abdul Bachri Danu Perdana.
Sebagai
penguasa di Kesultanan Sintang, Raden Abdul Bachri Danu Perdana mengambil sikap
tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Sikap yang sama ditunjukkan ketika
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah digantikan oleh Pemerintah Pendudukan
Dai Nippon (Jepang) yang datang ke Kota Sintang pada tanggal 16 Februari 1942
dan menggantikan kedudukan Belanda sebagai penguasa baru di Kesultanan Sintang
Sikap Raden Abdul Bachri Danu Perdana untuk menolak bekerjasama dianggap
sebagai ancaman oleh Pemerintah Kolonial Dai Nippon. Akhirnya sekitar tahun
1944, Pemerintah Dai Nippon menangkap Raden Abdul Bachri Danu Perdana beserta
kedua saudara kandungnya, yaitu Raden Abdurrahman Panji Negara dan Raden
Syahdan Syahkobat Indra beserta para bangsawan Sintang dengan tuduhan melakukan
gerakan perlawanan di bawah tanah untuk menentang keberadaan Dai Nippon
(Jepang) di Sintang dan Kalimantan Barat pada umumnya. Akhirnya setelah
dipenjara selama 2 bulan, Raden Abdul Bachri Danu Perdana beserta para
bangsawan Kesultanan Sintang lainnya dibawa ke daerah bernama Mandor (sekarang
Kecamatan Mandor, Kabupaten Pontianak) dan dibunuh.
C.
Kesultanan
Sintang di Era Kemerdekaan Indonesia
Setelah
terjadi pembunuhan terhadap Raden Abdul Bachri Danu Perdana dan para bangsawan
Sintang di Mandor, terjadi kekosongan pemerintahan di Kesultanan Sintang.
Kekosongan pemerintahan ini berakhir pada tahun 1946, ketika Sultan Hamid II
selaku wakil dari Kementrian Republik Indonesia datang ke Kesultanan Sintang
untuk menunjuk Raden Syamsuddin, putera dari Raden Abdurrahman Panji Negara (kakak
dari Raden Abdul Bachri Danu Perdana) untuk diangkat sebagai kepala Kesultanan
Sintang. Pada bulan Juli 1946, Raden Syamsuddin dilantik sebagai Panembahan
Kesultanan Sintang oleh Residen Borneo.
Pengangkatan
Raden Syamsuddin sebagai Panembahan Kesultanan Sintang tidak bertahan lama
karena enam bulan setelah pengangkatan, Raden Syamsuddin ditangkap dengan
tuduhan akan mengadakan perlawanan dengan para pejuang Merah Putih melawan
pendudukan Belanda (Nederlandsch Indië Civil Administratie atau NICA yang
datang ke Sintang pada bulan Mei 1946 bersama dengan pasukan Sekutu).
Pejuang Merah
Putih adalah sebutan bagi para pejuang yang terlibat perlawanan di Nanga Pinoh
pada tahun 1946 yang dikenal dengan Perang Merah Putih (1946-1949) Setelah
penangkapan terhadap Raden Syamsuddin, kembali terjadi kekosongan pemerintahan
di Kesultanan Sintang. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan tersebut, Asisten
Residen Beuwkes mengambil alih pucuk pimpinan di Sintang.
Pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS), yang sesuai dengan isi Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag pada tanggal 2 Desember 1949, secara langsung turut berpengaruh
terhadap eksistensi
Kesultanan
Sintang. Sesuai dengan kesepakatan untuk membentuk RIS, maka Indonesia dibagi
ke dalam 16 negara bagian, termasuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Pada
tanggal 17 Agustus 1950, terjadi perubahan dari RIS ke bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Perubahan bentuk tersebut mengubah status Kesultanan
Sintang menjadi swapraja yang kemudian menyerahkan (melebur) kekuasaannya ke
dalam NKRI. Ketika status kesultanan berubah menjadi swapraja, Kesultanan
Sintang dipimpin oleh Sultan Ade Mohammad Johan. Berdasarkan peleburan tersebut
maka status swapraja mulai dihapus dan dilebur ke dalam Karesidenan Kalimantan
Barat dengan gubernur pertamanya Aji Pangeran Aflus.
D.
Silsilah
pada Kesultanan Sintang
Berikut ini
merupakan silsilah raja/sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan kemudian
berganti menjadiKesultanan Sintang. Penyebutan raja mulai berlaku pada masa
pemerintahan Demong Irawan (Jubair I). Sebelum Demong Irawan berkuasa, sejak
masa Aji Melayu sampai Demong Minyak, penyebutan raja belum lazim. Mereka masih
disebut penguasa daerah Nanga Sepauk (Melawi). Silsilah para raja/sultan
berikut ini dirangkum dari dua buku, yaitu J.U. Lontaan (1975, Sejarah-Hukum
Adat dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat) dan Syahzaman & Hasanuddin (2003,
Sintang dalam Lintasan Sejarah). Silsilah para raja/ sultan di Kesultanan
Sintang yang dapat ditemukan adalah:
1.
Aji Melayu
2.
Dayang Lengkong
3.
Dayang Randung
4.
Abang Panjang
5.
Demong Karang (berkuasa sekitar
abad ke-7 M)
6.
Demong Kara
7.
Demang Minyak
8.
Demong Irawan sebagai raja
pertama Kerajaan Sintang yang bergelar Jubair I (± 1262-1291 M)
9.
Dara Juanti (naik tahta pada
tahun 1291 M)
10. Abang
Samad (memerintah pada tahun 1640 M
11. Jubair
II
12. Abang
Suruh
13. Abang
Tembilang
14. Pangeran
Agung (1640-1715 M)
15. Pangeran
Tunggal (1715-1725 M)
16. Raden
Paruba (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:26).
17. Adi
Nata bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin
18. Sultan
Aman (1150 – 1200 Hijriah)
19. Ade
Abdurrasyid yang bergelar Sultan Abdurrasyid (meninggal pada tahun 1795 M)
20. Ade
Noh bergelar Pangeran Ratu Ahmad Kamaruddin
21. Gusti
Djemani bergelar Pangeran Sukma
22. Gusti
Muhammmad Djamaluddin bergelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin
23. Adi
Abdurrasyid Kesuma Negara bergelar Panembahan Abdurrasyid
24. Panembahan
Abang Ismail (meninggal pada tanggal 12 Desember 1905)
25. Gusti
Abdul Majid yang bergelar Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma Negara
(sumpah jabatan pengangkatan beliau sebagai sultan dilakukan pada tanggal 26
Januari 1906)
26. Ade
Mohammad Djoen
27. Raden Abdul Bachri Danu Perdana (1937-1944)
28. Raden
Syamsuddin (naik tahta pada tahun 1946)
29. Sultan
Ade Mohammad Johan (bertahta sampai status Kesultanan Sintang berubah menjadi swapraja
dan dilebur ke dalam NKRI pada tahun 1949).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berbagai
cerita rakyat tentang berbagai hal mengenai sejarah berdirinya kerajaan sintang
masih belum jelas akan kapan pastinya kerajaan yang dikenal sebagai salah satu
kerajaan yang berdiri di tanah Sintang Kalimantan Barat. Begitu juga sumber
tertulis yang sangat sedikit akan bukti nyata tentang kapan berdirinya kerajaan
Sintang pun sangat masih sangat minim.
Sejak
berdirinya yang berawal dari kerajaan yang bercorak hindu kemudian berubah
menjadi kerajaan yang bercorak islam, kerajaan Sintang sudah jelas merupakan
kerajaan yang mempunyai pengaruhnya tersendiri untuk berbagai macam hal. Selain
itu, kerajaan sintang merupakan salah satu bukti sejarah yang turut membenarkan
akan adanya pengaruh kolonial di Kalimantan Barat pada dahulunya.
Jadi, dapat
kami simpulkan bahwa kerajaan Sintang dahulunya merupakan sebuah kerajaan yang
cukup besar untuk lebih khususnya di Kalimantan Barat, karena sejak menjadi
sebuah kerajaan, kerajaan Sintang sudah bisa menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan lain yang ada di Kalimantan Barat, dan selain itu kerajaan
Sintang juga menjadi wilayah kolonial para imperialis yang pernah berkuasa di
Kalimantan Barat. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus tidak boleh
sama sekali melupakan peninggalan leluhur kita ini, masih banyak yang harus
kita gali untuk menambah ilmu pengetahuan kita khususnya tentang sejarah
kerajaan Sintang ini.
B.
Saran
Dalam
penulisan makalah ini, kami menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Jadi
makalah ini belum tentu sempurna untuk referensi perkuliahan kita di semester 4
Program Studi Penddidikan Sejarah ini. Jadi kami selaku kelompok 4, meminta
saran dan kritiknya guna membangun dan melengkapi salah satu silabus mata
kuliah Sejarah Lokal ini. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Daftar
Pustaka
Sjamsuddin,Helius.(2013).
Perlawanan dan Perubahan di Kalimantan
Barat Kerajaan Sintang 1822 – 1942. Yogyakarta : Ombak
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sintang
http://melayuonline.com/ind/history/dig/424/kerajaan-sintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar