SEJARAH SAMBAS
A.
Asal
Usul Kerajaan Sambas
a. Kerajaan Sambas ( Hindu )
Kerajaan
Sambas kuno adalah negara Sambas kuno yang mula-mula berdiri sekitar abad ke 7 hingga
sampai masa Kerajaan Panembahan Sambas yang berakhir sekitar tahun 1675 di
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia.
Kerajaan
Panembahan Sambas merupakan pendahulu kesultanan Sambas, sebagaimana halnya
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan pendahulu yang ditaklukan oleh Kesultanan
Kutai. Tetapi Dinasti (garis keturunan) Raja-Raja Kerajaan Sambas berbeda
dengan Dinasti / Nasab Sultan-Sultan Kesultanan Sambas
Penguasa
Kerajaan Sambas bergelar Ratu atau Panembahan. Ratu merupakan gelar penguasa
yang levelnya berada dibawah dari gelar Maharaja (disebut Sultan pada masa
Islam). Panembahan merupakan gelar yang mulai populer sejak 1500 karena
digunakan oleh Panembahan Jimbun (alias Raden Patah), raja pertama Kesultanan
Demak.
Pada
mulanya negara Sambas (Kerajaan Nek Riuh) menjadi vazal Kerajaan Bakulapura
(bawahan Singhasari). Pada masa itu Tanjung Dato menjadi perbatasan wilayah mandala
Bakulapura/Tanjungpura/Sukadana dengan wilayah mandala Borneo/Brunei/Barune. Selanjutnya
negara Sambas (Kerajaan Tan Unggal) menjadi vazal Kerajaan Tanjungpura (penerus
Bakulapura) yaitu provinsi Majapahit di Kalimantan.
Sambas
terletak di antara jalur pelayaran dari Tiongkok ke Champa menuju Tuban
(pelabuhan Majapahit). Sambas menjalin hubungan dengan Tiongkok pada tahun 1407
sejak terbentuknya pemukiman Tionghoa Hui Muslim Hanafi didirikan di Sambas.
Pemukiman Tionghoa ini dibawah koordinator Kapten Cina di Champa, namun sejak
tahun 1436 langsung di bawah gubernur Nan King.
Kerajaan
Sambas dan kerajaan lainnya di Kalimantan di bawah pengaruh Kesultanan Demak
(penerus Majapahit). Tomé Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana)
dan Loue (Lawai) masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee
(Patih). Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak. Kemungkinan
besar penguasa Sambas dan Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa
pemerintahan Sultan Demak Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor/Yat Sun (1518-1521)
sebelum menyerbu posisi Portugis di Malaka pada tahun 1521 dimana Pati Unus
gugur dalam pertempuran tersebut.
Semenjak
runtuhnya Demak, Banjarmasin memungut upeti kepada negara Sambas, Sukadana dan
Batang Lawai dan menjadikannya vazal Kesultanan Banjar. Terakhir kalinya negara
Sambas mengirim upeti ke Martapura pada masa pemerintahan Sultan Mustainbillah.
Pada tanggal 1 Oktober 1609, Pangeran Adipati Saboa Tangan dari Kerajaan Sambas
melakukan pakta kerja sama dengan VOC Belanda.
Sebelum
berdirinya Kerajaan Sambas di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah
berdiri Kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya.
Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah
Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik
Indonesia adalah :
1. Keraton
I disebut Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
2. Keraton
II disebut Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
3. Keraton
III disebut Kerajaan Sambas pada abad 16 M.
4. Keraton
IV disebut Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara
otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang
tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365
M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh.
Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun
demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa
hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan
bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini
telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah
Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia
sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai
Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan
masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum
berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
b.
Panembahan
Ratu Sipudak
Panembahan
Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di
tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini
dapat disebut juga dengan nama "Panembahan Sambas". Ratu Sapudak
adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah
Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang
pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yang tidak
diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja laki-laki di Panembahan Sambas
dan juga di suatu masa di Majapahit. Pada 1 Oktober 1609 saat masa Ratu Sepudak
telah mengadakan perjanjian dagang dengan Samuel Bloemaert dari VOC yang
ditanda tangani di kota Lama.
Asal
usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa
hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan
ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono
(Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Pada tahun 1364 pasukan
majapahit telah mendarat di Pangkalan Jawi.kini daerah itu bernama Jawai
Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena
berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada
saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri
adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit
lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan
yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk
menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di
Sungai Sambas.
Pada
saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini
lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian
pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan
orang-orang Dayak pesisir. Raja Tan Unggal merupakan anak asuh dari Ratu
Sapudak yang berhasil naik tahta dengan menyingkirkan putera dan puteri Ratu
Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare Nandung yang dikuburkan hidup hidup dibukit
Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara itu berniat kawin sesama saudara. Pada
saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah
terjadi kudeta rakyat dengan terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis dengan
dimasukkan kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai Sambas dan sejak itu
masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah
rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga
tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba
ini.
Setelah
lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini
melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga
kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan
Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang
masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak
diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu
Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya
yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada
masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang
terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan
menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda
Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan
Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang
kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama
setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini,
Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan
Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari
Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan
Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono
ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak
masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu
Anom.
Beberapa
lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika
Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun,
anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa
hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan
bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena
pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden
Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu
Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan
negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga
kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama
Raden Bima.
Tidak
berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar
Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung
yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang
Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak.
Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma
dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin,
Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan
Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang
menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam
perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai
yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara
tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya
itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun luka
yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada
kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda
Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong
(dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal
suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana
(tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari
Raden Sulaiman).
Sepeninggal
Ayahnya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di
Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda
bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas
bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam
negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak
lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayah Raden
Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian
Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping
menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan
Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan
Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap
dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga
Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan
kedengkian yang sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk
menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik
fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo
Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama
Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu
Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan
yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat
adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga
kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam
keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian
maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan
untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka
kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa
orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahnya (Baginda Sultan Tengah)
sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari
orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam.
B.
Kesultanan
Sambas ( Islam )
Kesultanan
Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi
Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Kalimantan dengan pusat
pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah
penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang
bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan
berkembang sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab
Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Pada masa itu rajanya bergelar
"Nek", salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada
sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan raja yang bernama Tan Unggal yang
terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian
dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah
Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat raja lagi. Pada masa kekosongan
pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M
(1530) datang serombongan besar orang-orang dari Pulau Jawa (sekitar lebih dari
500 orang) yaitu dari kalangan Bangsawan Kerajaan Majapahit yang masih beragama
Hindu, yaitu keturunan dari Raja Majapahit sebelumnya yang bernama
Wikramawardhana.
Pada
saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan
tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan
orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak
ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan pelarian
Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Majapahit ini
kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang
disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun
menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini
aman dan kondusif maka kemudian para pelarian Majapahit ini mendirikan sebuah
Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas".
Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) dimana
Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat
digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu
Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu
Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama
perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609.
Pada
masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin
Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke
wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah
Kembayat Sri Negara). Anak laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman
kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu
sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman
inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama
mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi
Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun
1671.
a.
Pendirian
Sebelum
berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671, di wilayah Sungai Sambas ini
sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas
dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah
berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya
Negara Republik Indonesia adalah :
1.
Kerajaan Wijaya Pura sekitar abad
7 M - 9 M.
2.
Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13
M - 14 M.
3.
Kerajaan Tan Unggal sekitar abad
15 M.
4.
Panembahan Sambas pada abad 16 M.
5.
Kesultanan Sambas pada abad 17 M
- 20 M.
Secara
otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang
tercantum dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada masa Majapahit.
Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh.
Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun
demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa
Hindu) yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan
bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri
sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas
yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga
diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini
telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa
berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya
Kerajaan Tanjungpura.
Kedatangan
rombongan bangsawan Majapahit di Sambas dapat berjalan mulus tanpa menimbulkan
konflik bukanlah hanya karena wilayah Sambas pada waktu itu tidak be-raja
(tidak mempunyai penguasa) setelah era Raja Tan Unggal, tapi lebih disebabkan
karena penduduk Sambas pada waktu itu mempunyai kepercayaan yang sama dengan
rombongan Majapahit tersebut, yakni Hindu. Hindu sudah berkembang di Nusantara
sejak berdirinya Kerajaan Kutai (era pemerintahan Mulawarman) sampai kepada
Kesultanan Kutai Kartanegara. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah Sambas.
Jadi pada waktu itu belum ada istilah “Melayu atau Dayak”. Istilah atau
penyebutan itu ada setelah masuknya Islam. Penduduk yang kemudian masuk Islam
dinamakan "Melayu" dan penduduk yang masih menganut Hindu
(Kaharingan) dinamakan "Dayak" (Dayak artinya "orang hulu",
yakni orang yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang
pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam tapi
karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan mereka
tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya memang disyiarkan oleh
pedagang-pedagan dari Gujarat, Hadramaut, dan dari Tiongkok. Pedagang-pedagang
dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan berdagang di daerah pesisir.
Rombongan
dari Jawa (Majapahit) ini pertama kali mendarat disebuah tempat yang dinamakan
Pangkalan Jambu, sebuah tempat yang berada di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas
sekarang. Itulah sebabnya daerah tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari
Jawa ini dinamakan Jawai sampai sekarang.
Sedangkan
sejarah berdirinya Kesultanan Sambas bermula di Kesultanan Brunei yaitu ketika
Sultan Brunei ke-9 --Sultan Muhammad Hasan-- wafat pada tahun 1598, maka
kemudian putranya yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul
Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun
kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul
Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan
kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk
memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak
kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629, Pangeran Muda
Tengah menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar
Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal
dengan nama Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelarnya
sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.
Setelah
sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil
(Kuching sekarang), Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan
Johor. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi sultan adalah Sultan Abdul
Jalil (Raja Bujang) dimana permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda
dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman
antara Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Sultan
Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan
saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran. Oleh
karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari Selat Malaka, kapal
rombongan Sultan Tengah ini dihantam badai. Setelah terombang-ambing di laut
satu hari satu malam, kapal Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai
yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi
sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri
Mustika) yang baru saja kedatangan utusan Amir Makkah yaitu Shekh Shamsuddin
yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan
Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke Kesultanan Banten yang juga
mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.
Sultan
Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Sultan Muhammad
Shafiuddin. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana, setelah
melihat kepribadian Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad
Shafiuddin mencoba menjodohkan Sultan Tengah dengan putrinya yang bernama Putri
Surya Kesuma. Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini. Setelah
menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk
menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di
sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari Kesultanan
Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari
pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang
anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah
sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar Selat
Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) itu,
maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari Kesultanan
Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas karena
sebelumnya Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar
Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan
Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka
kemudian pada tahun 1638 berangkatlah rombongan Sultan Tengah beserta keluarga
dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan senjata
dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah
sampai di Sungai Sambas, rombongan Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan
baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Sultan
Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah
tempat tak jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak
lama setelah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal di
Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai
penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama
Raden Kencana (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencana ini adalah juga
menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan
bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencana
ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah
sekitar 10 tahun Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya
yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman
dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak
yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman
kemudian dianugerahi gelar Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama menjadi
Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Istana Panembahan Sambas
bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden
Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak laki-laki yang
kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu
Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan Sambas bersama
dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Arya Mangkurat.
Tidak
lama setelah kelahiran cucu Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah melihat
situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah melihat
anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri bahkan telah
menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian
memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke negerinya yang telah lama di
tinggalkan yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Sultan Tengah
beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain
(adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan
Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun 1652.
Ditengah
perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu di suatu tempat yang
bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh
pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh Sultan Tengah
hingga pengawal itu tewas. Namun luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah
sehingga kemudian Sultan Tengah pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah
kemudian setelah di shalatkan kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak
oleh Menteri-Menteri Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung
Sentubong. Adapun Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum
Sultan Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu
tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Di
Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden
Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga
adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden Arya Mangkurat. Tentangan
dari Raden Arya Mangkurat yang sangat fanatik Hindu ini karena iri dan dengki
dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat mendapat simpati dari para pembesar
Panembahan Sambas saat karena baik pwrilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang
jabatan Menteri Besar, disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat
menyebarkan Islam di lingkungan Istana Panembahan Sambas yang mayoritas masih
menganut Hindu, sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk
Panembahan Sambas yang masuk Islam.
Tekanan
terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Arya Mangkurat ini kemudian semakin kuat
hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya,
sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat banyak. Maka Raden
Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan
mencari tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655,
berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya,
yaitu sebagian orang-orang Brunei yang ditinggalkan ayahnya (Sultan Tengah)
ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan
Sambas yang setia dan telah masuk Islam.
Dari
pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden
Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama
Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang
kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota Bandir
ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman
dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan
penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai
Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau
karena ia (Ratu Anom Kesumayuda) telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi
ulah adiknya yaitu Raden Arya Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom
Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas
ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai
Sambas ini.
Sekitar
5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda
maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang
diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan
baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1671 Raden Sulaiman mendirikan
Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai sultan pertama Kesultanan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang
bernama Lubuk Madung.
Setelah
memerintah selama sekitar 15 tahun yang diisi dengan melakukan penataaan sistem
pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun
1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari tahta
Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai
penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar
setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin
(Raden Bima), atas persetujuan dari ayahnya (Raden Sulaiman), kemudian
memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu
tempat tepat di depan percabangan tiga buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai
Teberrau, dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muara
Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya
yaitu dari tahun 1685 itu hingga saat ini.
b.
Perkembangan
Selama
masa berdirinya Pemerintahan Kesultanan Sambas dari tahun 1671 M hingga tahun
1950 M, selama masa itu Kepala Pemerintahan Kesultanan Sambas terdiri dari 15
orang Sultan dan 2 orang Ketua Majelis Kesultanan (Plt Sultan).
Kesultanan
Sambas selama 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh
pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di wilayah pesisir barat Pulau
Kalimantan (Kalimantan Barat) hingga kemudian Hindia Belanda masuk pada awal
abad ke-19 M. Pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar Kesultanan Pontianak
sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas
sebagai kerajaan terbesar di wilayah ini.
Pada
sekitar awal abad ke-19 M (sekitar tahun 1805 M hingga tahun 1811 M) sering
terjadi pertempuran di laut antara kapal-kapal Inggris dengan armada laut
Kesultanan Sambas. Pada tahun 1812 M Hindia Inggris dibawah pimpinan T. S.
Raffles mengirimkan armada dan pasukan untuk menyerang Kesultanan Sambas.
Pertempuran sengit antara pasukan Inggris dan pasukan Kesultanan Sambas
kemudian berlangsung disekitar percabangan Sungai Sambas (sekitar Kampung
Sebatu) dan akhirnya pasukan Inggris itu dapat dikalahkan / dipukul mundur oleh
pasukan Kesultanan Sambas (sebagaimana yang tercantum dalam buku sejarah tulisan
Sir Graham Irwin / Sejarawan terkenal Inggris dalam bukunya yang berjudul
"Borneo in Eighteen Century").
Dari
sejak berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 dengan Sultan pertama
Kesultanan Sambas yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin I hingga tahun 1818 yaitu
dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-8 yaitu Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I
(Pangeran Anom), Kesultanan Sambas pada rentang masa itu (1671 M - 1818 M)
adalah dalam kondisi berdaulat penuh yaitu pada rentang masa itu tidak ada satu
pun kekuasaan asing yang menduduki atau mendirikan perwakilan pemerintahan di
Kesultanan Sambas dan pada rentang masa itu Kesultanan Sambas tidak ada tunduk
atau mengantarkan upeti apapun kepada pihak kekuasaan asing manapun.
Belanda
(Hindia Belanda) mulai menanamkan kekuasaannya di Kesultanan Sambas pertama
kali adalah pada tahun 1818 M dan saat itu posisi Hindia Belanda di Kesultanan
Sambas itu masih sebagai mitra bagi Kesultanan Sambas (belum mengendalikan
pemerintahan Kesultanan Sambas) dimana saat itu Hindia Belanda hanya sebatas
menangani / mengatur Kongsi-Kongsi pertambangan emas yang ada di wilayah
Kesultanan Sambas. Hindia Belanda mulai mengendalikan pemerintahan Kesultanan
Sambas adalah sejak tahun 1855 M yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-12
yaitu Sultam Umar Kamaluddin (Raden Tokok).
SULTAN MUHAMMAD ALI SHAFIUDDIN I (PANGERAN ANOM)
SULTAN SAMBAS KE- 8
Pangeran
Anom adalah salah seorang anak dari Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar
Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden Pasu. Pangeran Anom memulai karirnya
sebagai Panglima Kesultanan Sambas ketika masih berusia relatif muda yaitu
sekitar 17 tahun dimasa pemerintahan Ayahandanya yaitu Sultan Umar Aqamaddin II
(Sultan Sambas ke-5)selanjutnya ketika Ayahandanya wafat dan digantikan oleh
Abang Pangeran Anom yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I (Raden Mantri), Pangeran
Anom menjabat sebagai Pangeran Bendahara (Wazir I / Ketua Menteri) sekaligus
juga sebagai Panglima Besar Kesultanan Sambas dan Kepala Armada Angkatan Laut
Kesultanan Sambas yang didirikan pada tahun 1805 M. Ketika Ayahnya (Sultan Umar
Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2 pemerintahannya, maka Abang Pangeran
Anom yang bernama Raden Mantri menggantikan Ayahnya dengan gelar Sultan
Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Sultan Abubakar Tajuddin I ini dengan
Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin
Ii tetapi berlainan ibu, Sultan Abubakar Tajuddin I adalah anak dari istri
pertama (permaisuri) sedangkan Pangeran Anom adalah anak istri Sultan Umar
Aqamaddin II yang ke-2. Setelah Sultan Abubakar Tajuddin I (Abang Pangeran
Anom) wafat pada tahun 1815 M, maka Pangeran Anom kemudian diangkat sebagai
Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-8) dengan gelar Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin I.
Pangeran
Anom kemudian menjadi Panglima Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga
memimpin satu armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal
layar bertiang 3 lengkap dengan meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh
perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun
1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas
saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I.
Armada
Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah
perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari
mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah
selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya
serangan para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan
pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak
untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan
melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana
kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang
dipelabuhan-pelabuhan Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah
Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas.
Kongsi-Kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok
beradasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan
oleh Sultan Sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan pertambangan emas
yang tersebar di wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara,
Lumar dan kemudian juga Pemangkat.
Walaupun
telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris
masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah
Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti
melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di
nusantara ini sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah
dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan
induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan
diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya,
seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik
armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.
Tetapi
orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan
kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan
Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara
kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan
laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat
ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini,
dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat
dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Hal
ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang
antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas dimana bila di mana-mana
perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan
Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam
sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut
Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah
kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal
11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada
Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III
wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu
Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama
Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati
Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh
pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).
SULTAN MUHAMMAD SHAFIUDDIN II (PANGERAN ADIPATI)
SULTAN SAMBAS KE- 13
Pangeran
Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang
dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas
yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini
adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas
karena pada masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan
kudeta terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar
Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas
ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II
terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas (tahun 1855)telah ada kesepakatan
antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah
Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya
adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin
karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat
anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan
Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari
Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh
pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II)
Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang
masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar
manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di
Kesultanan Sambas pada tahun 1819, namun saat itu Sultan Sambas masih
mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai
berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas
ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta
Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat
kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas
ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq).
Setelah
menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun
1861, Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan
Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan Sambas
ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia mempunyai dua orang istri.
Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama
Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran
Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera
bernama Raden Muhammad Aryadiningrat. Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas,
Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan
Muhammad Shafiuddin II).
Setelah
Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa
sudah lanjut usia, pada tahun 1924 Sultan Muhammad Shafiuddin mengundurkan diri
dari tahta Kesultanan Sambas. Pada masa ini kekuasaan Hindia Belanda telah
semakin kuat mengendalikan pemerintahan di Sambas dimana kemudian untuk
menggantikan Sultan Muhammad Shafiuddin II yang mengundurkan diri, Pemerintah
Hindia Belanda kemudian mengangkat anak Sultan Muhammad Shafiuddin II yaitu
Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas
ke-14) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.
Setelah
memerintah selama sekitar 4 tahun, pada tahun 1926, Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin II wafat dan kemudian sebagai penggantinya, setelah sempat terjadi
polemik menentukan sultan selanjutnya sekitar 5 tahun, pada tahun 1931, oleh
Pemerintah Hindia Belanda diangkatlah keponakan Sultan Muhammad Ali Shafiuddin
II (Sultan Sambas ke-14) itu yang juga adalah cucu dari Sultan Muhammad
Shafiuddin II (Sultan Sambas ke-13) yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim sebagai
Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin.
Dari
15 Sultan Sambas, ada 2 Sultan yang diangkat tidak berdasarkan aturan-temurun,
yaitu Sultan Sambas ke-14 (Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II) pada tahun 1924
dan Sultan Sambas ke-15 (Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin) pada tahun
1931 dimana sultan-sultan ini diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda karena
pada masa itu sudah begitu kuatnya pengaruh Belanda di wilayah Borneo Barat.
Belanda
berkuasa sejak tahun 1930 di wilayah Kalimantan Barat dengan nama
Westerafdeling Borneo beribukota di Pontianak. Sedangkan saat itu di Kesultanan
Sambas yang menjadi Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Namun kesultanan
dan kerajaan yang ada di wilayah Borneo Barat masih tetap eksis memerintah
wilayah kekuasaannya masing-masing, namun untuk kebijakan-kebijakan yang
bersifat penting misalnya bidang ekonomi dan luar negeri mesti mendapat
persetujuan dari wakil Hindia Belanda yaitu Residen dan Asisten Residen.
C.
Silsilah
Kesultanan Sambas
Sultan-Sultan
Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :
1.
Sultan Muhammad Shafiuddin I bin
Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ( Sultan Tengah ) (1671 - 1682)
2.
Sultan Muhammad Tajuddin bin
Sultan Muhammad Shafiuddin I (1682 - 1718)
3.
Sultan Umar Aqamaddin I bin
Sultan Muhammad Tajuddin (1718 - 1732)
4.
Sultan Abubakar Kamaluddin bin
Sultan Umar Aqamaddin I (1732 - 1762)
5.
Sultan Umar Aqamaddin II bin
Sultan Abubakar Kamaluddin (1762 - 1786) dan (1793 - 1802)
6.
Sultan Achmad Tajuddin bin Sultan
Umar Aqamaddin II (1786 - 1793)
7.
Sultan Abubakar Tajuddin I bin
Sultan Umar Aqamaddin II (1802 - 1815)
8.
Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I
bin Sultan Umar Aqamaddin II (1815 – 1828)
9.
Sultan Usman Kamaluddin bin
Sultan Umar Aqamaddin II (1828 - 1832)
10.
Sultan Umar Aqamaddin III bin
Sultan Umar Aqamaddin II (1832 - 1846)
11.
Sultan Abu Bakar Tajuddin II bin
Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1846 – 1854)
12.
Sultan Umar Kamaluddin bin Sultan
Umar Aqamaddin III (1854 - 1866)
13.
Sultan Muhammad Shafiuddin II bin
Sultan Abubakar Tajuddin II (1866 - 1924)
14.
Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II
bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1924 - 1926)
15.
Sultan Muhammad Ibrahim
Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931
- 1944) ( Sultan Sambas Terakhir )
16.
Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin
Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944 - 1984) ( Kepala Rumah Tangga Istana
Kesultanan Sambas )
17.
Pangeran Ratu Winata Kusuma bin
Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah Tangga Istana
Kesultanan Sambas )
18.
Pangeran Ratu Muhammad Tarhan bin
Pangeran Ratu Winata Kesuma (2008 - sekarang) sebagai Pewaris Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar